- flickr IPT1965
VIVA.co.id - Suaranya terdengar serak dan parau. Raut wajah dan bahasa tubuhnya menyiratkan wanita paruh baya ini masih terlihat lelah. Sesekali, ia menyandarkan punggungnya di kursi kayu yang menempel di dinding rumah.
Namun, ia sangat antusias saat diminta mengisahkan penyelenggaraan International People's Tribunal (IPT) di Den Haag, Belanda, pekan lalu. Kedua tangannya beberapa kali diangkat saat ia menceritakan Pengadilan Rakyat Internasional yang mengadili kasus 1965 tersebut.
Selasa pagi, 10 November 2015, gedung Nieuwe Kerk terlihat ramai. Bangunan bekas gereja tersebut tampak dipadati pengunjung. Udara dingin disertai rintik hujan, tak menghalangi ratusan orang beragam usia dan latar belakang tersebut untuk menghadiri pembukaan IPT. Mereka duduk berderet di kursi yang telah disiapkan.
Sementara itu, di depan, terlihat meja memanjang yang diperuntukkan bagi Majelis Hakim. Di depan meja hakim tampak panitera yang telah siap mencatat dan merekam jalannya persidangan.
Sejumlah orang terlihat sudah duduk rapi di sisi kiri meja panitera. Mereka adalah para jaksa yang akan menyampaikan tuntutan. Sementara itu, meja di sisi kanan panitera terlihat kosong. Meja itu diperuntukkan untuk wakil dari Pemerintah Indonesia.
“Meja itu selalu kosong sejak pembukaan hingga pengadilan itu ditutup,” ujar Koordinator Umum IPT kasus 1965, Nursyahbani Katjasungkana kepada VIVA.co.id, saat ditemui di rumahnya di kawasan Mekarsari, Cimanggis, Depok, Jawa Barat, Jumat, 20 November 2015.
Suara sesenggukan tiba-tiba memecah keheningan ruang sidang. Para pengunjung tak bisa menahan tangis demi mendengar kisah dan testimoni korban tragedi 1965. Tak terkecuali Nursyahbani Katjasungkana.
Meski wanita yang akrab disapa Mbak Nur ini sudah sering mendengar derita korban tragedi ‘65, tetap saja tak bisa menahan air matanya.
“Saya tak bisa membayangkan bagaimana rasanya menjadi korban dalam peristiwa tersebut,” ujar wanita yang sudah menjadi aktivis sejak ‘80 an ini.
Suasana Pengadilan Rakyat Internasional 1965 di Den Haag, Belanda. Foto: M Isa/IPT 1965 Foundation