Sekolah yang Memerdekakan

- VIVA.co.id/Endah Lismartini
“Kami memulainya dengan 26 anak. Garasi rumah saya langsung berubah menjadi tempat belajar,” kata Riza kepada VIVA.co.id. Merasa menguasai ilmu sains, Riza memilih fokus mengarahkan anak-anak itu pada dunia sains. Ia mengajak anak-anak berkreasi dan menciptakan sesuatu melalui penguasaan teknologi.
Nama TechnoNatura dipilih dengan alasan khusus. “Techno untuk menunjukan kami berbasis teknologi. Natura menunjukkan kedekatan dengan alam. TechnoNatura, teknologi yang akan mendekatkan kita pada alam,” kata Riza memberi penjelasan. “Teknologi menjadi basis kami, karena kami meyakini, perkembangan peradaban tak pernah bisa lepas dari perkembangan teknologi. Terutama masa pertanian, industri, dan sekarang ICT,” lanjut Riza.
Nafas teknologi yang dihembuskan Yayasan CREATE diseriusi dengan menggunakan gawai sebagai pendukung belajar. Sekolah ini membiasakan anak menggunakan teknologi sejak usia dasar.
Di TechnoNatura, anak-anak belajar menggunakan metode project. Ada lima project yang dilakukan satu kali dalam satu bulan, yaitu kewirausahaan, sains, rekayasa teknologi, sosial, dan seni.
Mereka bekerja dalam satu kelompok, dan wajib mempresentasikan hasil project mereka satu kali dalam sepekan. Berbeda dengan sekolah konvensional, Techno Natura memposisikan guru sebagai mentor dan fasilitator.
“Anak-anak memanggil guru dengan sebutan kakak, supaya tak ada jarak dan mereka merasa nyaman untuk berkomentar dan bercerita,” kata Riza. Di situ, kreatifitas siswa lebih terasah karena anak-anak itu bisa saling bertanya dan mengkritisi.
Sementara untuk pembangunan karakter siswa, TechnoNatura menerapkan prinsip empat sifat Nabi Muhammad SAW (Sidiq, amanah, tabligh, fathonah, istiqomah) dan delapan sifat dasar yang diutamakan dalam ajaran Islam. Sejak usia SD, anak dibiasakan melakukan presentasi dengan menggunakan semua alat teknologi yang bisa digunakan. Laptop, proyektor, gawai jadi teman akrab anak-anak tersebut.
Semakin tinggi jenjang pendidikan, Techno Natura semakin spesifik. Di jenjang SMA, mereka hanya menerima siswa dengan kriteria penyuka sains dan IPA. “Kami tak bisa menerima siswa IPS. Pertama, karena saya lebih menguasai sains dan IPA, dan kedua karena kami kekurangan sumber daya untuk mencari orang-orang yang menguasai IPS,” ujar dia.
Di kelas SMA, anak-anak ditantang untuk membuat project-project yang serius. “Kami pernah membuat project seperti mobil google. Sebelum google meluncurkan mobilnya, anak-anak kami sudah pernah membuat percobaan itu. Mobil-mobilan yang biasa ditumpangi anak-anak dipasangi semacam radar, dan diluncurkan di jalan hingga mampu memberikan tampilan melalui layar monitor.