Bank Dunia, Jakarta dan Banjir Asia

Proyek Kanal Banjir Barat
Sumber :
  • VIVAnews/Tri Saputro

VIVAnews - Dalam 30 tahun terakhir, banjir merupakan ancaman utama bagi negara-negara berkembang di Asia. Intensitas bencana alam itu di kawasan ini lebih tinggi dari yang menimpa belahan lain di dunia.

Uniknya, peringatan ini bukan disampaikan oleh lembaga-lembaga pemerhati lingkungan hidup, melainkan dari Bank Dunia. Sebagai salah satu lembaga kreditur terkemuka, Bank Dunia merasa berkepentingan dengan banjir.

Lisa Blackpink Dirumorkan Berkencan dengan Putra Miliarder Prancis, Frederic Arnault

Bencana alam ini telah menghambat laju pembangunan ekonomi di banyak negara berkembang di Asia, yang termasuk klien-klien utama Bank Dunia. Selain kerugian ekonomi secara langsung, banjir juga membawa kerugian jangka panjang, seperti hilangnya kesempatan pendidikan, penyakit dan penurunan gizi yang dapat mengikis tujuan-tujuan pembangunan.

"Banjir merupakan bencana alam yang paling sering terjadi, dan wilayah Asia Timur dan Pasifik, bersama-sama dengan Asia Tenggara, memiliki risiko yang tinggi. Pada 30 tahun terakhir, jumlah banjir di Asia merupakan 40 persen dari jumlah banjir di seluruh dunia. Lebih dari 90 persen dari populasi dunia yang rentan terhadap banjir tinggal di Asia," demikian peringatan dari Bank Dunia.

Peringatan mengenai dampak banjir itu mereka sampaikan dalam suatu jumpa pers secara serentak pada Senin pagi, 13 Februari 2012, di Jakarta dan Tokyo. Di Tokyo menghadirkan Pamela Cox, Wakil Presiden Bank Dunia untuk kawasan Asia Timur & Pasifik serta Abhas K. Jha, Spesialis Perkotaan Utama dan Kepala Program Penanggulangan Bencana, Bank Dunia untuk kawasan Asia Timur dan Pasifik. Di Jakarta, tampil sebagai pembicara adalah Iwan Gunawan, Spesialis Utama Program Penanggulangan Bencana, Bank Dunia, Indonesia.

Di forum ini mereka memperkenalkan sebuah buku panduan terbaru oleh  Bank Dunia Asia Timur dan Pasifik yang berjudul “Cities and Flooding: A Guide to Integrated Urban Flood Risk Management for the 21st Century.” Laporan ini memberikan pentunjuk operasional di masa yang akan datang untuk penanggulangan resiko dari banjir di lingkungan perkotaan yang terus berubah dan iklim yang tidak menentu serta memasukkan lima puluh studi kasus.

Menariknya, Jakarta menjadi salah satu proyek utama Bank Dunia dalam menerapkan program penanggulangan banjir. Bila berjalan mulus, proyek ini bisa jadi acuan berharga bagi program serupa di kota-kota besar lain di Asia, yang juga bermasalah dengan banjir.

Menurut Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia, Stefan Koeberle, sudah ada program inisiatif untuk mengatasi banjir di Jakarta, kota megapolitan yang rutin dilanda bencana alam itu.

“Di kota Jakarta, yang mengalami banjir berulang, Bank Dunia kini membantu pemerintah lokal untuk melakukan rehabilitasi pada jalur-jalur dan kanal air, dan juga memperkuat koordinasi antara badan-badan nasional dan lokal,” kata Koeberle. “Menuju ke depan, manajemen risiko banjir harus disertakan di dalam pengaturan dan perencanaan daerah perkotaan, untuk mengikuti cepatnya laju urbanisasi di Indonesia.”
 
Jakarta memang rawan dilanda banjir besar dalam kurun waktu tertentu. Menurut data Bank Dunia, banjir-banjir besar terjadi di tahun 1996, 2002 dan 2007. Bahkan pada Februari 2007, banjir menggenangi 235 km2 Jakarta atau sekitar 36 persen kota, dengan ketinggian air mencapai tujuh meter di beberapa tempat. 

Pada tahun itu 70 orang meninggal dan 340.000 terpaksa mengungsi dari tempat tinggal mereka. Banjir besar yang konon terjadi tiap lima tahun mulai ramai dibicarakan, dan warga Jakarta mulai berantisipasi akan kembali terjadi tahun ini, mengingat sepanjang Januari hingga awal Februari 2012 sangat jarang terjadi hari yang cerah di Jakarta.

Bahkan, sejak 2007, banjir cenderung menjadi bencana tahunan di Jakarta. Pada 2008, misalnya, banjir menutup Bandara Soekarno-Hatta, sehingga membatalkan lebih dari 1.000 penerbangan dan menggangu berbagai aktivitas ibukota. Banjir kembali terjadi pada tahun 2009, juga pada tahun 2010 yang dikenal sebagai tahun tanpa musim kering sebagai dampak La Niña, demikian riset dari Bank Dunia.

Pendeta Brian Siawarta Bersyukur Jadi Minoritas di Indonesia, Kenapa?

Program Pengerukan

Kejadian banjir di Jakarta telah tercatat sejak abad ke-17, jauh sebelum nama Jakarta muncul. Kota ini dikelilingi beberapa gunung berapi pasif yang menjadi sumber 13 sungai yang mengalir melalui Jakarta menuju Laut Jawa. Kota Jakarta terletak di dataran rendah gunung-gunung tersebut. Saat ini, sekitar 40 persen Jakarta berada di bawah permukaan air laut, dan penurunan permukaan tanah terus terjadi.

Dalam beberapa tahun terakhir pemerintah telah menggalang upaya besar untuk melindungi Jakarta dari risiko banjir, seperti membangun tanggul laut dan Banjir Kanal Timur. Namun, tantangan terus ada terkait masalah yang kompleks ini. "Pemerintah Indonesia dengan dukungan Bank Dunia akan menjalankan sebuah proyek untuk merehabilitasi aliran air di Jakarta," kata Koeberle.

Maka, pada 17 Januari 2012, Dewan Direksi Eksekutif Bank Dunia hari ini menyetujui proyek rehabilitasi sejumlah kanal dan waduk untuk mendukung sistem manajemen banjir DKI Jakarta. Program ini disebut Proyek Mitigasi Banjir Darurat Jakarta (Jakarta Urgent Flood Mitigation Project), yang dikenal juga dengan Jakarta Emergency Dredging Initiative.  

Program ini berupa pengerukan pada sebelas saluran air sepanjang 67,5 km dan pada 4 waduk seluas 65 hektar, untuk membantu mengembalikan kapasitas aliran air. Sekitar 42 km bantaran sungai juga akan direhabilitasi. Semua kegiatan ini akan dilakukan pada titik-titik prioritas sistem manajemen banjir Jakarta.

“Studi menunjukkan bahwa langkah yang paling membawa manfaat bagi mitigasi banjir di Jakarta adalah merehabilitasi sistem manajemen banjir kota, agar kembali pada kapasitas semula. Selain pengerukan, perawatan rutin juga akan membantu mitigasi banjir,” kata Fook Chuan Eng, Spesialis di Bank Dunia Kantor Jakarta urusan Air dan Sanitasi .

Sekitar 3,4 juta kubik meter sedimen akan dikeruk dari kanal dan waduk. Semua lokasi proyek akan diuji sedimennya sebelum pengerukan dilakukan. Sedimen yang tidak berbahaya akan dipindahkan dan dibuang di fasilitas tertutup di Ancol, Jakarta Utara. Apabila ditemukan limbah padat dan bahan berbahaya akan dibuang ke fasilitas pembuangan khusus yang terpisah.

Proyek ini akan semaksimal mungkin mengurangi jumlah penduduk yang terkena dampak banjir. Relokasi sebagai dampak proyek ini akan mengikuti Kerangka Kebijakan Permukiman Kembali (Resettlement Policy Framework – RFP) dari Pemprov DKI Jakarta. Kerangka Kebijakan ini konsisten dengan praktik terbaik (best practice) internasional untuk proses permukiman kembali.

Mereka yang akan direlokasi oleh proyek ini akan memperoleh akses perumahan yang memadai. Apabila relokasi berdampak pada mata pencaharian penduduk, dukungan selama perpindahan lokasi juga akan diberikan. Relokasi penduduk diperkirakan akan terjadi di enam dari 15 lokasi proyek.

“Proyek ini menandai keterlibatan pertama Bank Dunia dengan Pemda DKI Jakarta dalam membantu memecahkan masalah banjir dan pembangunan kota yang kompleks” kata Koeberle.

Pendeta Brian Siawarta Ungkap Alasan Mengejutkan Tentang Tatonya

Proyek ini memerlukan biaya besar dan akan didanai melalui pinjaman sebesar USD 139,64 juta. Pemerintah Pusat dan Pemprov DKI Jakarta akan memberikan kontribusi dana pendamping sebesar USD 49,71 juta.

Sebagai tahap awal, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta bekerjasama dengan Pemerintah Pusat berencana merelokasi sekitar 10.000 penghuni bantaran Kali Ciliwung. Selain itu, sebanyak 1.185 bangunan di sepanjang bantaran sungai tersebut akan dibongkar.

Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (Menko Kesra), Agung Laksono, mengungkapkan bahwa tahap pertama penataan akan berlangsung di bantaran kali sepanjang Kampung Melayu hingga Manggarai.

Untuk menampung warga yang terkena relokasi, akan dibangun rumah susun sewa di wilayah Berlan, Matraman, Jakarta Timur, di atas lahan seluas 20 hektar. Sementara anggaran yang disediakan untuk pembangunan rumah susun sewa sekitar Rp5 triliun sampai Rp6 triliun.

Gubernur DKI Jakarta, Fauzi Bowo, menjelaskan sebelum memulai relokasi, pemerintah akan meneliti mengenai mata pencaharian, kondisi sosial, kebutuhan, serta fasilitas sosial dan fasilitas umum (fasos dan fasum) yang dibutuhkan penghuni di lokasi baru.

Namun, waktu relokasi dan pembongkaran masih belum pasti karena pihak berwenang masih perlu berbulan-bulan untuk persiapan dan urusan teknis.

Menurut Agung, pemerintah menargetkan waktu enam bulan untuk mempersiapkan pengadaan tanah, pengalihan aset, serta persiapan penyusunan bangunan. Diharapkan program ini dapat berjalan dengan baik. "Ini merupakan bagian dari upaya membantu masyarakat menurunkan angka kemiskinan," ucap Agung. (eh)

BIN Gelar Nobar Timnas Indonesia U-23 vs Uzbekistan

Meriahnya Nobar Timnas Indonesia U-23 Vs Uzbekistan Bersama BIN

Badan Intelijen Negara Republik Indonesia (BIN RI) menggelar nonton bareng (nobar) semifinal Piala Asia U 23 antara Timnas Indonesia vs Timnas Uzbekistan.

img_title
VIVA.co.id
30 April 2024