- VIVA.co.id/Zulkarnaini Muchtar
VIVA.co.id - Malam itu, cuaca di Selat Malaka sangat cerah. Tak ada hujan dan badai. Hanya ombak mengayun pelan, berkejaran ke tepian.
Sejumlah nelayan tampak asyik memancing ikan. Namun, ketenangan itu buyar saat mereka mendengar teriakan dari tengah laut.
Mata mereka langsung tertumbuk pada ratusan orang yang berjubel dalam sebuah kapal. Sebagian dari mereka ada yang nekat mencebur ke laut sambil melambaikan tangan, memohon pertolongan.
Tak menunggu lama, para nelayan ini menghentikan aktifitasnya dan langsung mengarahkan perahu mereka ke kapal yang terombang ambing di tengah lautan tersebut. Para nelayan dari Aceh Timur ini langsung terhenyak, melihat ratusan orang berdesak-desakan di dalam kapal kayu tersebut. Sebagian dari mereka tergeletak di dek atau bersandar di dinding kapal.
“Saya tidak tahan melihat anak-anak yang sudah berbaring dalam kapal bersama ibunya. Saya langsung memeluk anak-anak mereka satu persatu,” ujar Marzuki Ramli (40), salah satu nelayan kepada VIVA.co.id, yang menemui dia di Pelabuhan Kuala Langsa, Kota Langsa , Kamis, 21 Mei 2015.
Marzuki tertegun. Mulutnya tercekat demi melihat, ratusan orang yang tampak kelaparan.
Pria asal Langsa ini belum pernah menyaksikan orang-orang yang tidak makan selama berbulan-bulan di tengah lautan. “Sebagian mereka sudah terbaring, tergeletak di atas dek kapal seperti mayat. Mereka kelaparan,” ujar dia, mengenang peristiwa yang terjadi pada Kamis, 14 Mei 2015 tersebut.
Marzuki dan kawan-kawannya langsung menanak nasi. Tiga periuk berukuran besar langsung tandas, habis dibagikan kepada para pengungsi yang kelaparan tersebut.
Saking laparnya, para pengungsi ini tak menggunakan piring atau mangkok untuk menampung makanan. Mereka langsung menadahkan tangan.
Saat ditemukan terombang ambing di laut, kondisi imigran sangat memprihatinkan.
“Nasi dibagi dalam telapak tangan masing-masing orang. Kondisi mereka terlihat sangat memprihatinkan, kelaparan, sakit dan lemas tak sanggup bergerak lagi,” ujar nelayan ini sambil sesekali menyeka air matanya.
Sambil memasak, Marzuki dan teman-temannya menghubungi nelayan lain untuk menjemput para imigran tersebut. “Kalian tenang di sini teman kami akan menjemput kalian semua. Kalian harus hidup seperti kami juga,” ujar Marzuki di depan para imigran.
Tak lama kemudian, lima perahu nelayan datang. Satu demi satu ratusan pengungsi tersebut pindah ke perahu nelayan. Marzuki dan kawan-kawannya membawa para imigran itu ke Pelabuhan Kuala Langsa, Jumat pagi, 15 Mei 2015.
Terbuang dari Tanah Kelahiran
Tak seperti biasanya, Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Kuala Cangkoy, Aceh Utara terlihat ramai. Ratusan orang beragam usia tampak berjejal di tanah lapang seluas 10x6 meter ini.
Mereka tak sedang menjajakan ikan, atau hendak membeli hasil laut Orang-orang ini merupakan pengungsi asal Myanmar dan Bangladesh.
Seorang pria berusia dua puluhan tampak hilir mudik di antara kerumunan. Sembari tersenyum, dia memanggil satu demi satu para pengungsi yang sudah antri untuk berobat.
Nama pria ini adalah Muhammad Husein. Ia merupakan salah satu pengungsi yang berhasil diselamatkan para nelayan. Meski beretnis Rohingnya dan berasal dari Myanmar, ia sangat fasih berbahasa Indonesia.
Siang itu, dia sibuk menerjemahkan bahasa Myanmar ke bahasa Indonesia dan sebaliknya, guna membantu para pengungsi yang akan berobat.
Di sela-sela kesibukannya, Husein terlihat berjalan ke sudut ruangan, tempat perempuan dan anak-anak berkumpul, menunggu giliran. Husein menghampiri mereka dan langsung mengendong seorang anak usia dua tahun.
“Ini anak teman saya. Sayang anak-anak ini belum bisa ketemu dengan ayahnya di Malaysia. Ibunya ada di sini,” ujar Husein kepada VIVA.co.id, yang menemui dia di lokasi pengungsian, Selasa, 19 Mei 2015.
Husein merupakan salah seorang imigran asal Myanmar yang terdampar di perairan Seunuddon, Aceh Utara, pekan lalu. Bersama 572 warga Bangladesh dan Myanmar lainnya, ia ditampung sementara di TPI Kuala Cangkoy, Lapang, Aceh Utara.
Sebelum mengarungi lautan, ia tinggal di kamp pengungsian Arakan, sebuah perkampungan di perbatasan Myanmar dan Bangladesh. “Bapak, mama dan adik saya masih di sana,” ujarnya menambahkan.
Pada 20 Maret lalu, Husein bersama teman-temanya, memutuskan pergi dari Myanmar. “Mencari perlindungan hidup. Di negara sendiri, kami tak bisa hidup. Rumah kami dibakar, lahan kami juga dirampas,”ujar Husein sambil menyeka air matanya.
Tujuan utama Husein bukan Indonesia, melainkan Malaysia. Ia bermaksud mencari perlindungan dan hidup di Negeri Jiran tersebut. Ia sudah ditunggu oleh sahabatnya yang sudah lebih dulu datang dan bekerja di Malaysia.
Namun, malang bagi Husein. Pergi dari kampung halamannya ternyata tak membuat nasibnya lebih baik.
Selama di dalam kapal yang mengangkut 582 orang Rohingya dan Bangladesh, ia dan pengungsi lain kerap dipukul oleh awak kapal. Mereka duduk berdempet-dempetan.
Kakinya harus ditekuk, menopang dada. Sisi kiri dan kanan, depan dan belakang penuh dengan barisan penumpang.
“Kalau ada yang bicara langsung dipukul sama asisten kapten. Saya termasuk yang dipukul di tangan. Sampai sekarang tangan saya masih sakit,” ujarnya sambil memperlihatkan bekas luka di lengannya.
Selama dua bulan lebih, Husein dan pengungsi lainnya dibakar matahari dan diguyur hujan. Tak hanya itu, mereka juga kekurangan makanan dan minuman.
Akibatnya, banyak pengungsi yang sakit karena kelaparan. “Delapan hari lebih kami tidak ada makanan, hanya minum air saja,” katanya.
Ditinggal di Lautan
Di tengah laut, kapten kapal memberitahukan, mereka sudah hampir tiba di Malaysia, tepatnya di dekat Singapura. Kemudian, kapten kapal bersama awaknya pergi meninggalkan kapal.
Alasannya, pamit sebentar. Mereka berjanji akan kembali lagi.
“Mereka berbohong. Mereka meninggalkan kami di tengah laut, tidak pernah balik lagi ke kapal. Kapten dijemput dengan boat kecil,” ujar Husein dengan raut wajah mengeras.
Berhari-hari, kapal yang mereka tumpangi terombang-ambing di tengah lautan. Hingga akhirnya mereka ditemukan dan diselamatkan nelayan di perairan Seunuddon, Aceh Utara.
Husein tak sendiri. Nasib serupa juga dialami, Hasan Ali (33). Hasan terombang-ambing di lautan akibat ulah agen dan kapten kapal.
Hasan mengaku meninggalkan Myanmar karena ajakan seseorang yang tak ia kenal sebelumnya.
Orang itu sudah banyak mengajak warga lain untuk keluar dari Myanmar. Hasan langsung menerima ajakan itu.
Dia memang sudah lama ingin pergi meninggalkan negaranya. Mereka berangkat dari Desa Alkaf menuju Arakan bersama 7 orang temannya.
“Di sungai itu, sudah ada 13 orang bersama satu boat bisa memuat sekitar 20 sampai 25 orang,” kata Hasan kepada VIVA.co.id, Kamis, 21 Mei 2015.
Boat kecil itu pun pelan-pelan berjalan menuju ke kapal yang sudah menunggu di tengah laut. Dalam perjalanan, kapal yang ditumpangi Hasan beberapa kali berhenti untuk mengambil orang lain yang juga dibawa dengan boat kecil.
Hasan dan penumpang lain memang dikasih makan oleh awak kapal. Namun, sedikit sekali.
Dalam sehari semalam mereka hanya diberi makan dua kali dan itu pun sedikit. Selama di kapal Hasan dan penumpang lain hanya bisa duduk.
Mereka dilarang bergerak sedikit pun. Tak hanya itu, mereka sering mendapat perlakuan kasar dan kekerasan dari awak kapal.
“Di dalam kapal kami dipukul oleh awak kapal. Kami bicara sama kawan-kawan saja dipukul. Minta makanan juga dipukul,” ujar dia sambil mengenang.
Hasan mengaku, ia tak tahu akan dibawa kemana. Bagi dia, yang penting dia bisa keluar dari Myanmar.
“Kami tak bisa hidup di Myanmar. Di sana dipukul oleh polisi dan warga Myanmar. Jadi kami mencari negara atau tempat lain yang lebih nyaman bagi kami,” ujarnya.
Hasan Ali, salah satu pengungsi etnis Rohingya yang diselamatkan nelayan Aceh.
Seperti Husein, Hasan memutuskan keluar dari Myanmar untuk menyelamatkan nyawa. Sebab, banyak etnis Rohingnya di Myanmar yang dibunuh, ditembak dan rumahnya dibakar.
Selain itu, ia juga butuh pekerjaan untuk menghidupi keluarganya. Sebab, ia tak bisa bekerja dan mengais nafkah di negaranya.
“Kami dianiaya dan tidak diterima di Myanmar. Setiap hari ada orang Rohingya yang meninggal karena dipukul, ditembak, dibakar dalam rumah, rumah dibakar. Jadi kami mencari perlindungan hidup ke negara lain,” ujar pria ini dengan mata berkaca-kaca. “Kami dibilang bukan warga negara Myanmar,” lanjut dia.
Dalam perjalanan, di peraian laut Thailand mereka dilarang masuk ke negara itu. Kapal yang ditumpangi Hasan ditarik kembali ke laut oleh pihak otoritas Thailand.
Hal yang sama juga mereka alami di perairan laut Malaysia. Di tengah laut, tiba-tiba kapten dan awak kapal pergi dengan menggunakan boat kecil.
“Mesin kapal yang kami tumpangi dibawa oleh kapten kapal. Kapal kami tidak ada mesin, stirnya juga dirusakkan. Jadi kami terapung-apung di laut selama dua bulan tidak ada makanan,” ujar Hasan.
Beruntung, nelayan dan warga Aceh berhasil menyelamatkan Hasan dan ratusan pengungsi lainnya. Ia diselamatkan nelayan Aceh di Kecamatan Juluk, Aceh Timur.
Hasan bersama 433 imigran asal Myanmar dan Bangladesh akhirnya ditempatkan di Desa Bayeun, Kecamatan Ranto Selamat, Aceh Timur. Lahan seluas enam hektar yang dijadikan lokasi pengungsian ini merupakan bekas pabrik kertas.
Ratusan imigran Rohingya beristirahat di lokasi pengungsian.
Tak ada yang istimewa dari lokasi pengungsian ini. Hanya ada satu gedung dan empat tenda kuning berukuran besar.
Hasan Ali merupakan imigran asal Myanmar gelombang ketiga yang tiba di Aceh.
Banyak Menolak
Berbulan-bulan terombang-ambing di lautan, mereka berharap menemukan daratan. Namun, harapan itu menjadi sesuatu yang mewah untuk mereka.
Pasalnya, tak ada negara yang mau menerima dan menampung mereka. Bantuan memang diberikan, dalam bentuk makanan dan minuman. Namun, para pengungsi ini diminta untuk pergi, kembali mengarungi lautan.
Thailand dan Malaysia menolak kehadiran mereka. Dua negara itu hanya memberikan bantuan makanan dan minuman serta bahan bakar untuk melanjutkan perjalanan.
Namun, mereka mengusir kapal-kapal para pengungsi itu agar tak merapat dan mendarat di tanah mereka. Lalu, bagaimana dengan Indonesia?
Panglima TNI Jenderal Moeldoko sempat mengatakan Pemerintah Indonesia tak akan membiarkan wilayah lautnya dimasuki kapal-kapal pengungsi Rohingya.
Menurut dia, bantuan kemanusiaan tetap akan diberikan kepada pengungsi yang terusir dari Myanmar tersebut. Namun, TNI tetap melarang mereka masuk apalagi menepi di daratan Indonesia.
Kepala Pusat Penerangan Mabes TNI, Mayjen Mochamad Fuad Basya, mengatakan, setiap orang yang masuk wilayah Indonesia harus mengantongi izin dan dokumen.
Menurut dia, orang yang masuk tanpa izin tidak boleh bukan diusir. Ia berdalih, tugas TNI adalah menjaga perbatasan. “Kalau sampai ada orang masuk ke wilayah kita tanpa izin, berarti TNI tidak melakukan tugasnya dengan baik,” ujar dia kepada VIVA.co.id, Kamis 22 Mei 2015.
Fuad mengatakan, jika pemerintah memberikan izin, maka TNI Angkatan Laut akan tunduk. Namun, jika tidak ada izin resmi, TNI akan tetap melarang, kecuali bagi mereka yang sudah masuk ke wilayah Indonesia.
Demi mengantisipasi kedatangan para pengungsi, TNI menambah kekuatan untuk menggelar patroli di laut. “Saat ini ada peningkatan patroli. Selama ini hanya satu kapal perang, sekarang empat kapal perang.”
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mengecam pernyataan Jenderal TNI Moeldoko. Mereka mendesak Pemerintah Indonesia menjamin perlindungan Hak Asasi Manusia terhadap pengungsi dan pencari suaka asal etnis Rohingya.
Koordinator KontraS, Haris Azhar, menyarankan perlunya koordinasi antara institusi terkait, di antaranya Kementerian Luar Negeri, Kepolisian, TNI, Kementerian Hukum dan HAM, serta Kementerian Politik, Hukum dan Keamanan.
Hal ini perlu dilakukan karena ketidakjelasan kebijakan antarinstitusi serta tidak adanya aturan standar penanganan pengungsi dan pencari suaka.
dan Juru bicara Kemenlu Armanatha Nasir mengatakan, kesepakatan itu merupakan hasil pertemuan antara Menlu Retno L.P Marsudi dengan Malaysia dan Thailand.
Diplomat yang akrab disapa Tata ini mengatakan, Indonesia dan Malaysia sepakat untuk memberikan bantuan kemanusiaan kepada 7000 migran yang masih ada di laut.
Menurut dia, Indonesia dan Malaysia sepaham, migran dan Rohingya bukan hanya isu satu negara tapi merupakan isu regional dan internasional.
Atas Dasar Kemanusiaan
Sementara itu, Pemerintah Daerah Aceh berjanji akan membantu dan menolong para pengungsi asal Myanmar dan Bangladesh ini. Bupati Aceh Utara Muhamad Thaib mengatakan, sebagai sesama manusia ia merasa berkewajiban untuk menolong sesama.
“Kita wajib membantu sesama manusia yang sedang mengalami kesulitan atau mendapatkan musibah tidak boleh memandang suku, agama dan ras,” ujar dia kepada VIVA.co.id, Rabu, 20 Mei 2015.
“Siapapun yang sampai di wilayah Aceh Utara, kami tetap menolong. Kami sebagai orang Aceh harus sadar, bahwa Aceh pernah mengalami masa-masa sulit seperti yang dirasakan oleh saudara kita dari Rohingnya,” ujarnya menambahkan.
Menurut dia, melalui Dinas Sosial Pemda telah memberikan bantuan awal untuk memulihkan para pengungsi ini dari trauma selama di laut. Selain itu, Pemda juga menyediakan dapur umum.
Bupati juga mengusahakan lokasi pengungsian yang lebih baik. “Awalnya mereka di GOR Lhoksukon, kemudian kami mencari tempat yang lebih nyaman dan lebih luas di TPI Kuala Cangkoy,” ujarnya.
Selain itu, ia juga berkoordinasi dengan Polres, Kejaksaan, dan Imigrasi untuk memastikan fasilitas yang layak bagi para pengungsi. Pemda juga menyediakan posko kesehatan dengan mengerahkan tenaga kesehatan di Puskesmas di Kabupaten Aceh Utara.
Muhammad Thaib menegaskan, selama para pengungsi ini belum mendapatkan tempat penampungan yang layak atau rumah detensi, ia akan menampung mereka. Menurut dia, selama mereka sudah ada di daratan Aceh Utara, ia akan selalu memberikan pertolongan.
Ia hanya berharap, masyarakat bahu membahu membantu untuk meringankan beban para pengungsi. “Mari kita berbagi untuk sesama.”
Meski masih berada di pengungsian, Muhammad Husein sudah merasa lega. Sehari-hari ia menjadi penerjemah, guna membantu komunikasi antara pengungsi dengan tim medis dan relawan lainnya. Hasan juga merasakan hal yang sama. Ia merasa bersyukur sudah tiba di Indonesia.
“Jangan pulangkan kami ke Myanmar. Terima kami di sini. Kami ini bukan orang jahat. Kami orang yang mencari perlindungan hidup, kami tidak ingin kembali lagi ke Myanmar.” (ren)