Sekolah yang Memerdekakan

- VIVA.co.id/Endah Lismartini
āKamiĀ membiasakan anak untuk menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri, tak ada penghakiman. Tak ada stigma atau labeling tentang anak nakal, anak bodoh, dan sejenisnya.Ā Setiap anak akan bebas menjadi dirinya sendiri dan mengembangkan bakat dan minatnya. Setiap anak di sini adalah juara,ā ujarnya menegaskan.
Keresahan pada nasib anak atas metode belajar yang konvensional juga dirasakan Sri Wahyaningsih, seorang wanita asal Yogyakarta. Berbeda denganTechnoNatura dan Citra Alam yang berada dekat dengan pusat ibu kota, Sri Wahyaningsih memilih mendirikan Sanggar Anak Alam (SALAM) di Lawen, Pandan Arum, Banjarnegara, Jawa Tengah.Ā
Sanggar Alam (Salam) di Ngestiharjo, Kasihan, Bantul. Aktivitas Salam lebih memperbanyak eksplorasi, riset, dan eksperimen.
Semangat alumnus Akademi Keuangan dan Perbankan Yogyakarta ini muncul setelah menyadari di Lawen, ia melihat kemiskinan yang menetap karena pendidikan yang tak terstruktur. Wahya memutuskan mengajak anak-anak kampung berkumpul dan belajar.
Pertama kali berjalan, hanya 15 anak yang tertarik. Tapi dalam hitungan hari, jumlah anak mencapai 160 orang, 40 diantaranya tidur bersama Wahya. āSaya katakan pada meraka bahwa kalau kita ingin punya sesuatu, kita pasti bisa membuat sesuatu,ā pesan Wahya.
Aktivitas SALAM lebih memperbanyak eksplorasi, riset dan eksperimen. Mereka juga terjun langsung merasakan hidup sebagai anak alam dengan tetap memelihara kambing, kelinci, sampai ngarit atau memotong rumput.Ā
Melalui pendidikan anak di SALAM, Wahya juga mendidik orang tua mereka. Bahkan, Wahya adalah pelopor yang mengajak warga kampung membuat sapu yang dijual keluar kampung.
āSaat itu, belum ada aliran listrik. Kami pakai diesel yang dihidupkan jam 6 sore hingga 11 malam. Masyarakat memanfaatkan penerangan itu untuk membuat sapu. Otomatis, pada jam itu mereka produktif dan berhenti sejenak merokok. Lama kelamaan, ekonomi masyarakat membaik,ā tutur Wahya.