Anggota DPR: Banyak Hal yang Perlu Dibahas dari RUU Kesehatan

Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Herman Khaeron
Sumber :
  • DPR RI

VIVA – Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Fraksi Partai Demokrat Herman Khaeron menilai masih banyak poin-poin yang perlu dibahas dari Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan Omnibus Law.

Pengakuan Mengejutkan Johan Budi soal Revisi UU MK Dibahas Diam-diam di Komisi III DPR

Karena itu menurut dia, Partai Demokrat menolak RUU tersebut disetujui dalam pengambilan keputusan Tingkat II atau di dalam Rapat Paripurna DPR.

“Kami bukan menolak RUU kesehatan, karena sejak awal dari badan legislasi, kami sudah menyetujui. Fraksi Demokrat menolak untuk segera mengesahkan dalam pengambilan keputusan tingkat dua atau rapat paripurna DPR, karena masih banyak hal penting yang perlu dibahas kembali,” kata Herman dalam diskusi Forum Legislasi dengan tema “RUU Kesehatan jamin perlindungan kesehatan bayi dan anak di Indonesia?” di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa.

BPJS Kesehatan: Tak Ada Narasi Penghapusan Kelas pada Perpres Nomor 59 Tahun 2024

Dia menilai publik juga membutuhkan penjelasan yang rinci terkait beberapa persoalan dalam RUU kesehatan. Herman mencontohkan terkait liberalisasi sektor kesehatan, investasi bisa masuk hingga peningkatan pendapatan nasional.

"Supaya DPR itu benar mewakili keinginan rakyat, bukan keinginan pemerintah," ujarnya.

Jemaah Haji Kategori Risiko Tinggi dari Kloter 3 Embarkasi Palembang Capai 91,7 Persen

Dia menjelaskan kesehatan merupakan hak asasi manusia, sehingga sebagai hak dasar seharusnya mendapatkan ruang yang lebih terbuka, untuk menerima masukan dari masyarakat, pakar dan para ahli di bidang tersebut.

Herman menilai meskipun RUU Kesehatan sudah diputuskan di tingkat Komisi IX DPR, namun masih bisa dibahas kembali untuk mendapatkan masukan-masukan dari berbagai pihak secara komprehensif.

“Kami memilai revisi UU tersebut menjadi ‘kemunduran’ dari UU nomor 36 tahun 2009 yang merupakan produk pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang membuka ruang demokrasi,” ujarnya.

Herman mencontohkan mandatory spending, yang didalam APBN dipatok 5 persen, bahkan dalam pembahasan ditingkat Panitia Kerja (Panja) diusulkan menjadi 10 persen.

Menurut dia, usulan 10 persen agar dunia kesehatan seperti pendidikan yaitu ada anggaran afirmatif karena masyarakat masih membutuhkan kehadiran negara dalam memenuhi kesehatannya.

“Mandarory spending ini penting untuk memberikan ketetapan alokasi anggaran yang lebih pasti, kalau kemudian diusulkan malah dihapus di dalam omnibus low kesehatan ini maka yang akan terjadi adalah kemunduran-kemunduran,” katanya.

Menurut dia, kalau mandatory spending dihilangkan maka target membangun 1000 puskesmas tidak akan tercapai.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya