Ketua Dewan Pers Mohammad Nuh

Seperti Udara Jakarta, Dunia Pers Kita juga Terkontaminasi

Mohammad Nuh, Menteri Pendidikan
Sumber :
  • VIVAnews/Nurcholis Anhari Lubis

VIVA –  Setiap orang memiliki keunikan, dan Ketua Dewan Pers yang baru, Muhammad Nuh, termasuk yang sangat unik. Ia tak pernah terlibat langsung dalam dunia jurnalistik, tapi kini menjabat sebagai Ketua Dewan Pers untuk periode 2019-2022. M Nuh terpilih sebagai wakil dari masyarakat. 

Sepanjang 2023 Dewan Pers Terima 813 Aduan Kasus Pers, 97,7% Telah Diselesaikan

Karier tingkat nasional pria kelahiran Surabaya, 17 Juni 1959 dimulai ketika ia menjabat sebagai Rektor Institute Teknologi Sepuluh November Surabaya periode 2003-2006. Melesat dengan menduduki posisi Menteri Komunikasi dan Informatika pada 2007-2009, lalu menjadi Menteri Pendidikan Nasional pada 2009-2014.

Meski tak memilki latar belakang jurnalistik, tapi M Nuh memiliki perspektif tentang dunia jurnalistik, kompetensi wartawan, dan bagaimana arus informasi bergerak dengan sangat deras saat ini. Kepada VIVAnews yang menemuinya pada Kamis, 18 Juli 2019, di gedung Dewan Pers, ia menjabarkan visi misinya, termasuk seluruh rencana kerja yang sudah ia siapkan untuk mulai memperbaiki sistem kerja di  Dewan Pers, pembenahan kompetensi wartawan, termasuk meningkatkan kesejahteraan karyawan. 

Soal Sengketa Pemberitaan, Dewan Pers Perintahkan Tempo Minta Maaf ke Bahlil

Selengkapnya wawancara dengan M Nuh bisa Anda nikmati di bawah ini:

Anda tidak memiliki latar belakang di dunia media. Apa yang membuat Anda tertarik mencalonkan diri sebagai bagian dari Dewan Pers?
Saya kan pernah di Kominfo. Di Kominfo kan juga memiliki kaitan dengan media. Kalau menurut saya begini, apa sih produk utama dari media atau pers? Pers itu kan mesin, yang menghasilkan informasi. Dengan kata lain pers adalah mesin yang memproduksi sebuah informasi. Di zaman sekarang ini kalau tidak ada informasi, bubar ini. 

Stafsus Ungkap Bahlil Keberatan Difitnah Lakukan Permainan Izin Tambang

Kalau kita mengikuti perjalanan dari dunia keilmuan itu kan alurnya sederhana, data menghasilkan informasi, informasi mencari korelasi antar informasi yang lain, kemudian lahirlah knowledge atau ilmu pengetahuan. Itu mainframe-nya, paketnya kan seperti itu. Tapi ternyata ini ada kaitannya dengan society (masyarakat), society ada kaitan dengan revolusi industri. 

Pada saat revolusi industri ketiga lalu atau revolusi industri 3.0 yang lalu, di masyarakat itu orang menyebutnya information and knowledge society atau masyarakat yang berbasis informasi dan keilmuan . Itu revolusi industri 3.0 sampai 4.0. Sekarang kan eranya revolusi industri 4.0. Nah, kalau masyarakat itu menyebut bahwa revolusi industri 4.0 ini adalah masyarakat yang berbasis informasi dan ilmu pengetahuan tapi mesin produksi informasinya tidak jalan, kira-kira bagaimana jadinya? Nah, ini yang saya kira kita semua harus konsen di situ. Sehingga wartawan atau media ketika menulis sebuah informasi, itu bukan sekedar menulis informasi tok. 

Maksudnya, wartawan harus punya frame sendiri sebelum menulis?
Karena ini urusannya negara. Jadi bingkai besarnya itu urusan negara, dan wartawan itu bagian dari bingkai besarnya itu tadi. Karena masyarakat sekarang butuh informasi. Itu sama halnya dengan manusia hidup yang ketergantungan akan oksigen. Sekarang ini kalau tak ada informasi, klepek-klepek. 

Gak usah kita bicara orang dewasa, anak kecil saja sekarang ini kalau enggak pegang smartphone untuk mengakses informasi mereka kesulitan. Karena apa? Karena informasi sudah melekat kaya oksigen, melekat dengan manusia. 

Nah, sekarang pertaruhannya tinggal kualitas oksigennya. Kalau oksigennya terkontaminasi dengan polusi, dan lain sebagainya, ketika kita menghirup oksigen bukan tambah sehat, tapi tambah sakit. Sama dengan informasi, kalau kita menangkap atau menerima informasi yang tak karuan, tidak punya basis data yang bagus, orang yang membaca berita atau informasi itu tak akan tambah pintar, karena informasi yang dia dapatkan adalah informasi yang tidak sehat atau tidak berbasiskan data. Oleh karena itu, tugas kita, tugas Dewan Pers yang harus terus dikembangkan ke depan adalah quality of jurnalist.

Terkait kualitas jurnalis, bagaimana Anda melihat kondisi media saat ini?
Sama seperti oksigen Kota Jakarta, contaminated (terkontaminasi). Tapi kan kita tidak bisa membiarkan ini terus menerus terkontaminasi kan? Tugas kita adalah bagaimana polusi oksigen itu kita kurangi, kita kurangi, kita kurangi. 

Cara apa yang Anda tawarkan untuk menguranginya?
Caranya pertama, tidak boleh ada knalpot yang terlalu besar, tanaman diperbanyak. Artinya larinya ke kualitas membenahi oksigen yang terkontaminasi itu tadi. Oleh karena itu saya katakan kepada kawan-kawan, tolong di periode ini jadikan peningkatan kualitas para jurnalis sebagai part of priority. Itu harus prioritas. Kenapa? Karena dia yang menulis berita. Kalau dia menulis sebuah informasi tapi secara basic individu dia tidak memiliki critical of thinking sebagai basis kritis atas sebuah informasi atau sebuah keadaan, dia akan menulis informasi itu sembarang atau asal-asalan saja. 

Oleh karena itu ini akan kita jadikan prioritas, mulai dari pelatihan, sertifikasi, termasuk perlindungan, dan kesejahteraan untuk pers juga harus menjadi prioritas kita juga. Jadi kompetensi wartawan itu kita tingkatkan, kesejahteraan wartawan juga harus kita perhatikan.

Wartawan itu hampir sama nasibnya dengan dosen atau guru. Dosen itu sekolahnya dulu sekali, lima tahun enam tahun yang lalu, tapi ngajarnya sekarang, dan mengajar untuk masa depan. Wartawan juga demikian, banyak wartawan yang belajar untuk jadi wartawan atau pelatihannya sudah lama sekali, tapi dia harus bekerja, harus menulis di masa kini, untuk masa depan. Jadi istilah Jawanya itu, kulakannya masa lalu, di dodol (jualannya) sekarang, tapi harapannya bisa dipakai nanti. Padahal jaman berubah-ubah. Lah, terus gimana kalau kaya gitu? Kalau orangnya tidak mau mengubah kualitasnya, yaa kacau toh?  Iyaa kan, kondisinya seperti itu sekarang ini kan, jamannya berubah, tapi mindsetnya tidak berubah. 

Di ilmu revolusi industri kan juga begitu, apa sih yang membedakan antara revolusi industri 3.0 dengan revolusi industri 4.0? Kan ada filosofinya di situ. Filosofinya antara lain adalah kecepatan.

Mohammad Nuh, Menteri Pendidikan

Menurut Anda, apa yang menyebabkan media kita terkontaminasi?
Jadi begini, saya punya falsafah yang sampai saat ini saya pegang. Hidup itu tidak bisa dipisahkan dari alam. Alam ini adalah universitas kehidupan. Di situ banyak sekali yang bisa kita ambil sebagai analogi atau kias. Kalau ditanya apa yang menyebabkan produk media terkontaminasi? Pertama kontaminasi by embedded. Karena yang nulis berita ini dia tidak mengerti, atau tidak memiliki critical of thinking itu tadi, pasti error. Misalnya, Anda menulis tentang bursa saham, tapi Anda tak mengerti tentang bursa saham, sudah pasti error itu yang Anda tulis. Artinya kompetensi di situ diperlukan. 

Misalnya anda menulis tentang konflik Mesuji. Tetapi anda tidak mengerti konstruksi sosialnya itu seperti apa, paling banter beritanya itu, '4 Orang mati karena konflik warga di Mesuji' isinya paling mati karena dibacok, kemudian keluarga atau kerabat korban membalas dengan bacokan, dan seterusnya. Dari situ apa yang didapatkan oleh masyarakat? Yang didapat hanya sekedar berita, bukan informasi, belum informasi. Nah, yang kita butuhkan itu informasi. Maka disinilah pentingnya kawan-kawan terus kita dorong, untuk terus belajar. Tidak ada ceritanya orang tidak mau belajar. 

Di zaman perubahan ini, kata kunci untuk menjadi orang sukses itu adalah dia pembelajar sejati. Siapa saja? Mau dia presiden, menteri, kalau dia tidak mau belajar, di zaman sekarang, dia akan ketinggalan.

Ketua Dewan Pers, Ninik Rahayu

Dewan Pers Ungkap Banyak Terima Keluhan tentang Media dari Institusi Kementerian

Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu mengaku masih sering mendapatkan keluhan tentang produksi pemberitaan yang lebih banyak datang dari institusi seperti kementerian.

img_title
VIVA.co.id
22 Maret 2024