SOROT 329

Mereka Kecewa

Kabinet Kerja Joko Widodo
Sumber :
  • REUTERS/Beawiharta

VIVA.co.id - Istana Negara menerima kiriman dua karangan bunga pada Rabu pagi, 28 Januari 2015. Hari itu tepat masa 100 hari pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Karangan bunga berwarna oranye dan merah itu masing-masing dikirim atas nama Widjaja Jauw dan S Widjaja. Tak ditulis alamat lengkap pengirim. Ada kartu ucapan menyertai dua rangkaian bunga itu, yakni "Selamat atas kerja 100 hari" dan "Semoga sukses dalam 5 tahun ke depan".

Rupanya di tengah ragam protes, kecaman dan kritik yang diarahkan kepada Presiden, masih ada warga masyarakat yang mengapresiasi kinerja pemerintahan baru. Protes rakyat dimulai dari perkara kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi saat harga minyak dunia turun, memilih Jaksa Agung yang orang partai politik, tak menganulir calon kepala Polri yang menjadi tersangka korupsi, sampai soal memperpanjang kontrak kerja Freeport.

Kebijakan yang paling banyak menyedot perhatian publik adalah kenaikan harga BBM bersubsidi dan penunjukan Komisaris Jenderal Polisi Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kepala Polri. Soal kenaikan harga BBM diprotes karena sebelum resmi naik, harga kebutuhan pokok lebih dahulu melonjak. Itu akibat terlalu lama rumor kenaikan bensin beredar di masyarakat sehingga memicu kelangkaan BBM di beberapa daerah.

Harga BBM kemudian dua kali diturunkan pada 1 Januari dan 16 Januari 2015. Tapi ongkos transportasi tak serta-merta turun. Harga kebutuhan pokok pun masih menyesuaikan harga lama.

Perihal calon Kepala Polri, nyaris tak ada protes berarti, hanya kasak-kusuk bahwa sang calon diduga memiliki nilai kekayaan tak wajar yang lebih sering disebut dengan istilah rekening gendut para jenderal Polisi. Publik bereaksi sangat keras segera setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengumumkan bahwa sang Jenderal ditetapkan sebagai tersangka korupsi pada 13 Januari 2015.

Presiden sampai harus menunda melantik Budi Gunawan sebagai kepala Polri. Namun penetapan tersangka Budi Gunawan harus dibayar mahal. Pimpinan KPK satu per satu diperkarakan, sehingga muncul sebutan Cicak vs Buaya jilid II. Jokowi dikecam, dianggap tak tegas.

Jokowi Wajibkan Menteri Satu Suara
Jokowi Dapat Karangan Bunga pada 100 Hari Pemerintahan

Karangan bunga yang dikirim atas nama Widjaja Jauw dan S Widjaja untuk Presiden Joko Widodo memperingati 100 hari pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla di Istana Negara. Foto: VIVA.co.id/Christina Nila

Kumpulkan Menteri, Jokowi Evaluasi Kinerja 100 Hari

 

Respons negatif

PDIP Sadar Kerap Disalahkan karena Keputusan Jokowi

Masyarakat menganggap buruk performa Jokowi dan Kalla. Jokowi tampak meyakinkan hanya saat mengumumkan nama-nama menteri Kabinet Kerja. Itu pun masih dikritik sebagian masyarakat yang menilai Jokowi masih terlalu banyak mengakomodir kepentingan partai politik penyokongnya. Setelah itu, masyarakat langsung dihadapkan pada berbagai kesulitan sebagai imbas kenaikan harga BBM.

"Barang-barang udah terlanjur naik, dan sangat tidak mungkin kalau bisa turun lagi. Jadi, sekalipun BBM sudah diturunkan, tidak ada pengaruhnya lagi," kata Mustafa (40 tahun), warga Kelurahan Paseban, Kecamatan Senen, Jakarta, Kamis, 29 Januari 2015.

Warga lainnya, Zainal (39 tahun), mengaku bahwa sejatinya dia masa bodoh dengan pertikaian elite politik, terutama ketegangan para petinggi KPK dengan Polri. Tapi belakangan dia justru merasa terganggu juga atas macam rupa persoalan itu.

"Kalau dipikir-pikir memang kami tidak ada sangkut-pautnya dengan Pak Jokowi dan JK (Jusuf Kalla). Tapi dengan banyaknya ribut di pemerintahan, ini-itulah, membuat kami ikut tidak nyaman," ujar pria yang bekerja sebagai pengemudi bajaj itu.

Ketegasan sikap Jokowi dibutuhkan sehingga persepsi negatif yang kini terumbar di media massa tentang Jokowi tidak meresahkan para penggemar mantan Gubernur Jakarta itu. "Pak Jokowi mesti ambil sikaplah. Di mata publik, beliau, kan, orang baik dan tegas. Jadi jangan sampai penilaian itu rusak atau hilang nantinya," kata Zainal.

Masyarakat yang tak terlalu melek politik menilai Jokowi hanya tak tegas. Lain lagi dengan mereka yang punya cukup pengetahuan seputar dinamika politik nasional, terutama pendukung atau relawan militan sang Presiden pada Pemilu Presiden tahun 2014. Mereka mengaku geram dengan Jokowi yang terlihat dikendalikan partai politik pengusungnya, sehingga tak mampu berbuat banyak. Padahal dia adalah Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan.

"Dulu kami mendukung karena figur beliau memang mencirikan rakyat Indonesia. Tapi kini rasanya berat untuk menggambarkannya. Bau partai kuat sekali menempel ke Pak Jokowi," kata Ahmad Ali (39 tahun), warga Ibu Kota yang tinggal di kawasan Setiabudi. Ia merupakan salah satu pendukung berat Jokowi.

Pendukung lain, Hartanto (41 tahun), berpendapat serupa. Pria yang sehari-hari menjual kopi keliling itu juga menyayangkan kabar buruk yang membelit Jokowi belakangan ini. Figur-figur yang diharapkan menjadi penyokong Presiden, katanya, justru cuma memanfaatkan kepopuleran Jokowi untuk memenuhi kepentingan mereka.

"Kami kecewa. Pak Jokowi berubah. Mulai dari BBM dinaikkan, elpiji naik, listrik naik sampai ke semua barang (harga kebutuhan pokok) naik. Rakyat tambah sulit. Ini dilakukan oleh pendukung Pak Jokowi sendiri," kata Hartanto.

Tapi dia tak menampik bahwa masih ada keberhasilan yang bisa dinikmati, yakni pemberian Kartu Indonesia Sehat untuk warga tidak mampu. Jadi, meski kartu itu prinsipnya sama dengan program pemerintahan sebelumnya, setidaknya, kata Hartanto, ketika di periode pemerintahan sebelumnya ia tak terdata, kali ini ia bisa mencicipinya.

“Kami berharap Pak Jokowi, jangan lupa janji-janjinya. Orang sudah terlanjur mengagumi beliau, jangan sampai rusak karena kepentingan saja," katanya.

Grup musik rock, Slank, pun bersiap menarik diri mendukung Presiden dan Wakil Presiden, Joko Widodo dan Jusuf Kalla. Tapi, niat kelompok musik legendaris itu bukan karena kecewa, melainkan untuk menjaga jarak dengan kekuasaan agar tetap leluasa mengkritik pemerintahan Jokowi.

Menurut sang penabuh drum, Bimo Setiawan Almachzumi alias Bimbim, Slank akan memposisikan sebagai parlemen jalanan untuk mengawasi pemerintahan Jokowi. Tentu tetap menggunakan saran musik untuk menyalurkan aspirasi rakyat atau mengoreksi pemerintah jika ada kesalahan.

Komitmen itu, kata Bimbim, telah disampaikan kepada Jokowi. Katanya, mulai tiga bulan mendatang, Slank memastikan menjadi parleman jalanan.

"Kami sudah berbicara kepada Bapak Jokowi, setelah tiga bulan dilantik, Slank akan menarik diri dan siap menjadi parlemen jalanan jika kebijakan pemerintah tidak sesuai dengan keinginan rakyat," kata Bimbim di sela acara Diplomat Mild Passion Ville 2014 di Yogyakarta, Sabtu malam, 1 November 2014.

Tapi tak semua menilai buruk pemerintahan Jokowi. Salah satu unsur relawan pendukung Jokowi, Sekretariat Nasional Joko Widodo (Seknas Jokowi), menganggap tak adil kalau menilai pemerintahan hanya dalam waktu seratus hari pertama. Lagi pula, Kabinet Kerja tidak memiliki program 100 hari.

Memang tak salah mengevaluasi pemerintahan dalam 100 hari pertama tetapi seyogianya penilaian itu objektif; semua aspek dinilai, tak melulu soal KPK vs Polri. Seknas Jokowi justru menilai langkah Presiden menunda melantik Budi Gunawan sebagai kepala Polri sudah tepat.

"Presiden telah menjalankan prosedur dan ketentuan dengan benar dan bijak," kata Ketua Presidium Seknas Jokowi, Muhammad Yamin.

Menurut Yamin, Presiden telah dengan bijak menahan diri untuk tidak mengintervensi proses hukum yang menimpa Budi Gunawan maupun pimpinan KPK, Jokowi menyadari Indonesia adalah negara hukum yang menjunjung tinggi supremasi hukum, bukan negara kekuasaan.

"Sikap Presiden bukan berarti tidak tegas atau tidak mendukung pemberantasan korupsi. Presiden Joko Widodo adalah orang bersih dan komitmen beliau dalam pemberantasan korupsi tak diragukan lagi, namun pemberantasan korupsi didasarkan pada rule of law (menjunjung tinggi supremasi hukum),” katanya.

Yamin menolak anggapan Jokowi tak tegas atau tersandera partai politik pengusung maupun pendukungnya. Kata dia, tampak jelas Jokowi berusaha menolak segala intervensi terhadap kewenangannya sebagai Presiden namun dengan cara yang santun dan rendah hati.

Jokowi, katanya, memang tak melakukan kebijakan-kebijakan konfrontatif sehingga masyarakat menilainya ragu-ragu. "Presiden selalu bersikap tegas dan mandiri, dengan cara-cara halus dan santun yang menjadi ciri khas beliau. Tegas tidak berarti sok kuasa dan unjuk kekuatan.”

Sayangnya persepsi kurang baik masyarakat terhadap pemerintahan Jokowi dibenarkan hasil survei. Tingkat kepercayaan publik memang turun drastis selama 100 hari Jokowi memerintah. Sebagian besar masyarakat menganggap lemah pemerintahan Jokowi, terutama di bidang hukum, menyusul polemik KPK dengan Polri.

Lingkaran Survei Indonesia (LSI) merilis hasil surveinya bahwa tingkat kepuasaan publik terhadap pemerintahan Jokowi merosot di bawah 45 persen. Sebanyak 42,29 persen yang menyatakan puas. Sedangkan mayoritas publik, sebesar 53,71 persen, menyatakan tidak puas dengan kinerja Jokowi.

"Dibandingkan data survei pada Agustus 2014 lalu, harapan dan kepuasan atas Jokowi merosot lebih dari 25 persen, dari 71,73 persen ke 42,29 persen,” Adjie Alfaraby, peneliti LSI, saat memaparkan hasil surveinya di Jakarta pada Kamis, 29 Januari 2015.

Ada tiga kebijakan dan satu kesan publik yang mempengaruhi turunnya tingkat harapan masyarakat. Pertama, kebijakan menaikkan harga BBM ketika harga minyak dunia turun. Meski kemudian harga BBM diturunkan, harga bahan pokok dan transportasi banyak yang tak kunjung turun. Faktor kedua, kasus seputar Budi Gunawan terlalu berlarut-larut. Ketiga, kurang maksimal mencegah pelemahan atau kriminalisasi KPK. Keempat, kesan bahwa Jokow belum menjadi pemimpin tertinggi di pemerintahan.

Bimbim Slank di Jumpa Pers #Save RBT

Slank akan memposisikan sebagai parlemen jalanan untuk mengawasi pemerintahan Jokowi. Foto: VIVA.co.id/Muhamad Solihin

Ganti menteri

Yamin tak memungkiri jika ada penilaian menteri atau anggota Kabinet Kerja yang tak maksimal bekerja meski berasal dari partai pengusung. Dia berharap Jokowi tak ragu menggantinya dengan orang yang lebih siap bekerja untuk rakyat. Kalau dipertahankan, para pembantu Presiden itu hanya akan membebani pemerintahan.

Seknas Jokowi, katanya, mendukung sepenuhnya apabila Presiden hendak mengganti para bawahan yang tidak kompeten dan tidak menjalankan program Nawacita. "Kami berpandangan, pembantu (anggota Kabinet Kerja) Presiden seharusnya meringankan beban Presiden, bukan malah menambah beban Presiden."

Sebagaimana disampaikan Melli Darsa, ketua Ikatan Alumni Universitas Indonesia, langkah Jokowi membentuk tim independen untuk menyelesaikan polemik KPK dan Polri, justru menunjukkan lemahnya kekuatan Presiden. Seharusnya Presiden memanfaatkan Menteri Hukum dan HAM serta Jaksa Agung.

"Ini membuktikan bahwa memang Menteri Hukum dan HAM dan Jaksa Agung yang telah ditunjuk Presiden tidak mampu menjadi pembantunya,” katanya. Menurutnya, kalau banyak pihak terlibat, justru berpotensi memperlambat penyelesaian. Jika Menteri Hukum dan HAM dan Jaksa Agung dapat bekerja nonpartisan dan efektif, Presiden pasti lebih mantap membuat keputusan dan tidak merasa perlu membentuk tim independen.

Riak-riak kecil penilaian buruk kinerja Jokowi justru muncul dari internal PDIP. Politikus partai pimpinan Megawati Soekarnoputri ini, Effendi Simbolon, melontarkan berbagai kritik terhadap pemerintahan Jokowi. Dia bahkan menilai pemerintahan Jokowi memiliki banyak celah untuk dimakzulkan.

Tapi suara sumbang Effendi dinilai para relawan pendukung Jokowi sebagai reaksi kecewa karena tak kebagian jatah jabatan di Kabinet Kerja. Dia juga dianggap berupaya mengadu domba rakyat pendukung Jokowi dengan partai politik, padahal simpatisan Jokowi terdiri dari lintas partai dan golongan.

Upaya itu akan sia-sia, bahkan bisa saja keadaannya justru berbalik. “Membenturkan Jokowi dengan partai, bisa fatal, rakyat kehilangan simpati,” kata Sihol Manullang, ketua umum Barisan Relawan Jokowi Presiden, di Jakarta, Kamis, 29 Januari 2015.

Sihol menyarankan orang seperti Effendi lebih bijak memberi masukan ketimbang mengancam atau secara tidak langsung menginspirasi pihak lain untuk melengserkan Jokowi. "Enggak usahlah pakai serang Jokowi, mending kasih masukan," ujarnya.

Dia juga menyarankan para anggota Kabinet tak menjauhkan Jokowi dengan rakyat melalui kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat. Penyertaan modal pemerintah ke Badan Usaha Milik Negara BUMN, menurutnya, perlu dikaji ulang karena rencana bisnis mereka asal jadi alias bukan untuk menyukseskan program pembangunan. (umi)

Laporan: Ade Alfath

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya