Belajar Toleransi dari Kampung

- VIVAnews/Ochi April
"Pendekatan di sana (Girikerto) sangat tepat, yaitu pendekatan kemasyarakatan dan budaya. Masyarakat diajak bersama-sama mengadakan kegiatan budaya.
Dengan kegiatan itulah masing-masing melepas dari agama mana, dan itu jadi pemersatu,” ujarnya kepada VIVAnews, Rabu 12 November 2014.
Kepala Desa Girikerto Sumaryanta mengakui hal itu. Kegiatan kebudayaan seperti Merti Desa menjadi salah satu pemersatu warganya.
"Dengan rukunnya warga dalam menjaga perbedaan, akan terasa nyaman dalam berkehidupan. Misalnya kami datang ke gereja ya seperti rumah sendiri, begitu juga sebaliknya," ujarnya kepada VIVAnews saat ditemui di Girikerto, Rabu 12 November 2014.
Rukun untuk Membangun
Desa Girikerto terletak di sisi barat Gunung Merapi. Ini merupakan desa terakhir di kaki gunung berapi ini.
Sesekali gunung ini mengeluarkan lava pijar, lahar dan awan panas yang sering disebut dengan Wedhus Gembel. Secara berkala gunung ini mengalami erupsi dan warga di sekitar gunung ini harus mengungsi, tak terkecuali warga Girikerto.
Kondisi ini semakin menguatkan ikatan warga desa. Misalnya pada erupsi 2010 lalu. Warga bergotong royong membangun posko bantuan bagi warga yang menjadi korban erupsi.
Posko didirikan di kompleks gereja Paroki Somohitan. Nurhuda mengatakan, ikatan antarwarga semain kuat karena mereka tinggal di daerah rawan bencana.
Saat Merapi mengalami erupsi, warga saling membantu tanpa memandang agama. Warga tidak pernah mempersoalkan bantuan tersebut berasal dari mana.
"Ya karena kami merasakan suka dan duka bersama-sama saat erupsi Merapi.
Tidak lagi memandang kamu Katolik, kamu Islam atau kamu Hindu. Semua menyatu dan senasib sehingga menjadikan kami semakin kuat," ujarnya menjelaskan.