Belajar Toleransi dari Kampung

- VIVAnews/Ochi April
VIVAnews - Hari masih pagi. Jam di tangan masih menunjuk angka delapan. Udara di kaki Gunung Merapi masih terasa dingin. Namun, sejumlah pria beragam usia sudah sibuk di pinggir jalan.
Ada yang sedang memotong kayu. Ada yang sedang menghaluskan papan. Sementara, yang lain tampak sibuk menata genteng di atas bangunan berbentuk joglo yang hampir jadi tersebut.
Di sisi bangunan, tampak tumpukan kayu dan tangga yang masih terpasang. Juga meja kecil dengan kue dan minuman di atasnya. Bendera merah putih berkibar persis di depan bangunan.
Orang-orang ini merupakan warga Desa Girikerto, Turi, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Mereka sedang membangun pos ronda. Kesibukan mereka langsung terlihat, karena pos ronda itu dibangun tepat di pinggir jalan arah masuk ke desa terakhir di kaki Gunung Merapi ini.
Sekilas, tak ada yang istimewa dengan bangunan seluas 3x4 meter ini. Namun, jika diperhatikan dengan seksama, bangunan ini tepat menghadap gereja dan tak jauh dari masjid desa.
"Kami sedang membuat pos ronda. Karena pos yang lama harus dipindah. Alhamdulillah bisa di sini lokasinya, dekat dengan masjid dan gereja," ujar Nurhuda, salah seorang warga yang ikut bekerja membangun pos ronda saat ditemui VIVAnews, Rabu 12 November 2014.
Ia menjelaskan, selain untuk menjaga keamanan, pembangunan pos ronda tersebut merupakan salah satu cara warga merawat kebersamaan. Pasalnya, agama yang dianut warga desa beragam. Juga ada yang menganut aliran kepercayaan.
Itu diamini Yohanes Kawidi, warga desa lain yang ikut serta membangun pos ronda. Menurut dia, warga desa terbiasa hidup rukun dan senantiasa bekerjasama tanpa melihat agama dan keyakinan mereka.
Buktinya, ia tetap bisa bekerja bareng Nurhuda, meski tetangganya itu beragama Islam. Sementara, ia memeluk Katolik.
"Saya beragama Katolik. Tapi saat melakukan kegiatan pembangunan untuk desa, kami sudah tidak membawa atribut agama," ujarnya saat ditemui di tempat yang sama.