SOROT 357

Bu Kembar, Pejuang dari Kolong Jalan

Sekolah Darurat Kartini
Sumber :
  • VIVAnews/Ikhwan Yanuar

VIVA.co.id - Hari masih pagi. Jam di tangan masih menunjuk angka tujuh. Namun, kesibukan sudah terlihat di salah satu sudut ibu kota, tepatnya di Kelurahan Ancol, Kecamatan Pademangan, Jakarta Utara.

Puluhan anak beragam usia tampak berduyun-duyun memadati salah satu bangunan yang terletak di antara jalan raya dan rel kereta.

Dua wanita yang tak lagi muda dengan dandanan sama terlihat sibuk mengatur mereka. Sesekali, dua wanita paruh baya ini bersuara keras, agar bisa didengar oleh anak-anak yang sedang asyik bicara atau bercanda.

Itu dilakukan, karena suara mereka tenggelam, kalah oleh raungan kendaraan dan kereta yang lewat, tepat di samping bangunan.

Puluhan anak-anak ini merupakan peserta didik Sekolah Darurat Kartini. Bangunan yang dijepit jalan raya, rel kereta serta tak jauh dari kolong jalan tol ini merupakan tempat belajar mereka.

Ibu kembar mengajari membatik

Sri Rosiati (65) dan Sri Irianingsih (65) dikenal sebagai ibu kembar.

Sementara itu, dua wanita paruh baya yang sibuk mengatur mereka adalah Sri Rosiati (65) dan Sri Irianingsih (65). Dua wanita yang dikenal dengan Ibu Kembar ini merupakan pendiri sekaligus guru dan pengelola sekolah yang diperuntukkan bagi anak-anak jalanan dan anak-anak dari keluarga tak mampu ini.

Tak ada yang istimewa dari bangunan yang disulap menjadi sekolah ini. Bahkan, bangunan seluas dua lapangan bulu tangkis ini lebih mirip gudang dibanding sekolahan. Bedanya, di ruangan ini ada meja, kursi serta papan tulis dan tumpukan buku yang berjejal di lemari.

Juga, poster sejumlah pahlawan nasional serta foto Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang dipajang di depan ruangan.

Puluhan siswa yang berbeda jenjang pendidikan ini harus berbagi tempat dalam satu ruangan yang sama. “Semuanya belajar di ruangan ini, baik PAUD, TK, SD, SMP maupun SMA,” ujar Sri Irianingsih atau Rian kepada VIVA.co.id yang berkunjung ke sekolah ini, Rabu, 12 Agustus 2015.

Sekolah ini hanya memiliki satu ruangan yang digunakan untuk beragam keperluan, mulai dari belajar mengajar, dapur, dan toilet. Para siswa yang berbeda jenjang pendidikan ini hanya dipisahkan dengan kursi yang sudah ditata sesuai kelasnya.



Berawal dari Keprihatinan
Ibu Kembar mengatakan, mereka sudah merintis sekolah untuk anak-anak dari kaum papa itu sejak 25 tahun lalu. Sejak 1990, mereka rajin "bergerilya" mendidik anak-anak jalanan yang tak diurus oleh negara. Ruang Kelas mereka tersebar di mana-mana, di pojok dan pinggiran ibu kota.

Sekolah darurat kartini

Sekolah Darurat Kartini didirikan untuk mendidik anak-anak jalanan yang tak diurus oleh negara.

“Kami pernah mendirikan sekolah di Cilincing, Senen, Pasar Rebo, Pulogadung dan tempat lain,” ujar Sri Rosiati atau Rosi, saudara kembar Rian.

Kemudian, pada pertengahan tahun 1990an, dua saudara kembar ini mendirikan sekolah yang sama di kolong tol Jembatan Tiga, Pluit, Jakarta Utara. Sama seperti sebelumnya, "sekolah kaum papa" ini juga harus berpindah-pindah tempat karena digusur dan diusir pemerintah.

“Pertama di kolong tol. Kemudian pindah ke Tanah Merah. Pindah ke Kebon Sayur, balik ke Tanah Merah lagi, balik ke Kebon Sayur lagi. Sebelum di sini sempat di pinggir rel kereta,” Rian mengenang.

Sekolah ini didirikan, berawal dari keprihatinan Bu Kembar terkait nasib anak-anak jalanan dan anak-anak tak mampu yang tak bisa mengenyam pendidikan. Menurut mereka, negara abai dan tak memikirkan pendidikan anak-anak yang kurang beruntung tersebut.

“Kami ingin memutus mata rantai kemiskinan dan kebodohan,” ujar Rian.

Ia menilai, sejak merdeka hingga saat ini, negara terkesan setengah hati dalam memperhatikan pendidikan dan masa depan anak-anak jalanan atau anak-anak dari keluarga miskin. “Sejak Orde Baru, Reformasi, sampai sekarang belum berubah,” dia menambahkan.

Rosi mengatakan, Sekolah Darurat Kartini memang didedikasikan untuk anak-anak usia sekolah yang diabaikan negara. Anak didik mereka merupakan anak-anak jalanan, anak-anak telantar, dan anak-anak dari keluarga tidak mampu. Karena itu, sekolah ini tak menarik biaya sepeser pun dari siswa.

Bahkan, setiap anak yang belajar di sekolah ini mendapatkan seragam, sepatu, tas, dan alat tulis secara cuma-cuma. Tak hanya itu, siswa juga mendapatkan makan siang gratis dari sekolah ini.



Membangun Kemandirian
Sekolah Darurat Kartini memiliki cara sendiri dalam mendidik siswanya. Karena keterbatasan fasilitas dan ruangan, Bu Kembar menyiasatinya dengan metode "belajar darurat".

Untuk tingkat PAUD dan TK ditangani dua orang guru bantu, SD kelas 1 diajari membaca, kelas 2 berhitung penjumlahan, dan kelas 3 perkalian. Kelas 4-6 belajarnya disatukan. Sementara itu, untuk tingkat SMP dan SMA, mereka juga menerapkan pola yang sama dengan siswa SD kelas 4-6.

Pola belajar mengajar di sekolah ini juga berbeda dengan sekolah pada umumnya. Sebab, anak-anak jalanan membutuhkan perlakuan khusus untuk mengubah perilaku dan karakter mereka. Menurut Rian, pembentukan karakter menjadi pilar utama dalam mendidik anak-anak tersebut.

Secara umum, sekolah ini mengacu pada kurikulum pemerintah. Materi dan pelajaran yang diberikan juga sama dengan sekolah lain. Bedanya, sekolah ini menambahkan berbagai keterampilan bagi peserta didik.

Beragam pelajaran tambahan diberikan mulai dari membatik, menjahit, memasak, merias, komputer, angklung, membuat telur asin, dan sejumlah keterampilan lain. Menurut Bu Kembar, hal itu sengaja dilakukan agar anak didik mereka bisa mandiri secara ekonomi.

Pejuang yang Terabaikan

“Biar mereka bisa bertahan,” ujar Rosi.

Menurut Bu Kembar, Sekolah Darurat Kartini sudah menelurkan puluhan ribu alumni. Mereka tersebar di mana-mana dan sudah berkecimpung di berbagai bidang dan usaha.

“Ada yang bekerja di toko, restoran, karyawan perusahaan, guru, penulis, kameraman, fotografer, nakhoda, polisi, dan TNI. Bahkan tak sedikit yang melanjutkan kuliah hingga S2,” ujar Rian.

Hal itu diamini, Sulastri (47), salah satu orangtua siswa. Ia mengatakan, anaknya yang bernama David sudah lulus dari Sekolah Darurat Kartini dan bekerja di salah satu perusahaan. Menurut dia, sekolah besutan Bu Kembar itu tak hanya gratis, namun juga mampu mendidik anak-anaknya dengan baik.

Tangis Said, Pahlawan Perakit Bom

“Anak didik diperhatikan dengan baik. Kalau sakit diobati,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Rabu 12 Agustus 2015.

Karena itu, Vina Octavia, anaknya yang lain juga menuntut ilmu di sekolah yang sama dan sudah menginjak kelas V SD. Perempuan asal Tegal, Jawa Tengah, ini merasa terbantu dengan keberadaan sekolah ini.

Ia mengaku, jika tak ada sekolah tersebut mungkin anak-anaknya tak bisa mengenyam pendidikan. Sebab, ia tak memiliki biaya untuk menyekolahkan anak-anaknya di sekolah lain yang membutuhkan biaya.

Hal senada disampaikan Sunia (32). Ia mengaku baru saja memindahkan anak-anaknya ke Sekolah Darurat Kartini. Ia terpaksa memindahkan anak-anaknya karena alasan biaya. Sebelumnya, dua anaknya yang bernama Najwa dan Serly belajar di salah satu sekolah swasta di Jakarta Utara.

Namun, ia tak kuat membiayai sekolah kedua anaknya tersebut. Akhirnya, ia memindahkan anaknya yang duduk di kelas I dan III SD tersebut. “Di sekolah Kartini gratis, dapat seragam, alat tulis, dan makan siang.”     

Elyas Pical, Legenda Tanpa Tanda Jasa



Diabaikan Negara
Sekolah Darurat Kartini sudah berdiri sejak 25 tahun lalu. Lembaga pendidikan ini juga meluluskan puluhan ribu orang. Sebagian di antaranya bahkan menjadi Abdi Negara.

Namun, hingga saat ini tak ada bantuan dari pemerintah untuk sekolah ini. Administrasi selalu menjadi alasan yang membuat negara enggan mengulurkan tangan.

Alih-alih membantu, pemerintah beberapa kali bahkan menggusur dan mengusir sekolah ini. Satu-satunya perhatian pemerintah adalah pemberian izin kepada sekolah ini tahun 2014. “Nggak ada bantuan dari pemerintah. Nggak ada BOS (Bantuan Operasional Sekolah) dan KJP (Kartu Jakarta Pintar),” ujar Rian.

Untuk operasional sekolah dan mencukupi kebutuhan siswa, Bu Kembar merogoh kocek sendiri. Beruntung, dua bersaudara ini termasuk keluarga berada. Mereka memiliki lahan persawahan, kebun sawit, rumah kontrakan, apartemen, dan saham dari sejumlah perusahaan yang hasilnya bisa digunakan untuk membiayai sekolah ini.

Sesekali, ada donator yang datang membantu, seperti Sriwijaya Air yang membuatkan gedung yang sekarang digunakan sebagai ruang kelas sekolah ini.

Bu Kembar mengaku tak pernah menghitung berapa uang yang sudah mereka keluarkan untuk membiayai sekolah ini. Mereka juga tak ambil pusing dengan negara yang abai kepada mereka dan sekolahnya. “Kalau nggak dikasih, ya nggak pa pa. Nggak masalah,” ujar Rian dan Rosi bersamaan.

Bagi mereka, keberadaan Sekolah Darurat Kartini merupakan bentuk pengabdian dan rasa syukur kepada Tuhan. Selain itu, sebagai bentuk solidaritas dan cinta kasih mereka kepada sesama.

“Sejak 1990, saya sudah memutuskan mau jadi pelayan Tuhan.”

Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama mengaku mengetahui keberadaan dan kondisi Sekolah Darurat Kartini. 

Pria yang akrab disapa Ahok ini mengatakan, jika ingin dibantu pemerintah, anak didik sekolah tersebut harus pindah ke sekolah negeri. “Kalau mau dukungan, anak-anaknya kami tampung, kasih KJP deh. Kalau mau lebih dukung lagi, kasih ke kami, masuk negeri, kami kasih KJP,” ujar Ahok kepada VIVA.co.id, Kamis, 13 Agustus 2015.

Menurut dia, meski sudah berdiri sejak 25 tahun lalu, Sekolah Darurat Kartini harus rela menyerahkan anak didiknya belajar di sekolah negeri, agar bisa mendapat bantuan dari pemerintah. “Anda mau pinjam tempat, saya pinjamin. Tapi, kalau Anda mau lebih baik lagi, kami kasih KJP,” tuturnya.  

Wakil Gubernur DKI Jakarta, Djarot Saiful Hidayat, mengaku belum mengetahui keberadaan Sekolah Darurat Kartini. Ia berjanji akan melihat dan mengkaji sekolah untuk anak-anak miskin ini.

“Kalau memang sekolah itu benar, maka dapat kami berikan BOS dan KJP. Sekolah kan prinsipnya memang gratis,” ujarnya kepada VIVA.co.id, Kamis, 13 Agustus 2015.

Wagub mengatakan, meski identitas anak-anak sekolah itu tak jelas, Pemprov DKI akan tetap bisa membantu dengan aturan khusus. “Kami akan langsung bantu dengan aturan khusus, kalau memang dia benar membutuhkan, diurus mulai dari akta kelahiran, KK, dan sebagainya, akan kami fasilitasi. Silakan ajukan ke saya,” katanya.

Keterampilan Khusus

siswa sekolah kartini belajar membuat telur asin

Siswa sekolah Kartini belajar membuat telur asin.

Hari menjelang siang. Sejumlah siswa SMP keluar dari ruang kelas. Mereka duduk menggerombol di teras sekolah dan membuat lingkaran. Di depan mereka tampak baskom yang berisi tumpukan telur bebek.

Sementara itu, baskom satunya berisi lumpur. Hari itu, mereka akan belajar membuat telur asin. Bu Kembar tampak di antara mereka. Sesekali, dua wanita yang hangat ini memberi petunjuk kepada mereka.

Di lokasi yang sama, beberapa siswa tampak asyik dengan kain, canting, dan seperangkat alat membatik. Mereka terlihat tepekur, menggores, dan melukis kain putih yang digantung di teras sekolah. Sesekali Bu Kembar menghampiri mereka.    

Sementara itu, puluhan siswa SD bertahan di dalam ruang kelas. Mereka terlihat asyik menggores kertas dengan pensil warna warni. Anak-anak ini sedang belajar mewarnai. Sesekali terdengar canda dan tawa mereka. (art)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya