SOROT 335

Pasar Gede, Ikon Kuliner Warisan Leluhur

Suasana di salah satu sudut Pasar Gede di Solo
Sumber :
  • VIVA.co.id/Fajar Sodiq

VIVA.co.id - Aroma nangka tercium. Tercampur dengan cendol dan bubur sumsum dalam sebuah mangkok berukuran sedang. Tekstur bubur itu lembut berpadu dengan asam manis tape ketan. Sajian kuliner pun terhidang di sebuah lapak dawet telasih Bu Dermi.

Pasar Santa, Pasar untuk Semua

Saat disesap, penikmat seolah enggan melepaskan rasa manis pada kuliner khas di pasar itu. Sejumlah penjaja dawet sejenis menawarkan sensasi lain. Masing-masing punya ciri khas.

Tak heran, kelezatan dawet telasih kini menjadi salah satu ikon kuliner di Pasar Gede. Salah satu pasar rujukan warga Kota Bengawan, Solo.

Pasar PIK: Tempat Belanja Bernuansa Singapura
Pagi sebelumnya, basah embun dan sisa hujan masih melekat pada jajaran lampion yang bergelantung di pelataran pasar itu. Barangkali, pagi masih terlalu segar bagi matahari, sehingga kerjap lampion sisa pesta Imlek beberapa waktu lalu itu, masih memendar.

Tapi, kehidupan di Pasar Gede, Kota Surakarta sudah mulai menggeliat. Tukang becak silih berganti menurunkan penumpang. Keranjang, baskom, dan aneka perkakas lainnya tampak dibawa masuk oleh penumpang yang baru saja turun dari becak.

Tampaknya, mereka adalah pedagang di pasar yang berdiri sejak 1930 itu. Meski pencahayaan masih minim, mereka tampak hafal tiap lekuk pasar ini. Bahkan, letak lubang semut pun mereka tahu, begitu ibaratnya.

Maklum, para pedagang di sini boleh dibilang tumbuh besar bersama Pasar Gede. Para pengusaha ini merupakan pedagang turun temurun.

Ruth Tulus Subekti, misalnya. Dia adalah generasi ketiga dari penjaja Dawet Telasih Bu Dermi. Menurut pengakuannya, dawet legendaris di Kota Solo itu pertama kali dijajakan oleh neneknya.

"Simbah jual dawet sejak pasar ini berdiri. Waktu itu kalau nggak salah, simbah menjual satu bungkus dawet, harganya masih pakai uang sen-senan," ujar wanita yang kerap disapa Bu Utik itu kepada VIVA.co.id, Kamis 12 Maret 2015. Kini, seporsi dawet dihargai Rp8.000.

Bu Utik menceritakan, awalnya penjaja dawet ini adalah simbahnya bernama Harjo. Kemudian, usaha dawet beralih ke Bu Dermi yang tak lain adalah ibunda dari Bu Utik. Dia mengaku berdagang di Pasar Gede sejak 2004.

"Resep dawet telasih ini asli resep dari simbah," kata Bu Utik sembari menyebut biji selasih sebagai salah satu bahan utama dawetnya.

Serunya Kuliner di Pasar Modern BSD City

Suasana di salah satu sudut Pasar Gede di Solo

Suasana di salah satu sudut Pasar Gede, Solo, Jawa Tengah.  Foto: VIVA.co.id/Fajar Sodiq

Barangkali, sebutan dawet selasih atau telasih muncul lantaran dawet ini memakai biji selasih sebagai "syarat" utama. Selain biji selasih, semangkuk Dawet Telasih berisi bubur sumsum, cendol hijau, ketan hitam, tape ketan, dan potongan nangka.

Dawet Telasih Bu Dermi bukanlah satu-satunya di Pasar Gede. Di dalam pasar yang terletak di jantung Kota Bengawan itu, banyak dijumpai penjaja dawet telasih lainnya. Sebut saja, Dawet Bu Watik, Bu Siswo, dan Bu Sipon.

Diakui Bu Utik, dawetnya ini sangat laris. Hilir mudik pembeli tak henti, tiap hari. Bukan hanya pembeli lokal, tetapi juga wisatawan luar kota yang tergiur dengan rasa manis dawet telasih ini. Selain itu, ada beberapa wisatawan yang memesan sebagai oleh-oleh.

"Sering juga ada wisatawan bule-bule. Ada bule yang sampai menyantap delapan mangkuk sekali makan. Ada juga pembeli dari luar kota yang membeli untuk oleh-oleh," katanya.

Tak hanya wisatawan luar negeri, para pejabat dan artis pun sering membeli dawet ini saat berkunjung ke Solo. Termasuk Presiden Joko Widodo, yang juga menjadi salah satu daftar pejabat yang sering menyantap makanan ini. Saat menjabat sebagai wali kota Solo, dawet ini sering dihidangkan oleh Jokowi ketika ada tamu.

"Kadang kalau Pak Jokowi mengajak tamu ke pasar ini, ya pasti ke sini," ujarnya.

Barangkali, omongan Bu Utik bukan isapan jempol semata. Jokowi memang kerap blusukan ke pasar, bahkan ketika ia jadi Presiden seperti sekarang. Saat menjadi Wali Kota Solo, Jokowi pernah berujar kepada penulis kalau dia sering membeli aneka jajanan di Pasar Gede.

Menurut dia, Pasar Gede banyak menyediakan kuliner khas Solo. Sajian kuliner tersebut masih lestari hingga sekarang. Misalnya saja, lenjongan, brambang asem, kripik ceker, jadah blondo, dawet gempol hingga tengkleng, masih dijajakan para bakul pasar ini.

Suasana di salah satu sudut Pasar Gede di Solo
Seorang pedagang makanan tengah melayani pembeli di Pasar Gede, Solo, Jawa Tengah. Foto: VIVA.co.id/Fajar Sodiq

Pusaran akulturasi budaya
Bukan saja kuliner khas Solo. Di area Pasar Gede, ada pula makanan khas Tionghoa. Salah satu yang cukup tersohor adalah tahok. Makanan ini berbahan dasar kedelai yang dilumatkan. Asal kata tahok, yaitu tao atau teu yang berarti "kedelai", dan hoa atau hu berarti "lumat".

Makanan ini dibawa oleh keturunan Tionghoa yang tinggal di sekitar Pasar Gede, yang diturunkan pada generasi penerusnya. Meski begitu, tahok cukup digemari berbagai etnis.

Sebagai sebuah pasar, Pasar Gede tidak saja menjadi pusaran ekonomi. Lebih dari itu, Pasar Gede mampu menjadi ranah budaya yang di dalamnya ada unsur sosial sekaligus ekonomi.

Di tilik dari lokasinya, Pasar Gede yang masuk wilayah administrasi Kelurahan Sudiroprajan itu, terdapat kompleks pecinan yang terkenal dengan sebutan Balong. Bahkan, di sebelah selatan Pasar Gede, ada Kelenteng Tien Kok Sie.

Adalah keniscayaan bila ada pedagang keturunan Tionghoa di Pasar Gede. Aktivitas multietnis tersebut berlangsung cukup harmonis. Tidak saja di perdagangan, perbauran etnis juga terasa saat ada hajat besar seperti perayaan Tahun Baru Imlek.

Seperti saat VIVA.co.id berkunjung ke pasar tersebut awal Maret ini. Atmosfer kemeriahan Imlek masih tersisa dengan lampion merah tergantung di pelataran Pasar Gede.

Sebagai bukti kuatnya akulturasi budaya Tionghoa-Jawa, tiap Imlek selalu diadakan Grebeg Sudiro. Lazimnya, Grebeg digelar oleh keraton untuk merayakan hari besar seperti Tahun Baru Suro atau Maulud Nabi.

Seperti Grebeg yang digelar Keraton Kasunanan Surakarta, dalam Grebeg Sudiro juga terdapat gunungan. Namun, dua gunungan Grebeg Sudiro terbuat dari kue keranjang. Pada perayaan Imlek bulan Februari lalu, sedikitnya empat ribu kue keranjang yang disusun menjadi gunungan diarak keliling kota.

Dua gunungan kue keranjang berbentuk miniatur Panggung Sanggabuwana dan Klenteng Tien Kok Sie menjadi gunungan utama. Selain dua gunungan utama, ada juga gunungan yang terbuat dari jajanan khas Tionghoa lainnya. Gunungan-gunungan itu, diarak dan dibagikan (tepatnya diperebutkan) masyarakat.

Gelaran Imlek di Pasar Gede, selalu mengundang decak kagum wisatawan. Ihwal ini dibenarkan oleh Subagio, Kepala Dinas Pengelolaan Pasar, Pemerintah Kota (Pemkot) Solo. Menurutnya, ribuan lampion di area Pasar Gede dan Grebeg Sudiro selalu menarik minat wisatawan.

Suasana di salah satu sudut Pasar Gede di Solo

Suasana di depan Pasar Gede Solo saat malam hari. Foto: VIVA.co.id/Fajar Sodiq



Arsitektur pluralis
Belum lagi, gaya arsitektur Pasar Gede yang kental dengan nuansa art deco, juga mampu menarik minat para pelancong. Mungkin sejak semula Pasar Gede didirikan untuk menumbuhkan pluralisme di Surakarta. Betapa tidak, Pasar Gede memiliki gaya arsitektur perpaduan Belanda dan Jawa.

Pasar ini dibangun oleh arsitek berkebangsaan Belanda, bernama Ir. Thomas Karsten pada masa Paku Buwono X memerintah Keraton Surakarta, tahun 1927. Konon, pembangunan pasar ini butuh waktu tiga tahun. Pasar ini diresmikan pada 12 Januari 1930. Pasar yang terletak di sebelah utara Keraton Solo itu, diberi nama Pasar Gede Hardjonegoro.

Diberi nama Pasar Gede, konon katanya, merujuk pada atapnya yang besar dan terlihat megah. Dalam perjalanannya, Pasar Gede turut serta mendampingi perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia.

Pada tahun 1947, Pasar Gede menjadi salah satu sasaran amuk tentara Belanda. Setelah agresi militer II berakhir, tahun 1949 pemerintah RI membenahi pasar ini.

Pasar yang terdiri atas dua bangunan itu juga pernah terbakar pada 1999. Ada yang bilang pasar itu diamuk massa yang kecewa saat Megawati Soekarnoputri gagal menjadi Presiden setelah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan memenangi Pemilu. Tapi, ada juga yang menyebut kalau kebakaran itu terjadi murni karena kecelakaan.

Namun yang jelas, saat ini Pasar Gede menjadi salah satu aset pariwisata penting bagi Pemkot Solo. Sejak 2011, Pemkot Solo melakukan penataan di Pasar Gede. Mulai dari kebersihan, hingga mentalitas jujur pada 900 pedagang yang beraktivitas di Pasar Gede, terus dilakukan Pemkot.

Dalam waktu dekat ini, Pemkot Solo kembali akan merenovasi pasar yang tiap hari dikunjungi tak kurang dari 3.000 orang itu. Renovasi atau revitalitasi itu, menurut Kepala Dinas Pengelolaan Pasar Solo, Subagio, tetap memperhatikan nilai historis Pasar Gede.

Layak ditunggu perbaikan yang dilakukan pemkot. Semoga tetap pluralis dan tidak membuat Pasar Gede jadi individualis layaknya pusat perbelanjaan modern. (art)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya