SOROT 349

Kala Maut Merenggut Anak Pungut

Seorang siswa SD menyampaikan karangan bunga untuk Angeline
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Maulana Surya

VIVA.co.id - Malam itu, Agustinus Tai Andamai (25) tampak tenang. Tersangka kasus pembunuhan Engeline (8) ini berbicara dengan lancar.

Sikap yang tak biasa. Tiap kali memberikan keterangan kepada polisi, biasanya ia berbicara terbata-bata. Tiga penyidik dari Kepolisian Daerah (Polda) Bali yang menginterogasinya, tak lagi membuat pria ini keder dan takut.

Di depan penyidik, Agus berbicara panjang lebar tentang kasus pembunuhan Engeline. Ia mengatakan bahwa sebenarnya pembunuh Engeline bukan dia, melainkan Margreit Christina Megawe, ibu angkat Engeline.

Anak-anak Indonesia dalam Bahaya

Pernyataan Agus ini membatalkan keterangan dia sebelumnya. Agus pernah menyatakan bahwa ia yang telah memperkosa dan membunuh Engeline.

Pemeriksaan yang dimulai pukul 20.00 Wita ini hanya berjalan sekitar dua jam. Penyidik hanya ingin mencocokkan keterangan Agus terbaru dengan Berita Acara Pemeriksaan (BAP) sebelumnya. Pemeriksaan yang dilakukan pada Kamis malam, 18 Juni 2015 ini pun hanya dilakukan secara lisan.

Kuasa hukum Agus, Haposan Sihombing, mengatakan, penyidik mencecar kliennya dengan banyak pertanyaan. Sesekali, penyidik mengulang pertanyaan yang sama. Menurut Haposan, Agus membantah telah memperkosa dan membunuh Engeline.

Menurut Agus, Margreit yang telah membunuh bocah mungil itu. "Sebelumnya Agus mengatakan, jika dia yang melakukan pemerkosaan dan pembunuhan. Dalam pemeriksaan semalam, Agus mengatakan yang melakukan pembunuhan sesungguhnya Margreit, tempatnya di kamar Margreit," ujar Haposan saat berbincang dengan VIVA.co.id di Mapolda Bali, Kamis malam, 18 Juni 2015.

Haposan menuturkan, awalnya Agus mendengar Engeline berteriak. "Dia dengar Engeline berteriak, 'Sudah Ma. Jangan pukul aku Ma'," ujar Haposan menirukan. Selang tiga menit kemudian, Margreit memanggil Agus untuk masuk ke kamarnya.

Negara Gagal Melindungi Anak?

Saat itu, Agus melihat Engeline sudah tergeletak tak bergerak di lantai. Agus diminta untuk mengubur jasad Engeline. "Dia hanya disuruh bantu untuk membungkus, mengambil boneka, mengambil sprei, selanjutnya mengangkat, mengubur, dan menutup kuburan tersebut," ujar Haposan.

Agus kemudian membawa jasad Engeline ke belakang rumah untuk dikubur di lubang yang telah disiapkan. Sebelum dikubur, Agus sempat diminta untuk menambah kedalaman lubang.

"Menurut Agus, Margreit juga ada di situ untuk menguburkan. Bahkan, Margreit ikut memutar jasad Engeline saat akan dikubur," Haposan menambahkan.

Agar tak dikenali, di atas kuburan Engeline ditaruh sampah. Saat itu, Agus diminta Margreit untuk tutup mulut. Majikannya mengancam, Agus tak bisa ke luar dari Pulau Bali, jika ia membongkar kasus pembunuhan tersebut.

Siswa SMP Dibacok dan Dibegal Saat Pulang Sekolah Sendirian

"Dia dijanjikan Rp200 juta yang akan dibayarkan pada 24 Mei. Tapi, sampai sekarang dia belum terima uang itu,” Haposan menerangkan.

Esoknya, 25 Mei 2015, Agus berhenti bekerja di rumah Margreit. Sejak saat itu, Agus terus mendapat teror melalui telepon genggamnya. "Agus sering diteror laki-laki. Dia tidak kenal dengan suara laki-laki itu. Dia diancam untuk tidak membongkar atau akan mati," kata Haposan.

Guna menutupi aksi kejinya, menurut Haposan, Margreit meminta Agus yang mengaku membunuh dan memperkosa Engeline.

"Pada saat itu, Margreit bilang kepada Agus, jika nanti kamu tertangkap, kamu harus mengaku kalau kamu yang memperkosa dan membunuh Engeline. Nanti, saya kasih imbalan Rp200 juta. Agus menolak, tapi Margreit bilang kamu ambil saja. Saya punya banyak 'orang' di Bali. Kalau kamu membocorkan, maka kamu tidak bisa ke luar dari Bali," Haposan menambahkan. 

Warga saksikan lokasi ditemukannya jenazah Angeline di Bali

Lokasi ditemukannya jenazah Angeline di Jalan Sedap Malam, Kota Denpasar, Bali. Foto: Antara/ Fikri Yusuf


Dipicu soal Warisan
Misteri pembunuhan Engeline santer disebut terkait warisan. Haposan pun mengatakan, ia belum menanyakan kepada Agus apakah pembunuhan itu berkaitan dengan warisan seperti kabar yang beredar.

"Sama sekali tidak ada. Di Polresta tidak ada sama sekali (Agus menyebut soal warisan). Saya tidak tahu kalau soal kesaksiannya di sini (Mapolda Bali). Di sini kan dia sebagai saksi, Polresta dia sebagai tersangka. Di BAP juga tak disinggung soal itu,” ujarnya.

Kuasa hukum Margreit, Hotma Sitompul, menyatakan, kliennya difitnah. Fitnah itu merujuk kepada pernyataan sejumlah pihak bahwa Margreit tega menghabisi nyawa anak angkatnya sendiri karena berebut warisan.

"Soal warisan tidak ada itu. Dari mana warisan itu. Nanti kami minta tanggung jawab siapa yang bicara warisan itu," ujarnya kepada VIVA.co.id, Kamis, 18 Juni 2015.

Hotma menegaskan, pengangkatan Engeline sebagai anak merupakan inisiatif kliennya, bukan dari almarhum Douglas Bruce Scarborrough, suami Margreit. Hotma juga membantah jika Douglas telah membuat surat wasiat yang isinya mengenai pembagian harta warisan.

"Almarhum suami Ibu Margreit tidak pernah membuat wasiat kepada siapa pun, termasuk klien kami dan anak-anaknya," ujar Hotman.

Meski dibantah, kepolisian terus mendalami kasus ini, termasuk kemungkinan adanya motif rebutan warisan dalam pembunuhan Engeline. Spekulasi soal motif warisan di balik pembunuhan Engeline merebak sehari sejak bocah ayu itu ditemukan tewas.

Dugaan soal warisan antara lain disampaikan Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait. "Dalam dialog dengan Polda Bali, mereka menyimpulkan adanya persekongkolan jahat oleh ibu angkat, dua kakak angkat, dan pekerja rumah tangga," kata Arist beberapa waktu lalu.

Selain itu, dalam surat pengakuan pengangkatan anak yang dibuat antara orang tua kandung Engeline, Achmad Rosidik dan Margreit pada 24 Mei 2007, persoalan warisan juga dicantumkan. Berdasarkan surat yang telah beredar luas itu, Engeline disebut akan ikut menjadi ahli waris orang tua angkatnya.

Kabid Humas Polda Bali Komisaris Besar Hery Wiyanto membenarkan, polisi memang tengah berupaya menelusuri kaitan antara harta warisan dengan kematian Engeline. "Segala informasi kami perdalam, kami kembangkan," ujar Hery kepada VIVA.co.id, Selasa, 16 Juni 2015.

Selain itu, polisi sedang mendalami perihal ancaman yang diterima Agus. "Makanya kami telusuri kaitan ancaman ini dengan kasus Agus." Hery mengatakan, ancaman itu bisa menjadi pintu masuk untuk membongkar kasus pembunuhan Engeline.

Hotma Sitompul saat pemeriksaan 2 anak kandung margriet

Kuasa hukum Margreit, Hotma Sitompul, menyatakan, kliennya difitnah. Foto: TvOne

Korban Kemiskinan

Engeline dipungut Margreit sejak delapan tahun lalu. Anak malang ini berpindah tangan, tak lama setelah ia dilahirkan Hamidah, ibu kandungnya. Ayah kandung Engeline, Rosidik (29) mengatakan, ia dan istrinya terpaksa merelakan Engeline diadopsi orang karena tak punya uang untuk membayar biaya persalinan.

"Waktu itu, saya memang tak bisa membayar biaya persalinan," kata Rosidik kepada VIVA.co.id, Rabu, 17 Juni 2015.

Ia menuturkan, tiga hari setelah istrinya melahirkan, tetangganya memperkenalkan dia dengan Margreit. "Dia bilang begini. Mas, daripada sampeyan tidak bisa bayar, ayo dah saya temuin sama orang yang bisa menanggung biaya. Ada yang mau bantu, dia kepengen punya momongan katanya," Rosidik mengenang.

Setelah berpikir dengan seksama, Rosidik akhirnya menerima tawaran tersebut. Harapannya cuma satu, proses administrasi bisa segera diselesaikan. Rosidik kemudian bertemu Margreit. Biaya persalinan sebesar Rp800 ribu dan pengobatan Rp1 juta dibayar tunai oleh Margreit.

Rosidik mengaku tak mengerti perihal perjanjian adopsi anaknya tersebut. Ia hanya menurut. "Kami waktu adopsi buat perjanjian. Dia mau merawat seperti anak sendiri, mendidik dan lain sebagainya. Dalam perjanjian itu, jika usia Engeline 18 tahun saya baru boleh datang menemuinya untuk menjelaskan jika saya adalah ayah kandungnya," dia menjelaskan.

Waktu usia Engeline masih bilangan bulan, Rosidik mengaku pernah mendatangi rumah Margreit. Ia datang untuk melihat kondisi anaknya. "Saya pernah datang ke rumah Margreit untuk melihat Engeline. Tapi dibilangnya Engeline sedang tidur terus. Saya tidak bisa menemui Engeline."

Hingga Engeline mengembuskan napas terakhir, Rosidik belum pernah bertemu anak kandungnya itu. "Sampai sekarang saya belum pernah menemui anak saya. Saya dibilang sering minta uang ratusan juta, saya bantah. Tidak benar itu. Bohong. Demi Tuhan itu bohong. Jengkel sekali saya dibilang begitu. Saya ke sana saja tidak dikasih kok," ujarnya dengan nada marah.

Nasib Engeline ternyata tak seindah janji Margreit kepada orangtua kandungnya. Bekas pembantu Margreit, Francky Alexander Maringka (46) mengatakan, perlakuan Margreit terhadap Engeline sangat buruk.

Menurut dia, tiap hari anak yang masih kecil itu disuruh mengerjakan banyak hal, mulai menyapu, ngepel, dan memberi makan ayam, anjing, serta kucing. Tiga bulan menjadi pembantu di rumah itu, ia melihat Margreit selalu memperlakukan Engeline dengan kasar.

"Dia (Engeline) bermain di lantai atas. Dari dapur bawah Margreit manggil dua kali. Engeline tidak dengar. Panggilan ketiga berteriak memanggil Engeline sekencangnya," kata Francky saat ditemui VIVA.co.id di Kuta, Bali, Rabu malam, 17 Juni 2015.

Begitu Engeline datang menemui Margreit, menurut penuturan Francky, anak itu langsung dihajar bogem mentah oleh ibu angkatnya tersebut. Tak hanya itu, Margreit sering menyuruh Engeline menyapu dan mengepel lantai.

Belum kelar mengepel lantai di satu ruangan, Francky melanjutkan, Margreit sudah memintanya mengepel di ruangan lain. Belum juga kelar di ruangan lain, Margreit sudah meminta Engeline mengepel di ruangan lainnya.

"Karena dipindah sana-sini, maka dia tidak bersih ngepel lantainya. Ya sudah, dipukul lagi," ujar Francky.

Suatu hari, seekor ayam milik Margreit hilang. Francky memberi tahu kehilangan tersebut. "Saya bilang, Tante Telly (Francky memanggil Margriet Telly) ini ayamnya cuma ada lima ekor. Hilang satu ekor," kata dia.

Margreit lantas memanggil Engeline. Dia bertanya ke mana ayam yang semalam disuruhnya untuk dimasukkan ke dalam kandang. Saat itu, Margreit sudah memegang sebilah bambu yang sudah dicacah.

Ia lantas menarik rambut Engeline dan membawa bocah mungil itu ke kandang ayam. Ia menanyakan ke mana ayam yang hilang itu.

"Engeline bilang 'aku udah masukin ayamnya Ma'. Tapi Margreit tak peduli, Engeline disuruh cari," Francky mengenang.

Tahu akan digebuki, Engeline lari ke kebun pisang di dalam areal rumahnya. Margreit mengejarnya. Engeline menyelinap di balik rerimbunan pohon pisang. Sial, Margreit mengetahui tubuh mungil tersebut.

"Langsung dipukuli pakai bambu itu, Engeline," ujarnya berkaca-kaca.

Menurut Francky, ada tempat favorit Engeline untuk meluapkan kekesalannya usai dimarahi atau dipukuli Margreit. Ia akan pergi ke salah satu dari empat kamar di lantai atas rumahnya.

Ia masuk ke kamar tersebut. Engeline kemudian meluapkan emosinya. "Dia berteriak sekeras-kerasnya atau dia nangis di kamar itu. Kamar itu sebenarnya kamar khusus untuk ayam yang sedang sakit," ujar Francky.

Francky juga mengaku miris dengan asupan gizi Engeline. Ia hanya diberi makan sekali dalam sehari. Itu pun dengan lauk seadanya.

"Kalau dia kerjanya bagus, baiklah nasibnya. Dapat makan pagi dan malam. Tapi, kalau tidak, ya sekali saja makannya. Lauknya pun hanya bakwan jagung. Sementara, di dalam kulkas, banyak sekali daging ayam, daging sapi, ada ikan serta makanan bergizi lainnya. Tapi, itu untuk persediaan makanan anjing. Engeline ya makan bakwan jagung," ujarnya.

Yuliet Christien (41) istri Francky yang pernah tinggal di rumah Engeline pernah melihat luka lebam di tubuh Engeline. Luka lebam itu hampir merata di sekujur tubuh anak tersebut.

Ia mengetahui luka lebam tersebut saat Engeline naik ke lantai atas untuk bermain bersama Abel, anak Yuliet. "Ada banyak luka lebam. Tapi, dia tidak pernah bilang. Saya hanya dengar teriakan (Engeline) saja dari dalam kamarnya," ujar Yuliet di tempat yang sama.

Hal senada dituturkan Loraine (58), tante Francky dan Yuliet yang pernah tinggal tiga bulan di rumah Engeline. Engeline terlihat kumuh tiap hendak ke sekolah. Loraine mengatakan, suatu saat ia pernah melihat Engeline makan biskuit. Begitu dilihatnya, ternyata biskuit tersebut sudah kedaluwarsa.

"Sudah kedaluwarsa. Saya coba, rasanya tidak enak. Saya tanya, Engeline siapa yang kasih. Dia jawab, mama."

Hal serupa dialami Sri Wijayanti, salah satu guru Engeline. Ia mengatakan, sehari sebelum dilaporkan hilang, Engeline tampak biasa saja. Ia sempat menegur dan memeluknya. "Saya pegang tangannya kurus banget. Saya tegur, dia diam saja,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Selasa, 16 Juni 2015.

Ia mengaku penasaran dengan situasi yang dialami Engeline di rumah. Dia menduga ada yang tak beres dalam keluarga Margreit. "Saya tegur soal dugaan dia kasar, menelantarkan Engel dan soal prestasi di sekolahnya. Dia ketus jawabnya. Dia bilang memang begitu cara dia mendidik Engel agar dia mandiri," katanya menambahkan.

Sri pernah memanggil Margreit untuk berbicara mengenai Engeline. Itu dilakukan sehari setelah ia lihat Engeline kumuh, bau, dan lemas saat tiba di sekolah. Sri bahkan memandikan dan membeli makanan untuknya. Kala memandikan itu, Sri terperangah demi melihat sekujur tubuh anak didiknya itu terdapat bekas luka lebam.

Namun, dua keponakan Margreit yang saat ini tinggal di Balikpapan, Kalimantan Timur, Leslie dan Doni mengklaim pernah tinggal serumah dan dirawat oleh Margreit semasa kecil. Sejauh pengalaman mereka, Margreit adalah wanita keibuan yang baik hati dan sangat mencintai keluarganya.

Ibu angkat Angeline, Margriet Megawe

Margriet Megawe bersama Angeline. Foto:VIVA.co.id/facebook.com

Darurat Kekerasan Anak
Komnas Perlindungan Anak menyatakan, kasus yang menimpa Engeline bukan yang pertama. Ketua Komnas Perlindungan Anak, Arist Merdeka Sirait, mengatakan, kasus Engeline menambah panjang daftar kasus kekerasan yang menimpa anak Indonesia.

Menurut dia, saat ini, anak-anak Indonesia berada dalam keadaan darurat kekerasan. Angka kekerasan terhadap anak-anak terus meningkat setiap tahun.
Sepanjang tahun 2010-2014, terjadi 21.645.890.101 kasus pelanggaran hak anak. Sebanyak 58 persen di antaranya kejahatan seksual. Selebihnya kekerasan fisik, psikis, penelantaran, dan perebutan anak.

Ia mengatakan, tingginya angka kekerasan terhadap anak karena lemahnya penegakan hukum. Menurut dia, penegakan hukum terhadap kasus kekerasan anak belum menunjukkan keberpihakan terhadap anak sebagai korban.

“Aparat penegak hukum masih menggunakan kaca mata kuda dalam menangani perkara kejahatan dan kekerasan seksual terhadap anak. Putusan hakim dalam perkara kejahatan seksual masih belum mencerminkan rasa keadilan bagi korban,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Kamis, 18 Juni 2015.

Menurut dia, banyak hakim yang membebaskan para pelaku kejahatan seksual terhadap anak. Ia mencontohkan, seperti yang terjadi di Pengadilan Labuhan Batu, Pengadilan Negeri Medan, Lampung, dan Pengadilan Negeri Tapanuli Utara.

“UU RI. No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mensyaratkan hukuman bagi pelaku kejahatan seksual minimal 3 tahun dan maksimal 15 tahun. Namun, justru masih banyak hakim memutuskan perkara tidak maksimal dan tidak berkeadilan bagi korban,” ujar Arist.

Pernyataan senada disampaikan Erlinda. Sekretaris Jenderal Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) ini mengatakan, hukuman bagi para pelaku kekerasan terhadap anak masih lemah, sehingga tak menimbulkan efek jera. Untuk itu, dia mengusulkan agar ancaman hukuman bagi para pelaku kekerasan anak ditambah.

“Hukumannya seumur hidup. Untuk kejahatan seksual dikebiri dan hukuman mati untuk kejahatan seksual yang dilakukan orangtua kandung,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Selasa, 16 Juni 2015.

Erlinda juga mempertanyakan keseriusan pemerintah dalam memberi perlindungan terhadap anak. Ia menilai, pemerintah belum sepenuhnya memiliki kemauan politik untuk melindungi anak-anak secara maksimal.

Selain itu, ia menyoroti masih tingginya ego sektoral masing-masing lembaga dalam menangani kasus anak. Menurut dia, hal ini membuat program perlindungan anak tak berjalan maksimal dan menyisakan banyak masalah.

"Apa yang terjadi sekarang ini adalah efek gunung es dan bola salju. Jika dibiarkan, ini akan jadi permasalahan sosial yang makin tak terhindari," ujar Staf Khusus Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Fernandez Hutagalung kepada VIVA.co.id, Selasa, 16 Juni 2015.

Fernandez mengakui, kasus kekerasan terhadap anak terus meningkat. "Kekerasan yang terjadi pada anak paling tinggi itu pada tahun 2013-2014. Semua meningkat 30 persen dengan berbagai kasus mulai dari kekerasan psikis, seks, dan fisik, " ujarnya.

Menurut dia, proses hukum yang rumit dan berbelit-belit, penanganan yang kerap tak manusiawi, dan ancaman hukuman yang ringan membuat kasus-kasus kekerasan terhadap anak tenggelam.

“Ancaman hukuman yang relatif ringan dan sistem penegakan hukum yang lemah membuat korban menghindari proses hukum,” tutur Erlinda.

Kementerian Sosial menyatakan, maraknya kasus kekerasan terhadap anak disinyalir akibat rendahnya pemahaman orangtua akan tanggung jawab terhadap pengasuhan anak. Lemahnya hukuman terhadap para pelaku kekerasan pada anak, juga dituding ikut berdampak pada tidak adanya efek jera bagi para pelaku.

Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa mengatakan, sedikitnya ada 1.500 anak Indonesia yang mengalami kekerasan seksual. Sebagian besar mereka berusia antara 13 tahun sampai 17 tahun.

Namun, data yang masuk di Kemsos lebih dari itu. Menurut dia, dari data per Desember 2014, kurang lebih anak jalanan yang mengalami kekerasan seksual mencapai 4,1 juta jiwa. Kasus tersebut meliputi anak-anak jalanan, anak yang ditelantarkan, anak yang mengalami kekerasan, termasuk di dalamnya anak yang mengalami kekerasan seksual itu 4,1 juta.

Mensos mengakui, masyarakat banyak yang underestimate dengan penanganan kasus kekerasan terhadap anak. “Wajar, karena punishment terhadap para pelaku sering kali longgar atau sangat rendah,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Selasa, 16 Juni 2015.

Untuk itu, ia meminta, hukuman terhadap pelaku kekerasan anak dimaksimalkan.

Desakan yang sama juga datang dari DPR RI. Anggota Komisi VIII Maman Imanulhaq mendukung hukuman terhadap pelaku kekerasan anak dimaksimalkan. Namun, ia tak sepakat dengan hukuman mati atau dikebiri.

"Saya setuju hukuman berat bagi siapa pun yang merusak masa depan anak-anak. Soal bentuk hukuman tetap harus manusiawi," kata Maman kepada VIVA.co.id, Kamis 18 Juni 2015.

Sementara itu, Ketua Komisi VIII DPR RI Saleh P Daulay menyatakan, terjadinya kasus-kasus kekerasan anak menunjukkan negara tak hadir. "Pemerintah belum mengalokasikan anggaran yang cukup untuk urusan ini. Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak saja hanya mendapat proporsi APBN sebesar Rp217 miliar. Itu sangat tidak cukup untuk mengurusi puluhan juta anak Indonesia," ujarnya saat dihubungi VIVA.co.id, Selasa, 16 Juni 2015.

Selain itu, ia menilai, penerapan UU Perlindungan Anak tidak maksimal. Menurut dia, UU itu tak tersosialisasi dengan baik. Akibatnya, masyarakat tidak paham tentang bahaya menyiksa anak.

"Aturan yang sudah ada ini perlu sosialisasi massif, sehingga masyarakat bisa mempelajarinya dengan baik untuk selanjutnya memberi masukan jika ada yang dinilai masih perlu disempurnakan," katanya.

Ia meminta, Presiden Jokowi memimpin langsung program perlindungan anak. "Pemerintah harus melakukan koordinasi lintas kementerian dan lembaga. Kementerian PPA dipastikan tidak akan sanggup menyelesaikan masalah ini. Mereka tentu sangat memerlukan bantuan dari kementerian dan lembaga lainnya. Presiden perlu memimpin langsung rapat-rapat koordinasi tersebut. Kalau Presiden sudah turun tangan, para menteri pasti akan bersungguh-sungguh."

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya