Sinambung Lawak Indonesia

- VIVAnews/Fernando Randy
Penggemar grup lawak Warkop DKI ini berpandangan bahwa lawak pada masa dulu, justru jauh lebih baik. Budi menilai kala itu, lawakan yang disajikan jauh lebih segar dan memiliki karakter.
Sehingga membuat kesan tersendiri bagi penontonnya. Tak cuma itu, kekuatan hubungan antar tokoh lawak juga membuat lawakan itu begitu berkesan. "Warkop DKI misalnya, mereka terkesan natural. Chemistry satu anggota dengan yang lain begitu kuat. Kalau yang kini tek-toknya kurang greget," ujar Budi.
Senada di katakan Klara (25), pegawai swasta asal Jakarta ini juga menilai lawakan zaman dahulu jauh lebih lucu ketimbang kekinian. Menurutnya, kala itu lawakan seperti dibuat tidak sembarangan dan tidak menggunakan kata-kata yang menyudutkan orang lain.
"Yang dulu leluconnya lebih intelek dan bermutu tapi ringan. Sekarang banyakan ngatain orang atau nyinyir masalah privasi," ujar perempuan yang mengaku mengidolakan Warkop DKI ini.
Ya, secara keseluruhan hampir sebagian besar publik memang mengkritik gaya lawakan era kini. Meski ada beberapa yang memuji namun memang masalah etika dan gaya pelawak yang kerap berkata buruk menjadi masalah.
Menertawai lawak yang tak lucu akhirnya kini menjadi kebiasaan sekadar untuk menghilangkan penat dari rutinitas yang membosankan. Namun karena pilihan lawak berkualitas terbatas, akhirnya membuat publik mau tak mau mencicipi hal ini.
Kondisi ini pun juga menyasar ke program lawak tunggal yang belakangan menjadi acara 'ramai' di televisi. Meski sejak awal konsep lawakan ini memiliki alur dan norma yang jelas. Namun ruang untuk kekurangan itu tetap terbuka lebar.
"Industri SUC kita masih sangat muda. Kita baru lihat kebangkitannya, belum established-nya. Jadi masih banyak trial and error," ujar Mo Sidik, mentor komika.
Atas itu, butuh sebuah konsepsi jelas untuk membangun panggung komedi di Indonesia jauh berkualitas. Kuantitas pelawak tanpa kualitas maka akan melahirkan masalah di kemudian hari.
Selain itu, secara sadar atau tidak kini dunia lawak Indonesia faktanya sedang dirundung kesulitan untuk melahirkan grup lawak yang bisa melegenda seperti Warkop DKI atau Grup Srimulat pada masa lampau.
Banyaknya acara di televisi yang menyelipkan komedi, tak seiring dengan munculnya grup lawak. Semuanya hanya figur personal yang kadang belum tentu bisa berkolaborasi kuat dalam sebuah tim.
Dan pastinya, seperti yang diharapkan Sidik, Indonesia membutuhkan sebuah ruang khusus untuk melatih seni komedi. "Kayak di Amerika itu, school of art-nya ada S3 penulisan komedi. Di Indonesia sekolah seninya belum spesifik," ujar Sidik.
Ya, melawak bukan sekadar mengemis tawa. Namun juga menjadi sebuah pesan moral untuk mengkritik, membangun dan menanamkan motivasi kepada masyarakat.
Moto legendaris Warkop DKI 'Tertawalah sebelum tertawa dilarang' harus diakui menjadi pesan yang kuat hingga era kini. Namun, menertawai hal yang tak lucu juga tak ada guna. (ren)