Krisis-krisis Suara Kritis dalam Berpendapat

Ilustrasi orang berpendapat.
Sumber :
  • U-Report

VIVA – Sistem demokrasi memberikan ruang kepada kebebasan untuk menyatakan pendapat, termasuk di dalamnya kritik. Penguasa, sebagaimana dikatakan oleh Lord Acton, dianggap memiliki kecenderungan untuk menyelewengkan kekuasaan. Oleh karena itu, kritik harus dianggap sebagai sesuatu yang biasa.

Hormati Putusan MK, Ganjarist: Pertarungan Pilpres Sudah Selesai Namun Perjuangan Kami Belum

Bahkan seharusnya, agar kekuasaan bisa terus dikontrol dalam koridornya, bukan untuk keuntungan pihak-pihak tertentu, apalagi merugikan kepentingan banyak orang. Selain itu, setiap kebijakan politik bisa dilihat dari sudut pandang yang berbeda-beda.

Dengan adanya ruang kritik, kebijakan politik akan terus mengalami perbaikan, sampai dibuat dengan menggunakan sudut pandang yang menyeluruh, utuh dan bulat. Kata bulat itu menunjukkan, bahwa sebuah kebijakan politik telah dilihat dari keseluruhan sudut sebuah lingkaran yang berbentuk bulat, yang berjumlah 360 derajat.

Kepala Diinjak di Aspal Berulang Kali, Mahasiswa Universitas Terbuka Jambi Kritis di Rumah Sakit

Dengan kata lain, jika ada celah satu sudut pandang saja yang tidak digunakan dalam membangun sebuah kebijakan politik, maka dalam sistem demokrasi mestinya ada kritik yang muncul untuk memperbaikinya.

Kritik boleh dilakukan oleh siapa pun yang memiliki pandangan yang berbeda. Tentu saja harus dibedakan dengan baik antara kritik dengan penghinaan. Di dalam banyak bahasa, keduanya jelas-jelas berbeda. Pandangan tentang perbedaan itu penting agar suara-suara kritis tidak dianggap sebagai penghinaan.

Kodam Iskandar Muda Minta Maaf Soal Oknum TNI Aniaya 2 Warga di Banda Aceh

Dengan selalu adanya ruang terbuka untuk mengkritik itulah sesungguhnya demokrasi bisa hidup dan berkembang. Tanpa suara kritis, demokrasi sesungguhnya telah mati.

Dalam era pemerintahan Jokowi-JK, suara kritis itu mengalami degradasi secara drastis. Padahal, setelah reformasi, suara-suara kritis selalu muncul, baik dari lembaga legislatif, kampus, LSM, dan juga pers yang sering dijuluki sebagai pilar kelima demokrasi. Namun, di dalam era pemerintahan Jokowi-JK suara-suara kritis dari lembaga-lembaga tersebut, tak lama berselang, justru menghilang.

Lembaga-lembaga itu justru berbalik mendukung pemerintah untuk urusan-urusan yang bahkan dalam rezim sebelumnya ditolak dan ditentang habis-habisan. Di antara contoh kasus yang paling menonjol adalah pencabutan subsidi BBM dan penambahan utang. (Penulis Dr. Mohammad Nasih, Dosen Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ Jakarta)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.