SOROT 369

Cara Dunia Perangi Ujaran Kebencian

Perdana Menteri India Narendra Modi.
Sumber :
  • REUTERS/Stringer

VIVA.co.id - Pemimpin Partai Bharatiya Janata di India, Subramanian Swamy, sedang bermasalah dengan hukum di negaranya. Bagi Pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi, buku “Terorisme di India” - yang ditulis Swamy pada 2006 lalu - dianggap mengandung unsur ujaran kebencian (hate speech). Isinya bisa membenturkan umat Islam dan Hindu.

Facebook Perangi Konten Ekstremisme dan Ujaran Kebencian

Menurut hukum di India, sesuatu bisa dikategorikan sebagai ujaran kebencian jika setiap ucapan, sikap atau perilaku, tulisan atau sesuatu yang ditampilkan, dapat mendorong kekerasan atau menyakiti perasaan keagamaan atau mempromosikan permusuhan antara kelompok yang berbeda atas dasar agama, ras, tempat lahir, tempat tinggal atau bahasa.

Dikutip dari The India Times, 3 November 2015, Kementerian Dalam Negeri India mengatakan bahwa setiap orang tidak bisa dibiarkan menyebar kebencian terhadap komunitas atau kelas, atas nama kebebasan berbicara dan berekspresi, karena akan mengakibatkan kekacauan publik dan kerusuhan.

Penghina Jokowi di Facebook Libatkan Hacker

Proses persidangan atas kasus ini masih terus berlanjut. Pemerintahan Narendra Modi masih terus memperkarakan kasus ini di Mahkamah Agung India.

Sementara itu, pada bulan Juli 2015, seorang perempuan Australia dideportasi dari Abu Dhabi, Uni Emirat. Sebelum diusir, Jodi Magi, seorang seniman dan desain grafis asal negeri Kanguru itu dipenjara terlebih dahulu.

KontraS: Kebebasan Berpendapat Terancam di Era Jokowi

Tanpa sempat membela diri, beberapa hari berselang, wanita berambut pirang ini dideportasi dari negara kaya minyak tersebut. Tudingan untuk Magi sangat sederhana, “menulis sesuatu yang buruk di sosial media.”

Kasus pengusiran Magi bermula dari foto yang ia unggah ke media sosial. Magi melalui laman Facebooknya mengunggah foto sebuah mobil Hummer yang parkir secara serampangan di depan apartemennya. Mobil tersebut parkir dengan mengambil dua slot area parkir. 

Melalui tulisan yang menyertai foto tersebut, Magi menulis “This is trifecta of King Nobness. a)Hummer b) parking in disable parking with no dissablity parking permit c) parking across not 1 but 2 disable parking spaces. And they have been doing this for weeks. At least they finally got the ticktet. The obnoxious arrogance is so revolting. I am, actually almost impressed…"

Tulisan itu yang menjadi persoalan. Kalimat King Nobness, yang ditulis Magi memang sengaja ia rujuk pada kaum berada atau golongan sangat kaya di Arab dianggap sebagai sebuah sinisme.

Kalimat berikut yang membuat Magi dipenjara dan kemudian diusir adalah, The obnoxious arrogance is so revolting (arogansi menjengkelkan yang begitu memuakkan). Penggunaan kata pada kalimat Magi tersebut dinilai sebagai “sesuatu yang buruk.”

Pemilik mobil yang tinggal di apartemen yang sama tak terima. Ia mengadukan Magi ke polisi. Magi ditangkap, diadili secara in absentia, dihukum penjara, dan akhirnya dideportasi.

"Bahasa buruk versi mereka merujuk pada kata 'nobness.' Dalam kamus Oxford, nobness berarti seseorang yang memiliki kekayaan atau posisi sosial yang tinggi.

Saya menggunakan kata tersebut mengacu pada perilaku pemilik mobil yang memarkir mobil mereka dengan sangat “kreatif ,” kata Magi, seperti dikutip dari Huffingtonpost, 16 Juli 2015.

Hate speech atau ujaran kebencian

Penerapan aturan hate speech di Indonesia sebenarnya sudah tertinggal dari negara lain

Cegah Kejahatan

Subramanian Swamy dan Jodi Magi merasakan pemberlakukan aturan hate speech di India dan Uni Emirat Arab. Ujaran kebencian, yang kini sedang  menjadi pembicaraan hangat di Indonesia sudah banyak diterapkan di luar negeri. Hampir semua negara maju memiliki aturan tentang penyebaran kebencian melalui kata-kata ini.

Triyono Lukmantoro, pengamat Sosiologi Komunikasi dari Universitas Diponegoro, mengatakan, tak hanya di Indonesia, semua negara maju juga memiliki aturan tentang hate speech. “Bahkan Amerika juga ada aturan tentang ujaran kebencian itu,” kata Triyono, saat diwawancara oleh VIVA.co.id, Kamis, 5 November 2015.

Jeremy Waldron, seorang pakar hukum dari Selandia Baru mendefinisikan ujaran kebencian sebagai tindakan melalui kalimat (atau ekspresi kalimat melalui poster, kalimat, atau pamflet) yang berupaya untuk menghancurkan perbedaan sosial, yang berniat merusak pemikiran bahwa masyarakat sosial adalah untuk semua, dan memecah persoalan perbedaan kelompok atau agama.

“Di beberapa negara, pemerintah mensahkan hukum atas ujaran kebencian untuk mencegah terjadinya kejahatan yang disebabkan oleh ujaran kebencian,” kata Waldron, seperti dikutip dari freedomofspeechresearch.weebly.org.

Kondisi Vihara Tri Ratna yang rusak pasca kerusuhan Tanjungbalai, Jumat malam (29/7/2016)

Penyebar Isu Provokasi Soal Tanjungbalai Kena Stroke

Polisi belum bisa melakukan penahanan karena tersangka stroke.

img_title
VIVA.co.id
4 Agustus 2016