Cerita Pilu ABK Indonesia di Tengah Laut

Perahu Nelayan Berharga Satu Milliar
Sumber :
  • ANTARA/Seno. S
VIVA.co.id
Asuransi Nelayan Tidak Berlaku untuk Anak Buah Kapal
- Puluhan penumpang terlihat tiba di
common use lounge
Kapal Malaysia Dibajak, Tiga ABK WNI Dilepas
terminal 2D, Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten pada Senin malam sekitar pukul 21.00 WIB. Mereka terlihat lelah usai melakukan perjalanan beberapa jam dari Yangoon, Myanmar menuju ke Jakarta.

Hingga Malam, SAR Pontianak Cari Satu ABK Hilang
Puluhan penumpang merupakankarena melakukan penangkapan ikan secara ilegal dan menerobos wilayah perairan negeri junta militer itu. Kendati tak memahami tuduhan tersebut, namun, pengadilan di sana tetap menjatuhkan hukuman bui antara 7 tahun hingga 9 tahun. 

Begitu tiba, mereka langsung disambut oleh Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia dari Kementerian Luar Negeri RI, Lalu Muhammad Iqbal. Melihat Iqbal, satu per satu ABK menciumi tangan Iqbal. Mereka masih tak menyangka bisa lolos dari hukuman bui yang cukup lama tersebut.

" yang mendalam atas keseriusan pemerintah dalam mengupayakan kebebasan mereka," tulis Iqbal dalam pesan pendek kepada VIVA.co.id pada Selasa dini hari.

Tak heran mereka begitu terharu, sebab untuk bisa mendorong Pemerintah Myanmar memberi pengampunan bukan hal mudah. Iqbal menjelaskan dibutuhkan diplomasi tingkat tinggi hingga Menteri Luar Negeri, Retno Marsudi yang turun tangan untuk berbicara dengan Menlu Wunna Maung Lwin di Nay Pyi Taw pada akhir Mei kemarin.

Retno pun terus mendorong agar mereka dibebaskan, sebab terdapat indikasi ke-55 ABK itu menjadi korban perdagangan manusia selama bekerja di atas kapal. Total, terdapat lima kapal. Sebanyak empat di antaranya berbendera Indonesia dan satu kapal menggunakan bendera Taiwan.

"Kapal berbendera Taiwan, Yi Hong 66 mempekerjakan 9 ABK. Sementara empat kapal Indonesia yakni Sri Fu Fa No. 7 dan KM Rejeki, masing-masing mempekerjakan 11 orang, dan Citra Nusantara-VI mempekerjakan 13 orang ABK. Mereka ditangkap ketika kelima kapal tengah dalam perjalanan menuju ke Phuket, Thailand," papar Iqbal.


Iqbal juga yang mendatangi ke-55 ABK tersebut ketika masih dibui di Penjara Insein. Dia meminta keterangan mengenai cara bekerja di atas kapal. Hasilnya, ke-55 ABK itu memang menjadi korban perdagangan manusia.

Sebagian besar ABK pun mengaku tak tahu menahu mengapa mereka ditangkap. Salah satunya, Daniel Nelius yang bekerja di kapal Citra Nusantara-VI. Daniel menyebut awal mula terjun menjadi ABK karena ajakan teman. 

"Untuk mencari rejeki yang lebih baik. Saya enggak tahu apa-apa sih. Kami bukan mau mencuri ikan di Myanmar, tapi kapalnya itu hendak berlabuh di dermaga di Phuket," kata Daniel di Bandara Soekarno-Hatta. 

Serupa dengan Daniel, ABK lainnya, Ruscita juga menyatakan hal serupa. 

"Saya enggak tahu kalau saya cari ikan ilegal atau tidak. Yang penting ya dapat uang saja gitu. Ternyata, kapal saya menangkap ikannya ilegal, ya enggak tahu juga. Setelah ini, mau balik saja," kata Ruscita yang kapok bekerja sebagai ABK di luar negeri.

Lain lagi dengan kisah pilu yang dialami oleh. Ketika bekerja di kapal Taiwan, Hsin Chiang Fisheries, kelima ABK dibiarkan meninggal akibat kelaparan dan dehidrasi.

Menurut data dari Kemlu lima ABK itu diketahui bernama Rasjo asal Tegal, Sardi asal Brebes, Roko Bayu Anggoro dari Gunung Kidul, Ruhiyatna Nopiansyah asal Subang dan Hero Edmong Lusikooy dari Surabaya. Mereka diberangkatkan oleh tiga agen yaitu PT Anugerah Bahari Pasifik, PT Arrion Mitra Bersama, dan PT Puncak Jaya Samudera. 

Menurut informasi dari Kemlu, kelimanya meninggal di waktu berdekatan yaitu 23 April, 25 April, 27 April, 29 April, dan 3 Mei 2015.

Dalam pertemuan dengan KBRI Dakar pada 17 Mei 2015, para ABK Indonesia lainnya mengatakan, kelima rekannya tengah berada di laut untuk mendapat pasokan minuman dan makanan.

Kemlu menyebut, kapten kapal yang memiliki persediaan makanan dan minuman malah cuek dan menyimpan pasokan itu untuk dirinya sendiri. 

Taiwan dan Korea Selatan

Jika ditilik dari dua kasus itu, keduanya terjadi ketika ABK bekerja di kapal berbendera Taiwan. Tak bisa dipungkiri, negara yang memisahkan diri dari Tiongkok itu memang menjadi salah satu ABK asal Indonesia untuk bekerja. 

Bahkan, dari data yang dimiliki oleh otoritas Taiwan, saat ini terdapat sekitar 12 ribu ABK Indonesia yang bekerja di sana. Selain, karena tergiur gaji besar, ABK yang sebagian besar memiliki tingkat pendidikan tinggi itu, juga mengincar untuk bekerja di kapal ikan. 

Tidak hanya Taiwan, tetapi Korea Selatan pun juga menjadi negara favorit bagi para ABK untuk bekerja. Namun, justru di kedua negara itu pula paling banyak menyumbang kasus bagi ABK Indonesia. 

Data dari Kemlu mencatat, di tahun 2014, terdapat 606 kasus ABK. Sebanyak 242 di antaranya berhasil diselesaikan. Namun, masih tersisa 364 kasus. Angka itu kembali bertambah di tahun 2015. Data menyebut terdapat 187 kasus baru yang masuk.

"Sebanyak 71 di antaranya telah selesai. Sementara, 116 kasus masih on going process. Artinya, dalam dua tahun ini, kami masih harus menangani 480 kasus ABK," papar Iqbal. 

Kasus ABK Indonesia di kapal berbendera Korsel yang masih diingat publik yakni . Kapal tersebut tenggelam di Selat Bering, Rusia ketika tengah berlayar. Padahal, di saat bersamaan badai sedang menerpa. Belum lagi suhu udara di permukaan air laut bisa mencapai di bawah minus nol derajat celcius.

Dari 35 ABK Indonesia yang menumpang kapal, baru 16 jasad yang ditemukan. Sebanyak 19 jasad lainnya belum diketahui hingga saat ini.

Pemerintah Korea Selatan melalui Duta Besar Cho Tai-young berjanji untuk melakukan penyelidikan penyebab kapal bisa tenggelam. Sementara, Kemlu mengusahakan supaya keluarga korban menerima hak-hak mereka yang terdiri dari asuransi, uang santunan senilai Rp150 juta dan kompensasi. 

Dana kompensasi diberikan oleh perusahaan pemilik kapal yaitu Sajo Industry dengan nominal bervariasi yakni antara US$5.000 atau Rp63 juta hingga US$15ribu atau Rp190 juta.

Akar Permasalahan

Menurut Iqbal, akar permasalahan dari banyak ABK yang mengalami kasus di kapal berbendera Korsel dan Taiwan, karena lemahnya regulasi. Bahkan, kekurangan faktor tersebut telah dirasakan sejak berada di Indonesia. Apalagi, ketika tiba di Korsel dan Taiwan. 

"Lemahnya regulasi sudah terasa dalam hal kompensasi dan perekrutan," kata Iqbal. 

Iqbal kemudian memberi contoh, beberapa praktik janggal yang kerap terjadi di tengah laut. Pemilik kapal bisa dengan seenaknya memindahkan para ABK ke kapal lain. Sehingga terjadi perbedaan data di dalam manifes. 

"Kalau masalah perekrutan, mereka bisa merekrut bahkan melalui pihak keempat. Jadi, setelah dikirim melalui agen di Indonesia, mereka akan disalurkan ke agen lain di Korsel. Agen di Korsel ini lah yang akan mengirimkan mereka ke perusahaan kapal," papar Iqbal. 

Belum lagi mengenai sistem asuransi. Iqbal menyebut tidak sedikit perlakuan diskriminatif dari pemilik perusahaan. Kerap kali perlindungan asuransi dengan nominal yang lebih baik diberikan ke pekerja lokal. 

Hal serupa juga diakui oleh Wakil Sekretaris Jenderal Kesatuan Pelaut Indonesia (KPI), Sonny Pattiselanno. Dihubungi VIVA.co.id pada Selasa, 9 Juni 2015, sistem perekrutan ABK di Indonesia kerap tak habis pikir.

Banyak calon ABK yang justru tak layak karena tak memiliki kompeten. Selain itu, mereka diberangkatkan agen tanpa dilengkapi dokumen lengkap dan perjanjian kerja yang baik.

"Kalau orang berangkat tanpa ada perjanjian kerja sama maka sama saja bohong. Apalagi jika mereka bekerja tak dilengkapi dengan asuransi dan didukung oleh serikat pekerja. Setelah ada masalah, baru mereka sadar," papar pria yang juga menjabat sebagai Wakil organisasi Federasi Transportasi Internasional (ITF) bidang perikanan di kawasan Asia Pasifik itu. 

Sonny pun mempertanyakan peranan dan pengawasan dari Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenagara Kerja Indonesia (BNP2TKI). Sebab, sering kali Sonny menemukan kasus banyak perjanjian kerja yang justru malah memperbudak ABK, seperti ABK bisa dipulangkan kapan saja bila dianggap tak berkomepeten dan pemotongan gaji seenaknya oleh nahkoda. 

"Ko ya bisa itu terjadi? Bukan kah salah satu tugas mereka untuk memvalidasi dan mengecek isi perjanjian kerja agar bisa memberikan perlindungan maksimal?," tanya Sonny.

Dalam kesempatan itu, Sonny turut menjelaskan kapal ikan yang selama ini dijadikan tempat bekerja oleh ABK bukan jenis kapal yang layak. Melainkan kapal reyot yang sudah tak lagi layak untuk dihuni.

"Sebagian besar ABK yang bekerja di kapal tersebut lantaran mereka tak memiliki pilihan lain. Kebanyakan dari mereka berasal dari kawasan Pantura dengan pendidikan yang rendah. Kalaupun mereka direkrut, karena mereka memiliki pengalaman pernah bekerja dengan kapal ikan tradisional," papar Sonny.

Seharusnya, Sonny menambahkan, agar bisa lebih terlindungi, para ABK tetap mengupgrade kemampuan diri sendiri, sehingga bisa bekerja di kapal jenis lainnya.

Berbenah di Dalam

Sonny mengatakan sebelum mengirimkan ABK untuk bekerja, Pemerintah Indonesia sebaiknya berbebenah di mulai dari diri sendiri. Aksi beres-beres dimulai dari sistem perekrutan.

"Kami juga mendesak agar pemerintah segera meratifikasi konvensi International Labour Organization (ILO) nomor 188 tahun 2007 mengenai pekerjaan dalam penangkapan ikan. Di sana diatur soal perlindungan, perekrutan, aturan bekerja selama di atas kapal, hak-hak yang harus dipenuhi oleh pemilik kapal hingga masalah pengaturan perjanjian," kata Sonny. 

Dengan diratifikasinya itu, maka Indonesia bisa mencegah terjadinya praktik perbudakan terhadap pekerja di sektor perikanan. Kemudian, pemerintah harus menerapkan peraturan nasional yang sudah ada mengenai pengiriman tenaga kerja.

Dia menyebut, jika pemerintah telah memiliki sistem pengiriman ABK yang baik di dalam negeri, maka akan lebih mudah memberi perlindungan. Negara lain pun akan mengikuti aturan yang telah diterapkan.

"Pemilik kapal tidak akan lari jika kita tegas memberlakukan aturan, karena mereka kan butuh kru," tutur Sonny.

Diharapkan dengan adanya tindakan pencegahan dari dalam negeri, bisa mengurangi terjadinya kasus yang dialami oleh ABK ketika tengah bertugas di laut.
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya