- ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra
VIVA.co.id – "Naik kereta api, tut, tut, tut. Siapa hendak turut. Ke Bandung, Surabaya..."
Nyanyian itu sayup-sayup terdengar dari gang, sebuah kampung di pesisir pantai Kota Semarang, Jawa Tengah. Sekelompok anak-anak dipandu seorang ibu-ibu yang tak lagi muda terlihat asyik menyanyikan lagu ciptaan Ibu Soed tersebut. Sesekali mereka tertawa dan bercanda.
Kampung padat penduduk yang penuh gang sempit ini bernama Spoorland. Kampung yang diapit rawa-rawa ini diyakini merupakan lokasi asal muasal lahirnya kereta api di Indonesia. Spoorland merupakan lokasi stasiun pertama Pemerintah Hindia Belanda yang dibangun Nederlands-Indische Spoorweg Maatschappij (NIS) pada tahun 1864.
Jalur rel kereta api yang melintas kawasan Lawang Sewu pusat kota Semarang pada tahun 1920. (kitlv.nl)
Konon, nama Spoorland sudah ada sejak ratusan silam. Penamaan itu lahir sebagai nama jalan sejak zaman penjajahan kolonial Belanda. Hingga kini, kampung itu terus berevolusi menjadi nama kampung yang kondisinya nyaris tenggelam karena sering dihantam air pasang.
Dan jauh sebelum kampung itu ada, jejak stasiun dan jalur kereta api pertama itu hilang dan tenggelam tergerus air rob dari laut.
"Saya ingat betul, waktu awal-awal di sini, bangunan stasiun masih ada relnya. Bapak dulu masinis. Bangunan stasiun itu luas di sepanjang kampung ini," ujar Ngatiyem (79), salah seorang warga kepada VIVA.co.id, Rabu, 7 Juni 2017.
Ngatiyem mengatakan, ia dan mendiang suaminya sudah tinggal di kampung ini sejak tahun 1954. Suaminya yang bernama Suyono merupakan pensiunan pegawai kereta api. "Tiap ditanya orang dulu saya tinggal di gudang persediaan. Karena dulu belum ada nama kampung Spoorland," ujar perempuan asli Yogyakarta itu.
Ngatiyem dan mendiang suaminya menjadi saksi tenggelamnya rel dan stasiun bersejarah tersebut akibat air pasang. Ia memperkirakan, kedalamannya telah lebih dari 20 meter.
Selanjutnya, Rel Pertama
Rel Pertama
Indonesian Railway Preservation Society (IRPS) Semarang menyebut, kampung yang ditinggali Ngatiyem merupakan lokasi stasiun dan jalur pertama kereta api di Indonesia. “Lokasi padat penduduk di kampung Spoorland kami nilai identik sebagai lokasi pencarian. Hanya saja, mayoritas jejak sejarah stasiun itu sudah hancur atau hilang di dalam air rob dan tambak,” ujar Ketua IRPS Semarang, Tjahjono Rahardjo.
Sejak IRPS menerbitkan hasil penelitian soal Semarang NIS, Balai Arkeologi akhirnya meneliti lebih lanjut kawasan Spoorland dan mengakui kampung itu sebagai lokasi stasiun pertama Indonesia.
Tjahjono memastikan bahwa rel yang menjadi jalur kereta pertama sudah tidak ada. Sebab, waktu rel pertama itu dibangun untuk jalur Semarang-Solo-Yogyakarta lebarnya 1.435 milimeter.
Kereta api kuno melintas jembatan di atas Kali Code, Yogyakarta menuju Semarang pada tahun 1900. (kitlv.nl)
Namun, karena NIS dan pemerintah saat itu mengalami kesulitan keuangan, akhirnya lebar rel kereta tersebut dikurangi dengan memakai yang lebih sempit yakni 1.067 milimeter.
"Rel 1.435 mm itu bertahan sampai zaman Jepang. Setelah Jepang masuk rel itu diambil semua dan rel seluruhnya pakai 1.067 mm," ia menambahkan.
Ketua Umum IRPS Nova Prima membenarkan. Menurut dia, rel kereta api yang pertama dibangun ada di Semarang, Jawa Tengah, yakni antara Kemijen dan Tanggung. Hal itu dilakukan sekitar tahun 1864.
“Jadi itu dimulai dengan pencangkulan lah kalau zaman dulu,” ujarnya.
Adalah Gubernur Jenderal Hindia Belanda, LAJ Baron Sloet van den Beele yang menginisiasi pembangunan jalur kereta api. Pembangunan diprakarsai oleh “Naamlooze Venootschap Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij” (NV NISM) yang dipimpin oleh JP de Bordes dari Semarang menuju Desa Tanggung dengan lebar rel 1.435 milimeter.
Pada 10 Agustus 1867, jalan kereta api pertama di Indonesia bisa diresmikan, yaitu dari Samarang sampai ke Tangoeng --sekarang Tanggung, Kabupaten Grobogan-- sejauh sekitar 25 kilometer. Dengan berbagai masalah yang timbul, akhirnya pada 10 Februari 1870 selesailah jalur sampai ke Solo.
“Setelah 3 tahun berlalu jalur itu berhasil dibangun sepanjang 25 kilometer, antara Kemijen dan Tanggung,” tuturnya.
Selanjutnya, Alasan Ekonomi dan Militer
Alasan Ekonomi dan Militer
Nova menuturkan, latar belakang pembangunan jalur kereta oleh Hindia Belanda itu karena alasan ekonomi dan militer. Saat itu, transportasi agak sulit, makanya Belanda membangun jalur kereta api.
“Pembangunan itu orientasinya faktor ekonomi dan militer,” ujarnya.
Pemerintah Hindia Belanda berpikir bahwa Indonesia memiliki sumber daya alam, ada rempah-rempah, dan hasil hutan. Jadi, jaringan kereta api itu dibangun untuk membawa hasil bumi dari perkebunan ke pelabuhan untuk ekspor. Sementara itu, kalau kayu dari hutan dibawa ke kota.
“Di samping itu ada kepentingan lain. Belanda saat itu masih menguasai Indonesia. Jadi, ya untuk memperkuat militernya," kata dia.
Selain itu, memperlancar distribusi senjata dan perlengkapan militer lainnya. "Jadi orientasinya, memang dua hal itu, ekonomi dan militer,” ia menambahkan.
Berawal dari Semarang, jaringan rel kereta api terus memanjang, meluas ke seluruh Jawa. Nova menuturkan, butuh waktu lama untuk membangun jaringan kereta api. Karena, di samping mahal juga sulit.
“Apalagi zaman itu masih ada rawa-rawa, sungai. Sedangkan alat juga masih tradisional, belum modern.”
Selanjutnya, Tak Mulus
Tak Mulus
Awalnya, rencana pembangunan rel kereta itu ditentang oleh sejumlah pihak di Pemerintah Hindia Belanda. Ada sebagian pihak yang berpendapat volume produksi masih terlalu sedikit, sehingga tidak efisien apabila diangkut dengan kereta api.
Sementara itu, jumlah penumpang, kalaupun ada, diperkirakan juga sangat sedikit. Butuh dana yang besar untuk membangun jalur kereta api tersebut.
Meski demikian, pada 10 Agustus 1867 jalan kereta api pertama di Indonesia bisa diresmikan. Tapi bukan berarti kesulitan telah bisa diatasi.
Bahkan, tidak lama kemudian pekerjaan terpaksa dihentikan, karena Algemene Maatschappj voor Handel en Nijverheld Amsterdam, pemegang saham utama NIS, mengalami kesulitan keuangan dan nyaris bangkrut. Pembangunan baru bisa dilanjutkan lagi setelah pemerintah turun tangan memberikan pinjaman lunak.
Memberi pinjaman lunak merupakan salah satu cara Pemerintah Hindia Belanda untuk menyukseskan pembangunan jalur kereta tersebut. Selain itu, mereka memberi konsesi kepada perusahaan swasta yang berminat membangun jalur rel kereta api.
“Biasanya dia akan membantu, karena untuk pembangunan jalur rel kereta api membutuhkan investasi besar,” ujar Nova.
Selain itu, Pemerintah Hindia Belanda memberlakukan undang-undang agraria. Beleid itu mengakui hak tanah milik pribumi, sehingga mempermudah pembebasan lahan. Belanda juga memberikan ganti rugi dengan besaran yang sudah ditetapkan.
Pemerintah Hindia Belanda membuat rencana induk atau master plan jalur kereta api itu terintegrasi dengan moda transportasi lain. “Jadi terintegrasi antarmoda. Biasanya, intermodanya itu menyambung ke pelabuhan,” ujarnya.
Awalnya, swasta yang membangun jalur kereta. Namun, seiring berjalannya waktu, Pemerintah Hindia Belanda membangun jalur kereta sendiri.
“Jadi, kalau yang swasta itu nama perusahaannya NV NISM, kalau pemerintah SS,” dia menambahkan.
Berawal dari keberhasilan pembangunan jalur yang 25 kilometer, akhirnya meluas ke Solo, Yogyakarta, dan terus berkembang. Hingga 1939 sudah menyebar ke pelabuhan, hutan, dan gunung. “Pokoknya jaringannya sudah bagus,” kata dia.
Keberhasilan swasta, NV NISM membangun jalan KA antara Samarang-Tanggung, yang kemudian pada 10 Februari 1870 dapat menghubungkan kota Semarang-Surakarta (110 kilometer), akhirnya mendorong minat investor untuk membangun jalan kereta api di daerah lainnya.
Tidak mengherankan, kalau pertumbuhan panjang jalan rel antara 1864-1900 tumbuh dengan pesat. Kalau tahun 1867 baru 25 kilometer, pada 1870 menjadi 110 kilometer, dan 1880 mencapai 405 kilometer. Selanjutnya, pada 1890 menjadi 1.427 kilometer dan tahun 1900 menjadi 3.338 kilometer.
Lokomotif yang digunakan untuk transportasi di Sumatera Barat, diturunkan dari kapal Bintang Samudra II, di dermaga III, Pelabuhan Teluk Bayur, Padang. (ANTARA FOTO/Iggoy el Fitra)
Selain di Jawa, menurut laman heritage.kereta-api.co.id, pembangunan rel kereta api dilakukan di Aceh (1874), Sumatera Utara (1886), Sumatera Barat (1891), dan berlanjut pada 1914.
Bahkan pada 1922, di Sulawesi juga telah dibangun jalan kereta api sepanjang 47 kilometer antara Makassar-Takalar, yang pengoperasiannya dilakukan tanggal 1 Juli 1923. Sisanya Ujungpandang-Maros belum sempat diselesaikan.
Sementara itu, di Kalimantan, meskipun belum sempat dibangun, studi jalan kereta api rute Pontianak-Sambas (220 kilometer) sudah diselesaikan.
Tak hanya Belanda, Jepang juga ternyata pernah membangun rel kereta yakni di sekitar wilayah Bayah sampai Saketi. “Itu ada di daerah kulon, Jawa Barat arah ke Serang, Banten. Itu kurang lebih sekitar 89 kilometer,” ujar Nova.
Selain itu, Jepang membangun jalur kereta di Sumatera, yakni antara Muaro dan Pekanbaru. “Itu lebih panjang lagi, sekitar 220 kilometer,” ujarnya.
Namun, kedua jalur tersebut akhirnya ditutup. “Mungkin karena sudah tidak mendatangkan keuntungan ekonomi lagi. Terutama untuk Muaro-Pekanbaru itu sudah hilang sama sekali, cuma bisa dilihat jejaknya saja, bekas badan relnya.”
Sama seperti Belanda, ekonomi dan militer menjadi alasan Jepang membangun rel kereta. Di Bayah–Saketi ada unsur ekonomi.
Karena pada saat itu di area tersebut ada tambang batu bara. Sementara itu, untuk jalur Muaro-Pekanbaru lebih cenderung ke militer. “Karena sekutu mulai mendekati ke arah situ,” tuturnya.
Namun, sejak masa kemerdekaan ada beberapa wilayah yang jalur kereta apinya tak difungsikan. Maraknya pembangunan jalan dan angkutan jalan raya membuat kereta api tergeser.
“Akibatnya ada jalur-jalur yang ditutup, karena dirasa sudah tidak ekonomis lagi,” ujar Nova.
Namun, saat ini pemerintah berencana untuk menghidupkan kembali jalur rel kereta yang selama ini mati. Tak hanya itu, pemerintah giat membangun dan menambah jalur kereta.
“Saya secara pribadi mendukung semua jenis transportasi rel yang akan dibangun. Karena lebih efektif. Seperti ada pembangunan MRT, LRT, seharusnya sih sudah dilakukan lebih dari 10 tahun yang lalu. Harusnya sekarang kita sudah menikmati. Jadi tidak akan terjadi macet seperti sekarang,” kata dia. (art)