SOROT 343

Polisi-polisi Baik

polisi sorot
Sumber :
  • VIVA.co.id/Mohammad Zumrotul Abidin

VIVA.co.id - Bicara soal polisi, publik pun langsung teringat lelucon karya mendiang Presiden Abdurrahman Wahid. "Cuma ada tiga polisi yang jujur: polisi tidur, patung polisi, dan Polisi Hoegeng," kata Gus Dur suatu ketika.

Kapolri Minta Polisi Beri Pelayanan Maksimal ke Publik

Guyonan itu masih relevan hingga kini, sekaligus jadi bahan introspeksi bagi Kepolisian Republik Indonesia. Muncul kesan yang sudah melekat di masyarakat bahwa zaman sekarang langka sekali mencari polisi seperti mendiang Hoegeng Imam Santoso, Kepala Kepolisian RI selama 1968-1971,  yang punya reputasi harum sebagai polisi baik, yaitu profesional dan punya integritas.   

Namun, VIVA.co.id menemukan ada sejumlah polisi yang sebenarnya mengikuti teladan Hoegeng. Mereka bukan patung polisi, apalagi polisi tidur, namun selama ini peran mereka kalah populer dengan berita-berita kontroversial para kolega atau atasan mereka yang selama ini lebih banyak mendapat sorotan publik dan perhatian media massa.

Lembaga Ini Disebut Pengekang Kebebasan Berpendapat

Di tengah sorotan negatif nama besar Korps Bhayangkara di mata masyarakat, masih tersisa cerita polisi hebat yang tulus mengabdikan diri kepada bangsa dan negara. Mereka orang-orang langka yang mau meluangkan waktu dan tenaga demi Indonesia yang lebih baik.
 
Di bawah ini ada sepak terjang tiga polisi hebat yang layak ditonjolkan.

1. Polisi Kiai Seribu Santri

Kesehariannya bergelut dengan mayat di dunia forensik tak menyurutkan semangat Aiptu Wazir Arwani Malik melakoni aktivitas mengajar. Berbekal keuletan dan ketelatenan, penyidik Direktorat Reserse Kriminal Umum Polda Jawa Tengah ini tanpa kesulitan membagi waktu antara tugas negara dan mengasuh pondok pesantren Al-Hadi  Girikusuma, Mranggen, Demak, Jawa Tengah.

Tugas polisi bahkan selalu ia aplikasikan melalui pendidikan pesantren kepada 980 santri yang ia asuh. Hampir seribu.

Pria yang memulai karir sebagai polisi sejak tahun 1992 itu bahkan tak menyangka akan menjadi polisi. Awal karirnya dia  bertugas di Slawi dan pada 1993 pindah ke Polda Jateng hingga sekarang.

"Awalnya saya tidak suka jadi polisi. Sebenarnya ingin jadi TNI AU, tapi gagal,” katanya.

Dia tak ingin jadi polisi lantaran di matanya, polisi itu miring. Banyak keburukannya. Namun, setelah didalami, ternyata pekerjaan ini sejalan dengan ilmu agama yang dia pelajari sejak kecil.

Kopassus Diminta Latih Brimob, Polri Tak Percaya Diri

Menurutnya, tugas polisi merupakan amanah negara yang sudah termaktub dalam ilmu Agama. Wajar dia bias mengatakan demikian karena Wazir mahir berbahasa arab dan punya ilmu menafsirkan Alquran.

Ketertarikannya mengabdi di dunia pesantren sekaligus sebagai polisi, karena dia besar dan tumbuh di lingkungan  keluarga santri, sehingga dia merasa mengajar bukan pekerjaan, melainkan kewajiban. "Saya lebih konsen pada pendidikan sore dan malam hari. Itu saja kalau sedang tidak ada dinas luar dan mendadak,” kata pria kelahiran Demak, 28 Februari 1968 ini.

Selain mengajar santri, dia juga menjadi dosen terbang untuk mata kuliah olah TKP di sejumlah perguruan tinggi. Hanya saja dosen tamu ini tak sesering mengajar di pesantren yang bisa dibilang hamper tiap hari.

Selama 20 tahun lebih berstatus polisi dan kiai, Wazir mengaku respons masyarakat terhadapnya tak semudah membalikkan telapak tangan. Pemahaman miring masyarakat terhadap polisi kerap menjadi tantangan yang harus dijawab. Sorotan negatif publik mengenai profesi polisi ini bahkan menjadi pekerjaan yang penuh perjuangan untuk memberi pemahaman kepada mereka.

"Sebenarnya kalau disikapi dengan benar, profesi polisi itu penuh pahala.”

Cibiran masyarakat yang menilai negatif profesi polisi diakuinya sering dialamatkan kepadanya. Namun, hambatan itu ia jawab dengan sikap dan teladan.

Khususnya melalui pendidikan yang kerap diajarkan. "Pada intinya bagaimana polisi harus membuktikan lewat gebrakan. Polisi harus jadi pelindung dan pengayom masyarakat. Bukan retorika dan teoritik dan slogan di jalan-jalan semata, " ujar dia.

Sebagai pegawai polisi dia bahkan tak pernah berharap memperoleh pendapatan lebih. Sebab tanggungjawab yang diemban tak sepadan dengan gaji. Tapi dia bias mensiasati dengan hidup sederhana. "Kalau mau jadi pegawai ya sederhana. Kalau ada polisi yang hidup berlebih, saya tidak tahu (itu uangnya dari mana),” kata Wazir yang kesehariannya menganalisa mayat melalui visum dan autopsi.

Dia tak malu mengendari sepeda motor saat berangkat dan pulang kerja, dari Semarang ke Mranggen, Demak.  "Saya tak punya mobil. Hidup ini tak perlu mewah-mewah,” katanya.

Soal kesederhanaan ini, M Lutfil Hakim, salah satu santri di Girikusuma,  kesederhanaan Wazir makin membuat kebanggan bahwa polisi sangat dekat dengan masyarakat. "Kalau di sini bapak jarang pakai seragam, dan hidupnya sangat sederhana. Pengetahuan agamanya luas," kata Lufil.

Menjelang 17 tahun reformasi Polri, Wazir memiliki secercah keinginan. Dari lubuk yang paling dalam ia berharap lembaga Polri semakin baik. Akselerasi Presiden Jokowi tentang reformasi mental bisa tertanam di hati para perwira Polri dengan tetap berpegang teguh pada Agama.

"Agama itu jadi titik sentral. Kalau polisi memahami agama dengan baik, maka tugas yang diamanahkan juga bagian dari ibadah,” katanya.

polisi sorot

Aiptu Wazir Arwani Malik selama 20 tahun lebih berstatus polisi dan kiai, Wazir mengaku respons masyarakat terhadapnya tak semudah membalikkan telapak tangan. Foto: VIVA.co.id/Dwi Royanto


2. Bhayangkara Pejuang Pendidikan

Dunia pendidikan nampaknya masih menjadi barang yang mewah bagi mereka yang hidup dibawah garis kemiskinan. Meski berada di pinggiran ibu kota, nyatanya itu bukan jaminan bagi setiap warga mendapat pendidikan yang layak.

Ya, kasus ini ditemukan di kawasan Bojonggede Kabupaten Bogor, wilayah yang berbatasan langsung dengan Kota Depok yang notabennya masih berada di pinggiran Ibu Kota Jakarta.

Data yang dihimpun VIVA.co.id, dalam satu desa saja di kawasan ini ada 200 warga yang putus sekolah. Mereka kebanyakan warga Desa Kalisuren, Bojonggede. Namun belakangan, secercah harapan bagi mereka yang tak dapat menikmati bangku sekolah mulai tumbuh.

Harapan untuk meraih masa depan yang lebih baik itu dibawa oleh seorang anggota Polri yang sehari-harinya bertugas sebagai anggota Provost di Mapolsek Bojonggede, di bawah naungan Polresta Depok.

Sosok pria tegap, berwajah sangar dengan sorot matanya yang tajam itu adalah Aiptu Zakaria. Meski tampilannya terkesan gahar, namun jangan salah, pria yang menjabat sebagai Kasium Provost Polsek Bojonggede itu ternyata berjiwa sosial cukup tinggi.

Dia rela menyisihkan waktu luangnya demi memberi bekal pendidikan bagi mereka yang putus sekolah. Masuk kampung ke luar kampung dengan menggunakan motor butut satu-satunya, biasa dilakukan Bang Zak di sela-sela kesibukannya sebagai anggota Polri.

Yang menarik, dari sebagian besar muridnya yang rata-rata telah berusia dewasa dan remaja, bahkan ada Kepala Desa Kalisuren.

Bang Zak, akrab ia disapa, menuturkan, awal ketertarikannya dengan dunia pendidikan ketika pada 1990-an ia menjadi ketua komite sekolah di SD tempat sang anaknya. "Tadinya saya penjembatan antara orangtua murid dengan pihak sekolah,  banyak orangtua dan guru yang kebingungan tiap kali berurusan dengan dana," tuturnya.

Lantaran kerap bersentuhan langsung dengan para pendidik, Bang Zak pun mulai tertarik sebagai pengajar. Terlebih, ia banyak melihat kenyataan di desa tempatnya bertugas tak sedikit warga yang putus sekolah.

Dari situ, dia mulai menempuh pendidikan hingga akhirnya lulus S2 ilmu pendidikan. Setelah lulus, dia mulai mengajar. Dia rangkul mereka yang putus sekolah. “Saya memberi bekal pengetahuan di tempat apa adanya, biasanya di balai desa," tutur Bang Zak dengan senyum yang ramah.

Untuk mensiasati keinginannya membantu mereka yang membutuhkan pendidikan, Bang Zak membagi waktu tugasnya dengan sangat profesional. Waktu mengajar ia lakukan selepas piket atau saat dia libur.

Dalam sehari, Bang Zak bertugas 24 jam sebagai polisi. Esoknya, dia mendapat jatah libur. Pada hari itulah, dia mengajar ratusan anak putus sekolah.

Selain mengajar di tempat terbuka, Bang Zak juga aktif mengajar di sejumlah sekolah formal di Bojonggede. Ia juga dikenal baik dan selalu menjadi teladan bagi para siswa dan siswi yang ia datangi.

"Ya saya kalau ngajar tetap pakai seragam ini. Saya ingin memberikan pengertian sekaligus menjalankan cita-cita yang diemban Polri, yakni polisi sahabat anak," katanya sambil menghisap dalam-dalam rokok kretek.

Kepedulian Bang Zak yang mengabdikan dirinya penuh dengan dedikasi ini banyak mendulang dukungan. Tak hanya dari lapisan masyarakat, tapi juga dari teman satu korps. Namun sayang, apa yang dilakukan Bang Zak tidak selalu menuai buah yang manis.

Salah satunya, meski sudah mengantongi sarjana S2 dan mengabdikan diri lebih dari 27 tahun,  Bang Zak sampai saat belum juga mendapat kesempatan menjadi seorang perwira.

Hal itu disampaikan Ipda Bagus Suwardi, salah satu rekan kerja Bang Zak. Bang Zak sudah mendaftar Sekolah Inspektur Polisi (SIP) dan alih golongan lebih dari lima kali, namun sayang sampai saat ini belum juga lolos.

"Bang Zak itu senior saya saat di Bintara. Orangnya ya begitu itu, supel, perhatian dan sangat peduli dengan apa yang ada di sekitarnya,” kata Bagus.

polisi sorot

Aiptu Zakaria kalau saat mengajar tetap pakai seragam polisi, ia ingin memberikan pengertian polisi sahabat anak. Foto: VIVA.co.id/Zahrul Darmawan


3.  Sahabat Anak Pecandu Narkoba

Gayanya supel. Tidak menakutkan. Dan yang paling penting tidak neko-neko, sederhana. Dia bekerja rajin, lembut tapi tegas. Dia polisi tanpa kompromi. Dia adalah AKBP Suparti, Kepala Badan Narkotika  Kota Surabaya yang diangkat sejak Kamis 4 Desember 2014.

Duduk di jabatan ini, bagi Suparti adalah perjuangan berat. Meski lama menjadi polisi, tapi dunia narkoba di Surabaya merupakan masalah kompleks. “Saya mulai dengan menggali lebih dalam. Di situ saya nerima banyak problem, ternyata narkoba sudah menjadi gaya hidup,” tutur Suparti kepada VIVA.co.id, Kamis 7 Mei.

Menelusuri peredaran narkoba di Surabaya harus dimulai dengan kesabaran dan kelembutan mendekati para pemakai atau pecandu narkoba. Mengajak bicara, memberi kepercayaan kepada mereka, serta mengajak untuk sembuh adalah kunci utama perang dengan bahaya naerkoba.

“Dari pendekatan itu, informasi soal peredaran narkoba datang sendiri,”  katanya.

Suparti sering bergaul dengan para pecandu yang rata-rata masih duduk di bangku SMP. Mereka mengakui semua perbuatannya. Karena dia menjamin tidak akan menagkapnya. Bagi Suparti, targetnya bias direhabilitasi.

Namun sayang, lima bulan bekerja di BNN, Suparti mulai merasakan beratnya perang dengan narkoba. Mulai dari kantor, personel, hingga anggaran.  Kantor tidak punya, personel sangat kurang, dan anggaran cuma cukup untuk membiayai dua pertemuan dengan para pecandu saja.
 
Untuk mensiasati minimnya anggaran dan pegawai yang hanya 31 orang, Suparti harus menggunakan cara-cara di luar pakem. Dia memanfaatkan setiap kesempatan untuk berkampanye antinarkoba. Dia menggelar lapak di pinggir jalan dengan mambawa brosur, poster, buku saku, dan dummy obat.

Ketika anak-anak kecil mulai berkerumun, Suparti langsung langsung menggelar seluruh alat peraga. Dia ajak komunikasi. Setelah ditanya, ternyata anak-anak SD kelas 1 itu sudah ngerti banyak tentang jenis narkoba. Mereka bahkan ada yang memperagakan bagaimana peredaran narkoba dengan cara menanam ranjau.

“Mereka pernah menyaksikan ada serbuk putih dibungkus tisu, ditaruh di pot bunga di pinggir jalan,” kata peraih Kartini Award IWAPI Jawa Timur ini.

“Saya langsung beritahu dengan cara saya sendiri, ‘Ojo le, iku obat garai gendeng. Nek gendeng gak iso sekolah. Nek gendeng awakmu gak iso lapo-lapo (jangan nak, obat itu bikin gila. Kalau gila kalian tidak bisa sekolah dan tidak bisa apa-apa)’,”  ujar Suparti, menceritakan.

Dari data yang dikumpulkan BNN Surabaya, saat ini ada 400 pecandu. Usia termuda 12 tahun. Mayoritas peredaran narkoba menyasar anak usia SMP. Untuk usia SD, masih coba-coba. Dia juga terus berjuang agar tidak ada kampung narkoba di Surabaya. Saat ini ada 10 kampung yang harus diwaspadai. Dari jumlah itu, ada tiga kampung yang terus diamati. Karena di situ banyak pengguna.

polisi sorot

AKBP Suparti sering bergaul dengan para pecandu yang rata-rata masih duduk di bangku SMP. Foto: VIVA.co.id/Mohammad Zumrotul Abidin

 

Karir Suparti di kepolisian dimulai dengan menjadi anggota Satlantas Kepolisian Wilayah Kota Besar Surabaya pada 1981, kemudian menjadi Kepala Tata Usaha Polres Surabaya Selatan pada 1997. Pada tahun 1999 dia menjabat Kepala Unit Binmas Polsek Tegalsari, pada 2002 menjadi Kasubag Logistik Polwil Tabes Surabaya. Puncak karir di kepolisian adalah menjadi Kasubag Humas Polrestabes Surabaya pada 2010-2014.

Ke depan, Suparti bercita-cita menggarap dunia narkoba di kelas menengah ke atas di Surabaya. Dia juga berharap ada bantuan dari Pemerintah Kota Surabaya untuk membantu kantor permanen.

“Ada kaum feminis dengan masalah narkoba di Surabaya yang tidak terfasilitasi. Ada 35 pengguna. Mereka juga mantan pasangan pengguna,” kata peraih penghargaan Kapolsek terbaik ini. (ren)

 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya