Logo ABC

Kisah Warga Indonesia Banting Profesi jadi Sopir Bus di Australia

Charles mengatakan bahwa bekerja apapun di Australia bisa bertahan asalkan kerja penuh waktu.
Charles mengatakan bahwa bekerja apapun di Australia bisa bertahan asalkan kerja penuh waktu.
Sumber :
  • abc

Di awal tahun 2017, laki-laki berusia 49 tahun tersebut masih bekerja di dapur sebuah hotel bintang lima di Melbourne sebelum akhirnya memutuskan untuk melamar sebagai sopir bus di Juni 2017.

"Saya pindah kerja karena ingin mengurangi tekanan. Kerja di dapur tekanannya tinggi. Saya ingin cari pekerjaan baru yang lebih rileks. Kerja jadi sopir bus ini rileks, santai dan tidak begitu banyak beban."

Meski harus menjalani masa adaptasi selama dua bulan saat mulai bekerja, laki-laki yang pindah ke Selandia Baru bersama istrinya di tahun 2000 sebelum akhirnya menetap di Australia itu tidak menyesal meninggalkan pekerjaan lamanya sebagai koki.

"Pertama saja ketika masa pelatihan kita harus hafal jalan selama dua bulan tapi setelah itu tidak ada yang dipikirkan lagi saat bekerja," kata Charles yang kini sudah memegang 30 rute perjalanan dan 20 rute antar jemput sekolah itu.

"Kalau koki pulang harus memikirkan apa yang harus dipersiapkan besok. Kalau jadi sopir bus tidak. Selesai kerja tidak ada lagi yang dipikirkan."

Ia pun tidak menyesalkan pendapatan yang bisa mencapai $AUD 100,000 (Rp 955 juta rupiah) per tahunnya sebagai sopir bus.

Charles mengatakan besarnya angka pendapatan itu pada umumnya adalah pendapatan sopir bus yang suka mengambil waktu lembur untuk mendapatkan penghasilan lebih seperti dirinya sendiri.
"Gaji per jam (rate) [menjadi sopir bus] lebih bagus dibandingkan kerja di dapur. Kalau ditawari bekerja melebihi waktu, rate nya jadi dua kali lipat."

Tantangan di jalan

Walau memberikan pendapatan sebesar $AUD 80 ribu (Rp 764 juta) per tahunnya, pekerjaan ini memberikan tantangan tersendiri bagi Rita Gunawan ibu yang memiliki dua orang anak tersebut.