SOROT 338

Perempuan di Pusaran Kekerasan

Demonstrasi penolakan pabrik semen di Rembang
Sumber :
  • ANTARA/R. Rekotomo

VIVA.co.id - Siang itu, cuaca cukup terik. Sekelompok petani perempuan bergerombol di area yang cukup tandus. Mengenakan caping, sebagian membunyikan alat penumbuk padi tradisional. Mereka menyuarakan hak kebebasan berpendapat.

Di hadapan ibu-ibu petani itu, aparat kepolisian bersiaga. Negosiasi terjadi. Sudah ratusan hari warga menggelar aksi unjuk rasa. Menolak pembangunan pabrik semen di kawasan tempat tinggal mereka yang merupakan pegunungan karst Kendeng.

Warga khawatir, pembangunaan pabrik semen akan memakan lahan pertanian. Sumber mata pencaharian menyusut, keseimbangan ekosistem terganggu, dan membawa polusi ke wilayah tempat tinggal mereka.

Polisi akhirnya membubarkan paksa aksi demo petani perempuan itu. Tenda terpal yang mereka bangun dirobohkan. Aparat juga mencopoti seluruh atribut aksi. Bentrok pun terjadi. Para ibu-ibu petani berkeras pembangunan pabrik itu dibatalkan.

Yenny Wahid: Media Sosial Harusnya Penuh dengan Pesan Cinta

Demonstrasi penolakan pabrik semen di Rembang
Sejumlah perempuan memprotes pembangunan pabrik semen di Rembang di PTUN Semarang. Foto: ANTARA/R. Rekotomo

Peristiwa bentrok di Rembang, Jawa Tengah, pada 27 November 2014 itu terekam video yang diunggah di Youtube. Menyebar di jagat maya, publik mengkritik. Mereka menilai, polisi kurang simpatik menangani aksi demo warga sipil, terutama perempuan.

Tak surut langkah, ibu-ibu itu melanjutkan aksi mereka ke Jakarta. Mereka mengadu ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Markas Besar Polri, Komisi Yudisial, Mahkamah Agung, sampai Komisi Pemberantasan Korupsi.

Ibu-ibu itu berdiri di barisan paling depan warga Rembang untuk melindungi lingkungan tempat tinggal mereka dari kerusakan. Mereka meninggalkan anak dan suami di rumah dan tidur di tenda, dan kadang menjadi korban kekerasan aparat demi melindungi kawasan karst Kendeng Utara.

Para Perempuan yang Sempat Dituduh Beraliran Sesat




Makhluk Lemah

Perempuan sering dianggap makhluk lemah. Mereka kerap menjadi korban diskriminasi, kekerasan seksual, politik, ekonomi, dalam rumah tangga, hingga kekerasan di lingkungan kerja. Perempuan bahkan sering menjadi korban konflik sosial seperti kerusuhan maupun perang.

Menurut catatan Komisi Nasional (Komnas) Perempuan yang dimuat dalam Catatan Tahunan 2014 dan dirilis pada Maret 2015, ada 293.220 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2015. Kasus itu dikelompokkan dalam tiga kategori, yakni kekerasan psikis, ekonomi, dan fisik.

Kasus terbanyak ialah kekerasan psikis yang mencapai 47 persen. Kekerasan itu meliputi poligami tidak sehat, krisis akhlak, cemburu, kawin paksa, kawin di bawah umur, kekejaman mental, dihukum, politis, tidak ada keharmonisan, dan lain-lain.

Kedua adalah kekerasan ekonomi seperti masalah seputar ekonomi dan tidak tanggung jawab yang mencapai 46 persen. Ketiga adalah kekerasan fisik semacam kekejaman jasmani dan cacat biologis yang mencapai 3 persen.

Kekerasan terhadap Perempuan

Mariana Amiruddin

Mariana Amiruddin berorasi dalam salah satu aksi demonstrasi. Foto: facebook.com/mariana.amiruddin

Menurut Komnas Perempuan, meski data tidak memunculkan kategori kekerasan seksual, jika dicermati lebih dalam sejumlah kategori dapat mencakup kekerasan seksual, seperti tidak ada keharmonisan, kawin paksa, kawin di bawah umur, poligami tidak sehat, dan data lain-lain.

Itu baru kekerasan terhadap perempuan yang bersifat atau terjadi di lingkungan keluarga. Belum kekerasan yang terjadi di ranah publik, seperti kekerasan berbentuk intimidasi dalam pemilu atau pemilukada, kekerasan dalam peristiwa yang berhubungan dengan intoleransi, kekerasan dalam lembaga pendidikan, kekerasan dalam konflik sosial, dan lain-lain.

Menurut Komisioner Komnas Perempuan, Mariana Amiruddin, pada dasarnya perempuan cenderung menghindari konflik. Tapi, perempuan sering menjadi korban dalam banyak sektor, termasuk korban dalam konflik sosial seperti kerusuhan.

“Secara kultural, perempuan dibiasakan mengasihi, merawat, mengasuh, dan itu sifat-sifat yang mendamaikan bagi banyak orang,” kata Mariana kepada VIVA.co.id di Jakarta, Kamis, 2 April 2015.

Mariana menjelaskan, dalam banyak konflik sosial-politik, perempuan tidak banyak terlibat --meski justru sering menjadi korban-- tapi merekalah yang memelopori perdamaian. Dia mencontohkan dalam konflik sosial bernuansa agama di Poso, Sulawesi Tengah, pada medio 1998 sampai 2000, dan kerusuhan di Ambon, Maluku, pada 1999 dan 2011.

Saat para lelaki atau suami berperang atau saling bunuh, para ibu rumah tangga bermacam latar belakang agama yang justru mula-mula menyuarakan perdamaian.

Para ibu mencemaskan keselamatan keluarga masing-masing. Terdesak juga kebutuhan ekonomi yang terancam krisis karena para lelaki atau suami lebih sibuk berperang ketimbang bekerja demi menafkahi istri dan anak-anaknya.

“Mereka menyuarakan apakah tidak capai berperang. Akhirnya para tokoh agama perempuan maju, mereka menyuarakan untuk apa berperang, tidak capai apa, dan tidak peduli apa dengan keluarga dan anak. Apa tidak ada yang lebih baik selain perang,” kata Mariana.

Karakter dasar yang sama pada perempuan, menurut Mariana, juga bisa menjadi semangat perlawanan terhadap kekerasan atau kesewenangan. Unjuk rasa menolak penggusuran, biasanya perempuan yang di barisan terdepan. Demonstrasi kenaikan harga kebutuhan pokok, pasti perempuan yang kali pertama berhadapan dengan polisi.

Begitu juga pada unjuk rasa penolakan pembangunan pabrik semen di Rembang. Kaum ibu dan perempuan yang paling depan, serta bentrok dengan aparat.

Mariana menilai, perempuan akan berjuang sekuat tenaga dan apa pun risikonya manakala menyangkut keselamatan keluarga atau desakan kebutuhan ekonomi keluarga. Perempuan merasa dua hal itu ialah bagian utama kehidupannya, karena mereka tak memiliki kekuasaan publik seperti laki-laki.

“Sepanjang urusan rumah, mereka akan galak, egois sekali. Kebanyakan perempuan jika soal dapur, rumah tangga diganggu keberlangsungannya, mereka akan sangat marah, itu harga hidup mereka. Itu jika diambil, habis hidup dia karena di sanalah hidup mereka,” kata Mariana.

“Sama dengan sifat alami hewan. Kalau induk-induk hewan diganggu sarangnya, mereka akan sangat buas. Secara naluri akan mempertahankan itu,” dia menambahkan.



Peran Perempuan

Sayangnya, upaya perempuan dalam memperjuangkan haknya atau mencegah kekerasan dalam bentuk apa pun terhalang banyak hal, mulai budaya patriarki, sistem hukum yang bias gender, sampai sistem sosial-politik yang merugikan. Penyebabnya adalah mereka kurang memiliki akses terhadap kekuasaan sehingga tak maksimal mengubah kebijakan.

Semua masalah itu sumbernya adalah banyak perempuan tak mendapatkan pendidikan yang baik, sehingga tak mandiri secara ekonomi, tergantung pada laki-laki.

Upaya perempuan untuk mengubah sebuah kondisi yang menindasnya harus dua kali lebih keras dibanding laki-laki.

“Harus kencang sekali suaraya agar bisa didengar. Seperti Margareth Thatcher (mantan Perdana Menteri Inggris yang dijuluki Wanita Besi), yang di-bully laki-laki. Jika ia tidak keras berbicara, ia tidak akan didengar. Keras bersuara juga harus ada isinya (berbobot),” kata Mariana.

Belakangan memang sudah banyak perempuan yang menduduki posisi strategis yang bersifat publik, misalnya, menjadi kepala daerah, menteri, tokoh masyarakat, hingga aktivis sosial. Fenomena itu cukup menguntungkan bagi perempuan, karena mereka memiliki kewenangan atau akses untuk mengubah kebijakan.

Bonar Tigor Naipospos
Bonar Tigor Naipospos memberikan keterangan pers di kantor Setara Institute, Jakarta. Foto: ANTARA/Reno Esnir


“Dalam banyak studi memang memperlihatkan perempuan bisa memainkan perannya dalam konflik sosial dengan mengedepankan dialog, peran keibuan, feminin, kelembutan. Itu bisa mengalahkan kekerasan,” kata Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos, kepada VIVA.co.id pada Kamis, 2 April 2015.

Lembaga swadaya masyarakat The Wahid Institute mengamati ada tren penurunan tingkat kekerasan terhadap perempuan di banyak bidang dari tahun ke tahun. Tetapi, penurunan itu tak otomatis menjadi pertanda akar permasalahan kekerasan selama ini mulai terselesaikan.

Sebab, kekerasan serupa masih cukup tinggi di daerah-daerah yang tak tersentuh publikasi media massa. Lembaga yang memiliki perhatian pada isu kesetaraan perempuan itu menilai sedikitnya ada tiga elemen dasar untuk mencegah kekerasan yang wajib dipertahankan.

Pertama, perempuan sebagai kepala rumah tangga dalam makna mengatur urusan domestik keluarga. Kedua, perempuan sebagai pengasuh dan pendidik anak, sehingga dia bisa menanamkan sifat-sifat kelembutan dan kasih sayang pada anak-anak. Ketiga, perempuan sebagai pengelola ekonomi kecil dalam keluarga.

“Kalau dia (perempuan) ditempatkan di tiga elemen itu, dia memang cocok jadi agen perdamaian karena dia memiliki posisi kunci,” kata Visna Vulkonik, Manajer Program The Wahid Institute.

Berdasarkan penelitian dan proses pendampingan yang dilakukan The Wahid Institute, kata Visna, perempuan yang memiliki posisi kunci dalam tiga hal dasar itu cenderung menjadi perempuan yang tangguh. Perempuan semacam itu juga mampu mengelola kebutuhan dasar keluarga dan terutama mendidik anak-anaknya dengan baik.

Visna mencontohkan beberapa kasus kekerasan atau konflik sosial, di antaranya, konflik di Poso, kasus Ahmadiyah di Bogor, konflik yang dipicu perbedaan aliran Sunni dengan Syiah di Madura. Sumber masalahnya ternyata adalah faktor ekonomi.

“Nah, ketika perempuan ini disandingkan dengan peningkatan ekonomi, dia punya peran penting mengelola keuangan keluarga,” katanya. (art)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya