Bom Medan dan Deradikalisasi Setengah Matang

Lokasi bom bunuh diri di Polrestabes Medan 13 November 2019
Sumber :
  • Ist

VIVA – Kehangatan pagi di Polrestabes Medan pada Rabu, 13 November 2019, berubah menjadi kengerian. Seseorang meledakkan diri di kantor Polrestabes Medan setelah berhasil masuk kawasan Polrestabes dengan mengaku hendak membuat Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK). 

7 Korban Bom Bunuh Diri di Medan Terima Kompensasi Rp140 Juta

Pelaku tewas dengan kondisi mengenaskan. Ia diduga melilitkan bom di tubuhnya sebelum meledakkan diri. Enam orang menjadi korban dalam ledakan ini. Dari rekaman video yang viral, sesaat setelah bom meledak, asap putih membumbung dan terlihat kepanikan dan ketakutan dari warga sipil yang juga berada di sekitar kantor Polrestabes Medan. 

Polisi mensinyalir, bom bunuh diri ini merupakan aksi terorisme. Dari hasil penyelidikan sementara tim Densus 88 Antiteror Polri, pelaku diduga melakukan aksi sendiri (Lone Wolf). "Dugaan sementara lone wolf. Ia melakukan penyerangan. Serangan pelaku tunggal," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri, Brigadir Jenderal Polisi Dedi Prasetyo di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Rabu, 13 November 2019.

Ketemu Gojek dan Grab, Menkominfo Singgung Bom Medan

Namun, Dedi menegaskan, tak menutup kemungkinan pelaku berafiliasi dengan kelompok jaringan terorisme yang ada di Indonesia.

Aksi meledakkan bom bunuh diri di kantor polisi bukan yang pertama. Juni lalu, serangan bom bunuh diri juga terjadi di pos pengamanan (pospam) lebaran 2019 di Kartasura, Sukoharjo, Jawa Tengah. Tahun 2018, kantor Mapolrestabes Surabaya juga mengalami hal yang sama. Dalam peristiwa di Surabaya, pelaku bahkan mengajak istri dan dua anaknya. Pelaku, istri dan satu anak mereka tewas. Sedangkan satu anak lainnya selamat. 

Bahas Deradikalisasi, Rektor UIN Sumut dan TGB Temui Mahfud MD

Tahun 2016, bom bunuh diri juga menyerang pos polisi di depan Sarinah, Jalan MH. Thamrin, Jakarta Pusat. Bom juga meledak di kedai kopi Starbucks, yang berada hanya sekitar 20 meter dari pos polisi Sarinah. Aksi tembak menembak antara polisi dan pelaku lainnya sempat terjadi. Teror di Sarinah ini diduga dilakukan oleh jaringan dari kelompok Bahrun Naim. 

Serangan bom di Medan pada Rabu pagi itu membuat semua kantor polisi di penjuru nusantara mengetatkan pengawasan. 

Polisi, Sasaran Favorit Bom Bunuh Diri

Pengamat terorisme sekaligus Direktur The Community Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harist Abu Ulya dengan tegas mengatakan polisi telah kecolongan. Ia mengatakan, ada indikasi pelaku terkait dengan simpatisan ISIS. 

"Dikabarkan semalam telah melakukan bai'at mati untuk melakukan serangan. Jadi bisa dibilang aparat kecolongan, padahal sudah banyak yang ditangkap dalam beberapa bulan terakhir. Tapi masih juga ada aksi teror," ujarnya kepada VIVAnews.

Menurut Harist, polisi dan markas polisi menjadi sasaran karena itu telah menjadi siklus dendam atas sikap polisi terhadap kelompok ini. Dendam kelompok tersebut telah menjelma menjadi "ideologi" yang menstimulasi aksi teror dari kelompok pelaku. Dendam menjadi determinasi yang dibumbui dengan doktrin teologi yang beku untuk menghasilkan legitimasi aksi nekat teror.

Kelompok ini dendam pada polisi karena polisi dianggap menjadi penghalang tujuan dan misi mereka. Polisi juga dianggap bertindak tidak manusiawi kepada kawan mereka yang ditangkap. 

Harist menambahkan, dalam konteks serangan kelompok ini pada polisi maka framework rasional bisa digunakan. Sebab, metodologi ini mengkaji korelasi antara teroris dan sasaran dalam aspek kesamaan, kepentingan, konflik kepentingan, dan pola interaksi diantara keduanya. 

"Dalam framework ini teroris dan sasaran terornya diletakkan sebagai aktor rasional dan strategis. Rasional dalam arti tindakan mereka konsisten dengan kepentingannya dan semua aksi mencerminkan tujuan mereka. Strategis dalam artian pilihan tindakan mereka dipengaruhi oleh langkah aktor lainnya (lawan) dan dibatasi oleh kendala (constrain) yang dimilikinya," ujarnya.

Tapi jika yang digunakan "framework kultural," maka asumsinya adalah nilai menghasikan tindakan. Tindakan sangat tergantung persepsi dan pemahaman (ideologi) yang dimiliki teroris. Jika menggunakan framework kultural, maka publik akan tergiring untuk memahami terorisme secara parsial dan hanya fokus pada profil teroris dan tindakan terornya semata, sementara sasaran teror diabaikan. 

Sementara framework rasional, tutur Harist, berasumsi soal kalkulasi strategis antar aktor sehingga menghasilkan teror. Frame ini mengharuskan mengkaji langkah, kebijakan, juga strategi yang digunakan oleh kedua belah pihak, yaitu teroris dan sasaran teror. 

"Risiko logisnya, penggunaan metodologi ini bisa dianggap sebagai analisis yang obyektif dan rasional, atau dianggap sebagai simpatisan teror karena manganalisa secara kritis sasaran teror, di saat “sasaran” sedang menjadi “korban," ujar Harist. 

Penggunaan framework rasional ini menjadi penting karena mampu menjawab dua hal, yaitu kondisi yang memunculkan dan kondisi yang meredam terjadinya teror.

Program Deradikalisasi Gagal?

Ledakan di Polrestabes Medan ini terjadi di awal periode kedua pemerintahan Presiden Jokowi. Akhir Oktober lalu, saat membuka rapat terbatas dengan topik Penyampaian Program dan Kegiatan di Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Presiden Joko Widodo meminta jajarannya melakukan upaya serius untuk mencegah meluasnya gerakan yang ia sebut sebagai gerakan radikalisme. 

Saat itu, Jokowi juga mengusulkan menggunakan istilah baru untuk mencegah penyebaran radikalisme dengan menggunakan diksi 'manipulator agama'. "Harus ada upaya yang serius untuk mencegah meluasnya, dengan apa yang sekarang ini banyak disebut yaitu mengenai radikalisme," kata Jokowi saat itu. 

Jokowi tak main-main menyiapkan amunisi untuk meredam radikalisme. Ia mengangkat Tito Karnavian menjadi Menteri Dalam Negeri, lalu mengangkat Idham Aziz menjadi Kapolri menggantikan Tito. Kedua pejabat Polri ini saling bekerja sama dalam beberapa kali penggerebekan dan penyergapan pelaku teror. Salah satunya adalah penggerebekan Dr. Azhari di Batu, Malang. 

Jokowi juga mengangkat Fachrul Razi, purnawirawan TNI, sebagai Menteri Agama. Bahkan terpilihnya Firli Bahuri sebagai Ketua KPK juga konon bagian dari upaya meredam isu radikalisme di tubuh KPK. 

Pengamat terorisme dari Universitas Islam Negeri Jakarta, Zaki Mubarak, memastikan program deradikalisasi yang dilakukan pemerintah tak sepenuhnya gagal, meski terjadi bom bunuh diri di Polrestabes Medan. Menurutnya, tetap ada capaian keberhasilan meski butuh waktu untuk menganggap program ini telah tuntas. 

"Bagaimanapun serpihan-serpihan sel jihadis enggak semua terdeteksi, meski banyak amir dan tokoh-tokohnya di penjara dan sudah tewas. Serpihan-serpihan teroris ini yang saat ini terus melakukan amaliah, karena ideologinya msh terus hidup," ujarnya. 

Zaki menjelaskan, jihad bagi mereka sebagai fardhu ain (kewajiban) yang mengikat bagi semua individu. Mereka mempraktikkan itu, dan menganggap polisi sebagai taghut yang utama karena menghalangi keberhasilan jihad. "Polisilah yang selama ini melakukan penindakan terhadap para jihadis, sehingga polisi dianggap sebagai penghalang utama. Sebab itulah mereka disasar oleh teroris," ujarnya.

Menteri Agama Fachrul Razi juga menolak mengaitkan aksi teror di Polrestabes Medan dengan kegagalan program deradikalisasi yang gencar dijalankan oleh pemerintahan Jokowi. Menurut Menag, program deradikalisasi akan terus berjalan, meski keberhasilannya tak bisa diukur secara mutlak. Program kontra terorisme dinilai efektif memutus mata rantai paham radikal yang bertumbuh subur di tengah-tengah masyarakat.

"Kalau efektif tidak efektif, itu kan relatif. Yang jelas upaya itu dilakukan intensif. Semua orang sadar itu sangat berbahaya," kata dia. (ase)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya