SOROT 338

Perempuan Agen Perdamaian

Sekolah Perempuan untuk Perdamaian
Sumber :
  • VIVA.co.id/Ahmad Rizaluddin

VIVA.co.id - Ruangan seluas separuh lapangan bulu tangkis itu tampak meriah. Puluhan perempuan beragam usia berjejal, duduk berhimpitan.

Yenny Wahid: Media Sosial Harusnya Penuh dengan Pesan Cinta

Ibu-ibu ini sibuk bercerita dan bercengkrama. Sesekali, terdengar tawa renyah mereka, menimpali suara berisik kipas angin yang sudah renta dimakan usia.

Mereka duduk melingkar, beralaskan karpet dan spanduk yang sudah tak terpakai. Sebagian menyandarkan punggung di dinding, yang lain bersandar pada pagar yang berbatasan langsung dengan gang yang tak seberapa besar.

Para Perempuan yang Sempat Dituduh Beraliran Sesat

Bangunan itu terletak di Jalan Amal no 27, Rt 006/01, Pondok Bambu, Duren Sawit, Jakarta Timur. Ini merupakan tempat belajar Sekolah Perempuan untuk Perdamaian.

Tak ada yang istimewa dari ‘ruang kelas’ ini. Hanya ada sejumlah kertas plano berisi sejumlah pedoman dan peraturan yang menempel di dinding. ‘Dilarang melakukan kekerasan fisik/psikis’ menjadi aturan dengan nomor urut satu di salah satu kertas plano tersebut.

Perempuan di Pusaran Kekerasan

Tepat pukul 14.15 sekolah dimulai. Rohimah (39) selaku koordinator membuka proses belajar mengajar dengan meminta para ibu-ibu untuk mengenalkan diri dan menyampaikan uneg-unegnya di depan forum.

Satu demi satu, para perempuan yang tak lagi muda ini mengenalkan diri dan mencurahkan perasaannya secara bergantian. “Hari ini kita akan belajar mengenal diri sendiri,” ujar Rohimah, Rabu, 1 April 2015.

“Materi ini penting, karena dengan mengenal diri sendiri kita bisa menghargai perbedaan dan keberagaman,” ujarnya menambahkan.

Sekolah Perempuan untuk Perdamaian

Suasana belajar mengajar di Sekolah Perempuan untuk Perdamaian di Pondok Bambu, Jakarta Timur. Foto: VIVA.co.id/Ahmad Rizaluddin

Rohimah merupakan salah satu siswa Sekolah Perempuan untuk Perdamaian di Pondok Bambu ini. Ia sudah terlibat sejak sekolah ini didirikan sekitar tujuh tahun lalu.

Selain menjadi peserta didik, Rohimah juga merupakan salah satu pendiri sekolah yang diperuntukkan untuk para Kaum Hawa ini. Tujuh tahun lalu, Rohimah hanyalah tukang cuci yang minim pengetahuan, minder dan tak percaya diri.

Itu dulu. Saat ini, Rohimah merupakan salah satu warga Kelurahan Pondok Bambu yang diperhitungkan.

Berawal dari Keprihatinan

Difasilitasi lembaga The Asian Muslim Action Network (AMAN), sekolah ini fokus pada isu perdamaian dan resolusi konflik. Rohimah menuturkan, isu itu diambil karena warga di daerahnya sering terlibat konflik.

Pemicunya beragam mulai dari faktor ekonomi hingga prasangka buruk karena perbedaan suku dan keyakinan. “Stigma antartetangga dan antara pribumi dan pendatang sangat kuat,” ujar ibu dua anak ini saat VIVA.co.id berkunjung ke sekolahnya, Rabu, 1 April 2015.

Selain itu, tak sedikit warga yang masih mempersoalkan keyakinan dan agama orang lain.

Berangkat dari kondisi itu, Rohimah dan sejumlah perempuan di RW 01 bersama AMAN mendirikan Sekolah Perempuan untuk Perdamaian. Awalnya, sekolah ini hanya diikuti segelintir orang. Selain itu juga muncul resistensi dan penolakan.

“Kami sempat dituduh ikut aliran sesat,” ujar Rohimah mengenang. Materi yang diberikan pun beragam, mulai dari soal pluralisme dan keberagaman, Hak Asasi Manusia hingga resolusi konflik.

Ada juga materi terkait parenting dan kewirausahaan. ”Namun, semua materi ujung-ujungnya adalah bagaimana membuat perempuan menjadi agen perdamaian,” lanjut dia.

Hal senada disampaikan Ummi Kulsum (43). Ia mengaku sangat beruntung bisa belajar di Sekolah Perempuan.

Awalnya, ia hanya ikut-ikutan. Namun, lama kelamaan ia merasa mendapatkan banyak manfaat dari sekolah ini.

Ummi melahap semua materi yang diberikan. Hasilnya, ia tak lagi menjadi perempuan yang minder dan serba takut.

Namun, menjadi perempuan yang berani berbicara di depan orang banyak dan tak cemas untuk menyampaikan pendapat. “Dulu, saya mau ngomong aja takut. Sekarang saya berani berbicara tentang apa saja dan dengan siapa saja,” ujar ibu dua anak ini.

Ummi tak hanya terampil berbicara dan menyampaikan pendapat. Dia juga sudah berani berurusan dengan birokrasi dan tampil di depan publik.

Sesekali, ia beradu argumentasi dengan suami dan tetangganya jika ada masalah, khususnya terkait kekerasan. “Saya sering menengahi jika ada tetangga yang berantem,” ujar dia.

Selain itu, berbekal ilmu dan pengetahuan yang ia dapatkan dari Sekolah Perempuan, Ummi juga berani ‘melawan’ jika mendapat ancaman kekerasan, termasuk kekerasan dalam rumah tangga (KRDT).

Koordinator Divisi Pemberdayaan Komunitas AMAN, Hanifah, mengatakan awalnya materi yang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat seperti kesehatan reproduksi, HIV/AIDS dan yang lain.

Sekolah Perempuan untuk Perdamaian

Sejumlah anak diajak ibunya mengikuti kegiatan belajar mengajar di Sekolah Perempuan untuk Perdamaian. Foto: VIVA.co.id/Ahmad Rizaluddin

 

Namun, selanjutnya AMAN mengembangkannya sesuai dengan visi dan misi lembaga mereka bahwa Sekolah Perempuan merupakan media untuk menciptakan agen perdamaian.

“Di antaranya adalah komunikasi efektif, komunikasi tanpa kekerasan, mediasi, negosiasi, perempuan dan pengambilan keputusan, perempuan dan perdamaian. Juga materi dasar tentang gender, konflik dan perdamaian,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Rabu, 1 April 2015.

“Namun, nilai damai dan toleransi diberikan pada saat awal sebelum kelas dimulai berupa training peace and tolerance,” lanjut Hanifah.

Proses belajar mengajar di sekolah ini terbilang santai. Proses pembelajaran lebih menekankan partisipatif dan berangkat dari realitas di komunitas masing-masing.

Proses belajar dimulai dengan sharing pengalaman peserta terkait dengan materi yang ingin disampaikan. “Dari cerita-cerita ibu-ibu ini kemudian fasilitator mengantarkan sesi pembelajaran, sehingga apa yang disampaikan dapat dipahami oleh peserta,” ujar salah satu fasilitator Sekolah Perempuan di Pondok Bambu ini.

Keberadaan Sekolah Perempuan ini dianggap mampu meningkatkan pengetahuan dan pemahaman perempuan tentang banyak hal, khususnya terkait konflik dan perdamaian.

Mahmudah (55) tokoh masyarakat setempat mengatakan, awalnya masyarakat memang kurang merespon keberadaan sekolah ini. Namun, lama kelamaan setelah masyarakat merasakan manfaatnya, warga berduyun-duyun mengikuti sekolah ini.

Menurut dia, ada perubahan dari warga yang mengikuti sekolah ini. “Ada kemajuan dari sisi bahasa, mudah bergaul, lebih toleran dan lebih aktif di masyarakat,” ujar Mahmudah. 

“Berkat adanya sekolah ini warga yang semula nafsi-nafsi sekarang mau bekerja sama.”

Tanggapan serupa disampaikan Sudjarwo. Ketua RW 01 ini mengatakan, ia merasa terbantu dengan keberadaan Sekolah Perempuan. Menurut dia, para perempuan yang ikut sekolah ini lebih aktif dan partisipatif.

Kepedulian sosial mereka juga meningkat. “Ada perbedaan antara yang ikut sekolah dengan yang tidak,” ujar Sudjarwo.

Ia melanjutkan, meski mayoritas yang ikut Sekolah Perempuan berasal dari ekonomi menengah ke bawah, kepedulian dan partisipasi mereka lebih besar dibanding warganya yang ‘berpendidikan’.

Karena itu, kelurahan mendukung keberadaan sekolah ini. Beragam program kelurahan banyak yang dikerjakan peserta didik Sekolah Perempuan, di antaranya Bank Sampah dan kampanye pemberantasan nyamuk demam berdarah.

Juru Pemantau Jentik (Jumantik) di kelurahan ini juga sebagian besar melibatkan siswa Sekolah Perempuan. Kelurahan juga melibatkan siswa Sekolah Perempuan untuk ikut Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) yang digelar kelurahan.

Ia mengakui, masyarakatnya sekarang lebih maju dengan keberadaan Sekolah Perempuan. Sebelumnya, para perempuan ini hanya sibuk dengan urusan domestik.

Tapi sekarang mereka sudah pintar karena belajar berbagai macam pengetahuan. Selain itu, warga juga sudah mampu mengidentifikasi setiap persoalan yang terjadi dan bagaimana mencari solusinya.

“Ketika ada masalah atau konflik, warga sudah tahu bagaimana cara mengatasinya.”

Pernah Konflik

Sekolah Perempuan di Pondok Bambu hanya salah satu dari sejumlah sekolah serupa di berbagai kota. Direktur AMAN Indonesia Dwi Rubiyanti Kholifah mengatakan, tujuan didirikannya Sekolah Perempuan adalah memperkuat relasi dan kohesi sosial di masyarakat melalui peran perempuan.

"Jika masyarakat memiliki kohesi yang kuat, perdamaian akan tercapai," kata Dwi.

Sekolah Perempuan pertama berdiri pada Agustus 2007 di Jakarta. Seiring waktu sekolah serupa berdiri di Bogor, Poso, dan Tasikmalaya. Saat ini AMAN sedang menyiapkan pembukaan sekolah serupa di Sampang, Jember, Jawa Tengah dan Yogyakarta.

“Saat ini yang efektif beroperasi adalah empat sekolah perempuan di Poso, satu di Jakarta, satu di Bogor dan satu di Desa Cipasung, Tasikmalaya,” ujar Dwi.

AMAN tak sembarangan dalam memilih lokasi untuk Sekolah Perempuan. Sebuah wilayah layak didirikan sekolah jika memenuhi sejumlah kriteria, di antaranya pernah mengalami konflik.

Selain itu, wilayah tersebut berpotensi mengalami konflik terbuka, hubungan sosial yang kurang harmonis serta tingginya perbedaan atau keberagaman dalam masyarakat.

Perempuan yang akrab disapa Rubi ini mengaku, sekolah yang ia dirikan terinspirasi dari Kapal Perempuan dan Urban Poor Concorcium (UPC).

AMAN berusaha menggabungkan model yang dilakukan dua lembaga tersebut, yakni pendidikan dan pengorganisasian sebagai strategi perubahan sosial di masyarakat.

Perempuan dipilih, karena di banyak konflik kekerasan mereka banyak menjadi korban. Selain itu, perempuan banyak mengalokasikan waktu di komunitas sehingga memungkinkan untuk bisa terlibat secara aktif dalam proses perdamaian.

Ia tak menampik, perempuan rawan menjadi korban kekerasan. Menempatkan perempuan sebagai agen perdamaian memang beresiko dan rentan.

Sekolah Perempuan untuk Perdamaian

Suasana belajar mengajar di Sekolah Perempuan untuk Perdamaian di Pondok Bambu, Jakarta Timur. Foto: VIVA.co.id/Ahmad Rizaluddin

Namun, proses transformasi dari korban ke survivor melalui proses forgiveness bagi daerah yang pernah terjadi konflik merupakan langkah penting agar perempuan dari keluarga korban dan keluarga pelaku bisa menyudahi konflik dan membuka babak baru dengan bekerja sama.

Sekolah Perempuan juga menjadi wadah untuk berbagi kegelisahan, meski tak menyediakan solusi. Karena, kadang yang diperlukan bukan solusi tapi dukungan untuk seseorang bisa dealing dengan masalah yang ada.

“Perempuan sangat memiliki power untuk memastikan suami dan anak mereka tidak terlibat dalam kekerasan,” ujar Rubi.

Selain itu, berbekal pengetahuan analisis konflik dan perdamaian membuat para perempuan yang terlibat dalam Sekolah Perempuan selalu hati-hati dalam mencerna segala bentuk hasutan untuk menyerang kelompok minoritas.

Ia mencontohkan yang dilakukan peserta Sekolah Perempuan di Bogor. Saat mendengar isu Kristenisasi, mereka langsung melakukan investigasi dan berdialog dengan pihak-pihak terkait, terutama para pengambil keputusan di level paling bawah.

“Tradisi dialog ini yang pertama dilakukan. Karena, selama ini pendekatan penyelesaian masalah lebih bersifat individu.”

AMAN berharap, Sekolah Perempuan benar-benar menelurkan para perempuan yang tangguh. Yakni, perempuan yang mampu menjadi pemimpin, memiliki kepekaan terhadap konflik, skill leadership yang kuat, dan lincah berorganisasi.

Hari menjelang sore. Jam di dinding sudah menunjuk angka 3.30.

Proses belajar mengajar di sekolah ini pun disudahi. Tapi tak selesai sampai di situ. Karena masih ada agenda lain hari itu, yakni arisan.

Sejumlah perempuan pun langsung beringsut ke tengah untuk mengetahui siapa yang beruntung hari itu. Setelah prosesi ini selesai, mereka pun pulang satu demi satu.

Hanya tersisa beberapa orang yang terlihat masih asyik berbincang. Pekan depan, mereka akan kembali ke tempat ini, untuk kembali belajar dan berdiskusi.

Dengan materi dan tema yang berbeda, namun ujungnya sama, mencipta damai untuk semesta. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya