Politisi Senior Partai Golkar Akbar Tandjung

Pemimpin Jangan Pengaruhi Masyarakat dengan Isu yang Bikin Terbelah

Akbar Tandjung Bicara Politik Tanah Air
Sumber :
  • VIVA/Muhamad Solihin

VIVA –  Jika disebut nama Akbar Tandjung, bisa jadi ingatan publik akan langsung mengaitkannya dengan Partai Golkar. Tak salah, sebab Akbar sangat lekat dengan Partai Golkar.

Golkar Melesat di Pileg 2024, Akbar Tandjung Sebut Airlangga Sukses jadi Ketum

Sejak masa Orde Baru, hingga pemerintahan saat ini, Akbar setia mengawal partai berlambang Pohon Beringin tersebut. Pria yang kini berusia 73 tahun itu, bahkan tak surut ketika Partai Golkar, yang di masa Orde Baru, sangat identik dengan Presiden Soeharto, presiden RI ke dua yang berkuasa selama 32 tahun.

Ketika Soeharto berhasil diturunkan dari singgasana kekuasaan, dan Partai Golkar dibenci publik, Akbar terus berjalan. Ia terpilih menjadi Ketua Umum Partai Golkar pada tahun 1998 hingga 2004.

Akbar Tandjung Tegaskan Dukung Airlangga Hartarto dan Minta Wacana Munaslub Dihentikan

Masa terberat bagi Partai Golkar. Orde Reformasi yang sedang dilambungkan, membuat Partai Golkar dipandang sinis. Tetapi, Akbar tak gentar. Ia memilih fokus menjaga nama besar Partai Golkar. Ia turun ke daerah-daerah untuk memperjuangkan dan menjaga soliditas anggota partainya. 

Akbar pernah menjadi menteri di setiap presiden. Di masa Presiden Soeharto, Akbar pernah menjabat sebagai Menpora (1988-1993), lalu menjadi Menteri Perumahan Rakyat dan Permukiman Indonesia (1993-1998).

Sikap Resmi Dewan Kehormatan Partai Golkar: Wacana Munaslub Dihentikan

Ketika Habibie menjadi Presiden RI, Akbar sempat memegang posisi sebagai Menteri Sekretaris Negara (1998-1999). Selain menjadi menteri, Akbar juga menjabat sebagai Ketua DPR RI untuk tiga periode kepemimpinan, yaitu Presiden BJ Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid, dan Presiden Megawati. Ia berada di Parlemen mulai tahun 1999 hingga 2004. 

Pria keturunan Batak yang lahir 14 Agustus 1945 ini memang gigih. Suara Partai Golkar pada Pemilu 1999, anjlok hingga 50 persen. Akibatnya, perolehan kursi untuk Partai Golkar anjlok. Namun, jumlah perolehan kursi untuk Parlemen yang sempat menurun itu berhasil dinaikkan sedikit oleh Akbar pada Pemilu 2004.

Kini ,Akbar sudah semakin sepuh. Namun, semangatnya untuk terus memperhatikan Indonesia tak padam. Saat diwawancara oleh VIVA pada Kamis 23 November 2018, suaranya masih tetap kalem dan tenang.

Tetapi, matanya yang berbinar-binar sudah cukup memberi gambaran, ia tak pernah surut. Bahkan, hingga hari ini, Akbar masih rajin turun ke berbagai daerah untuk menyambangi dan berbincang dengan kader Partai Golkar di seluruh Indonesia.

Ia juga dengan cermat terus memantau peta politik negeri ini. Seperti apa pandangan politisi senior ini tentang politik Indonesia, pemilu presiden (Pilpres), dan pergerakan politisi? Berikut petikannya: 

Bagaimana Anda melihat peta politik nasional saat ini?

Politik hari ini tidak lepas daripada politik era-era sebelumnya, terutama pada waktu era reformasi. Di mana, ketika era reformasi itu kita melakukan begitu banyak perubahan. Dan, yang paling mendasar pada waktu itu adalah amandemen UUD 45. Kenapa saya katakan itu perubahan yang paling mendasar, karena saya mengikuti betul pergerakan kebangsaan kita, secara langsung ikut, khususnya pada era Orde Baru. 

Era Orde Baru kan selalu kita mengaitkan pada era suatu orde yang dalam kepemimpinan bangsa, semangatnya berada pada semangat yang betul-betul melaksanakan Pancasila dan UUD 45 secara murni dan konsekuen, dan tidak ada kehendak untuk melakukan perubahan-perubahan terhadap prinsip dasar kita dalam berbangsa dan bernegara. Bahkan, pada tahun 1983, karena semangat untuk mempertahankan UUD dan Pancasila itu begitu kuat, tetapi mengacu pada UUD 45 itu sendiri. Terutama, pasal 37 yang menyebutkan bahwa dimungkinkan melakukan perubahan-perubahan. Kan, bunyi dalam pasal 37 memungkinkan perubahan kan. 

Amandemen UUD 1945 bagian dari keinginan berubah itu?

Nah, bagaimana menjawab komitmen kita mempertahankan UUD dan Pancasila, ketika adanya pasal 37 itu. Maka, kemudian kita pada waktu itu melakukan ketetapan TAP MPR yang disebut sebuah referendum. Di situ dikatakan, bilamana ada kehendak untuk mengubah UUD 45 penjelasannya (karena dimungkinkan dalam Pasal 37), maka terhadap kehendak itu dilakukan referendum. Artinya, ditanya dulu kepada rakyat, rakyat setuju apa tidak dilakukan perubahan. Meskipun konstitusi menyatakan boleh, tetapi karena kehendak mempertahankan UUD 45 ketika itu begitu kuat ya. Tetapi, kita tetap mempertanyakan itu kepada rakyat, maka diputuskan lah TAP MPR. Tetapi, saya lupa itu TAP MPR nomer berapa. 

Artinya, Anda melihat kondisi politik hari ini sebagai buah dari masa reformasi ketika itu?

Iya, karena memang tidak bisa lepas dari era sebelumnya. Setelah terjadi amandemen ada perubahan-perubahan yang mendasar dari sisi kelembagaan. Kita membangun kelembagaan baru. Dulu hanya DPR/MPR, lalu lahirlah DPD. Kemudian, kita membentuk Mahkamah Konstitusi, dan dalam semangat reformasi itu juga muncul lah partai-partai politik baru, jadi multi partai. Bahkan, pada awalnya sempat sampai 100 lebih partai politik baru. Kemudian, diseleksi oleh KPU di era reformasi. Pemilu pertama pascareformasi tahun 1999, lolos 48 partai. Kemudian, berjalan lah mekanisme dengan adanya lembaga baru DPD. Awalnya, diperuntukkan perwakilan daerah non orang parpol, tetapi pada perjalanannya ada orang-orang politik di dalamnya. Mereka memandang bahwa posisi itu perlu mereka duduki seperti halnya di Amerika ada senator. 

Bagaimana sistem ini menurut Anda?

KPU sudah bagus membuat ketentuan ketua umum partai tidak boleh jadi DPD, tapi kan digugat sama OSO (Oesman Sapta Odang) dan menang. Jadi, dalam konteks ini saya melihat sistem kita ini tidak jelas. Dan, akhirnya saya sampai pada satu kesimpulan, di dunia ini kalau ingin melihat sistem kepartaian dan sistem pemilu, terutama sistem pemilu, sebenarnya ada dua. Pertama sistem profesional dan kedua sistem distrik. Nah, di kita sistem profesional tetapi dimodifikasi menjadi sistem profesional terbuka dengan perolehan suara terbanyak. Dengan suara terbanyak ini mengakibatkan orang-orang mempunyai kepentingan, agar dia mendapatkan suara terbanyak. Nah, ini lah hasilnya. Kalau profesional yang dipilih partainya, tetapi karena sistem kita dimodifikasi selain memilih partai, tetapi memilih orangnya juga dengan sistem suara terbanyak. Maka itu, digunakan oleh orang-orang yang mempunyai kepentingan dengan orang yang memiliki kelebihan finansial. Jadilah Politik kita sekarang ini diwarnai dengan yang namanya pragmatis transaksional. 

Apa dampaknya?

Ini semuanya mengakibatkan berbagai peristiwa, berbagai kasus tindak pidana korupsi yang itu sekarang kita banyak saksikan, hampir semua partai terlibat dalam kasus-kasus tindak pidana korupsi ini. Sehingga, mengakibatkan kehidupan kepartaian kita menjadi tidak jelas arahnya ke mana. Kalau saya ditanya, kalau kita mau bereksperimen, sudah lah kita kembalikan saja ke sistem proporsional tertutup atau sekalian kita bikin baru, yaitu sistem distrik. Sistem distrik itu nanti setiap partai diwakili oleh calon-calon di distriknya masing-masing. Yang bertarung nanti calon-calon dari partai politik juga. Tapi masyarakat memilih calonnya, bukan partainya. 

Amandemen itu kan membuka ruang multipartai, sehingga itu dirasa merepotkan dengan sistem proporsional terbuka itu. Sekarang ini kan, semangatnya ada upaya merampingkan kembali parpol dengan syarat UU, dengan membuat PT (Parliamentary Threshold). 

Benarkah Pemilu serentak yang akan digelar pertama kali ini bisa menjadi kuburan bagi sejumlah partai?

Ya memang saya pikir, kita harus mengkaji dampak dari perubahan hari ini. Dampak yang paling nyata sekarang ini adalah terjadinya praktik-praktik pragmatis transaksional dalam perpolitikan kita. Kalau dikaitkan dengan konstitusi, sistem pemerintah kita kan presidensial, presiden selain sebagai Kepala Negara juga sebagai Kepala Pemerintah. Perkembangan sistem politik pemerintahan di dunia karena presiden itu dipilih oleh rakyat, maka sudah tepat jika sistem presidensial presiden dipilih langsung oleh rakyat. Kita pernah sistem presidensial, tetapi di masa Orde Baru tidak dipilih oleh rakyat, tapi oleh MPR. Sekarang, kita memperkuat dan memperjelas sistem presidensial kita. Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, presiden dipilih langsung oleh rakyat. 

Dalam pengertian itu, karena presiden dipilih oleh rakyat maka sebetulnya sistem presidensial itu tidak perlu juga banyak partai. Beda dengan sistem parlementer. Kenapa sistem parlementer partainya banyak? Karena parlemen itu dipilih oleh partai-partai. Sehingga partai lah yang memilih Perdana Menteri di parlemen. Kalau sistem presidensial yang pilih presiden adalah rakyat melalui pemilu. Maka, akibatnya rencana untuk membuat partai menjadi sederhana juga tidak bisa dilaksanakan, karena itu tadi, obsesi untuk terus berperan dalam politik diwujudkan dalam bentuk diberikan kesempatan mendirikan partai, sehingga kita melihat partai jumlahnya sekarang banyak. 

Artinya, jumlah partai diturunkan melalui Parliamentary Threshold?

Nah, sekarang kita mencoba gimana agar partai ini jumlahnya tidak banyak, salah satu caranya adalah menaikkan threshold. Threshold pertama dulu tiga persen, kemudian 3.5 persen, dan sekarang naik menjadi empat persen. Terakhir itu kemarin kan, 3,5 persen dengan 12 partai politik ikut pemilu, 10 yang lolos threshold, 10 partai itu lah yang punya kursi di DPR-RI. Sekarang dinaikkan menjadi empat persen, partainya ada 16, tinggal kita lihat nanti tinggal berapa partai yang bertahan. Kalau saya sih usulnya di atas empat persen. Kalau kita semangatnya betul-betul ingin menjadikan partai ini sederhana, saya kira kunci yang paling menentukan adalah menaikkan threshold.

Berapa idealnya?

Kalau pandangan saya sih, walaupun belum ada dasar perhitungan yang kuat, saya rasa cukup dengan lima partai politik. Nah, karena partai kita sudah tidak lagi berbasis ideologi, mungkin partai itu dengan kemampuannya masing-masing bisa membangun suatu kebijakan atau visi atau program, sehingga rakyat bisa membedakan partai satu dengan partai lainnya. Tetapi, itu tergantung kepandaian tangan pimpinan partai. Jadi ,ada kekhasan partai-partai itu bukan dari perspektif ideologi, tetapi dari perspektif program, visi misi partai, dsb. 

Di satu sisi, kita semangatnya ingin menyederhanakan partai. Tetapi, di satu sisi, sistem politik kita tetap membuka ruang untuk munculnya partai-partai baru. Bagaimana Anda melihat fenomena itu dan bagaimana kans partai-partai baru ke depan?

Itu tadi, kunci yang sekarang kita gunakan, kalau kita semua konsisten, sepakat, kita naikkan threshold-nya itu. Memang, risikonya bisa juga partai politik yang sudah ada ini tidak lolos kan? Itu berarti, partainya selama ini tidak eksis. Kemudian untuk yang kedua, juga tidak mudah mendirikan partai dengan persyaratan-persyaratan yang ketat. Kalau itu kita lakukan, berarti partai politik bisa lebih sederhana. Tetapi, saya lihat saya sampai pada pendapat lima partai cukup maksimal lah. Cuma keterpilihan partai dari rakyat itu kuncinya. Bagaimana partai dapat memberikan citra di mata masyarakat bahwa partai ini memiliki titik berat apa yang diperjuangkannya. Jadi, orang di situ titik tekan pandangannya, jadi bukan agama, bukan ideologi, dan sebagainya. Tetapi, fokusnya pada program-program itu, program yang menjadi program utama partai politik.

Suwardi, Peneliti Solo Raya Polling

Kaesang hingga Putri Akbar Tandjung Masuk Bursa Calon Wali Kota Solo Pengganti Gibran

Selain itu, ada juga KGPAA Mangkunegara X hingga Yashinta Sekarwangi Mega masuk bursa calon Wali Kota Solo.

img_title
VIVA.co.id
8 Maret 2024