Manusia Lebih Keji dari Binatang?

Gambar diambil dari https://ruelfpepa.wordpress.com/2019/06/05/on-envy/
Sumber :
  • vstory

VIVA – Moral of the story is…, the lessons to learn are…, pesan moral dari cerita itu adalah bla bla bla…

Amicus Curiae Cuma Terakhir untuk Bentuk Opini dan Pengaruhi Hakim MK, Menurut Pengamat

Klise, emang. Ujungnya adalah nasihat, bukan?

Namun demikian. Apalah arti anugerah-Nya mengenai akal dan hati yang kita terima kalau untuk setiap episode kehidupan kita tidak dapat menjadi bahan pelajaran: berpikir, perenungan, dan seterusnya.

Idrus Marham: Fakta atau Omon-Omon?

Bukankan akal dan hati yang membedakan manusia dengan binatang? Lho kok pakai hati? Bukannya cukup akal saja? Sebagaimana Al-Ghazali menyebut manusia sebagai hayawanu nathiq, binatang yang berpikir? Atau Descartes yang berujar, aku berpikir maka aku ada, atau Aristoteles yang memandang manusia sebagai makhluk intelek dengan mengedepankan logos atau logikanya.

Ahh, biarpun.

Pembelajaran Berdiferensiasi dan Upaya Menumbuhkan Potensi Peserta Didik

Semoga ini juga adalah pesan moral yang saya dapat dari Alquran, ketika afidah dan qalbu saling bergantian diterjemahkan ke dalam kata yang sama dengan kapasitasnya berpikir.

Kenapa juga Alquran tidak langsung menggunakan kata akal ketika dua modal dasar: pendengaran (sama’un), penglihatan (bashiran) selalu bergandengan dengan pemikiran (kadang diwakili kata afidah kadang dengan qalbu).

Toh, orang waras akan sama-sama paham bahwa maksud qalbu yang sering diterjemahkan hati bukanlah hati yang kita kenal sebagai liver atau hepar yang berfungsi untuk mengemulsikan lemak.

Qalbu dan Af’idah yang digunakan dalam terminologi Aquran adalah mempunyai kapasitas untuk berpikir laksana akal, mempertimbangkan, dan merenungkan.

Ketika manusia dibandingkan dengan hewan seperti yang diujarkan Al-Ghazali, seorang ahli sufi yang dulu-nya adalah filosof, bukanlah yang pertama. Toh, Alquran telah lebih dulu membandingkan manusia dengan hewan.

“Kal an’am, bal hum adhol”, begitu firman-Nya, bahkan lebih sesat daripada binatang, ketika hati, telinga dan mata manusia tidak digunakan untuk  merenungkan/memikirkan/mempertimbangkan, mendengar dan melihat tanda-tanda kekuasaan-Nya.

Inspirasi dari Quran ini juga, may be, ketika Iwan Fals mendendangkan satu lagunya dengan potongan lirik: “Ada manusia seperti binatang, bahkan lebih keji dari binatang”.

Kembali ke pesan moral.

Satu tontonan, short film (+20 menit), beridentitas Oscar Winning, menyajikan cerita yang mengagetkan. Mengagetkan untuk ending yang berpesan moral lama, namun dengan kemasan baru.

Film pendek yang bertajuk “neighbors window” ini menyuguhkan cerita tentang kecemburuan pasangan “tua” dengan tiga anak, suatu waktu, melalui jendela apartemennya, menyaksikan adegan making love tetangganya yang kebetulan jendelanya tidak tertutup gorden.

Adegan panas, full desire, benar-benar telah mengusik kecemburuan pada pasangan “tua” ini, khususnya bagi sang istri yang merasa bosan dengan keseharian mengurus anak juga dengan kebiasaan suaminya.

Dari tontonan pertama yang disaksikan bersama suaminya, akhirnya membuat penasaran dan menjadi momen yang ditunggu sang istri, bahkan terkesan seperti kecanduan untuk terus menunggu lalu mengintip jendela tetangganya dari jendela miliknya.

Sampai satu ketika, “pemeran” laki-laki adegan dewasa di seberang sana, ketahuan menjadi botak, beberapa hari kemudian kedapatan terbaring sakit, dan pada akhirnya, masih melalui jendela tetangga, pada hari-hari berikutnya, sang istri “tua” ini menyaksikan laki-laki dari pasangan muda di sana dibawa oleh petugas medis.

Sang istri “malang” ini penasaran, kemudian menyusul turun, menyaksikan tetangganya dibawa masuk ke ambulance, sementara sang istri dari pasangan muda ini hanya bisa menangis mengiringi kepergian suami bersama petugas medis.

Mencoba berempati, Sang istri tua menghampiri istri pasangan muda tersebut, terjadilah dialog dalam kesedihan. Tetangganya itu kemudian menebak sosok sang istri “tua” bahwa ia adalah tetangganya yang besebrangan jendela.

Mengalirlah cerita dari sang istri yang lagi bersedih ditinggal suaminya itu, menuturkan betapa dia dan suaminya begitu cemburu dengan “kebahagiaan” pasangan tua yang sering dilihat bersama suaminya, yang kini sudah pergi, dari jendela apartemen-nya. Menyaksikan “kebahagiaan” pasangan “tua” bersama ke-3 anak-anaknya.

Berakhirlah film, dan saya pun melakukan aksi scroll down untuk melihat komentar para pemerhati  film sebelumnya, maka: Moral of the story is…, the lessons to learn are…, pesan moral dari cerita itu adalah bla bla bla…

Ya, kiranya pepatah: rumput tetangga selalu nampak hijau, sudah sering kita dengar.

Namun, apakah pepatah itu sudah kita renungkan dalam setiap episode kehidupan kita? Sehingga kita senantiasa bersyukur atas setiap episode itu berserta pencapaiannya? Atau bisa jadi kita selalu kecewa, ‘ngedumel”, atau senantiasa berkeluh kesah?

Benarlah Firman Tuhan, dan pasti benar adanya, bahwa ketika kita mempunyai pendengaran, penglihatan dan pertimbangan, namun tidak pernah kita gunakan untuk mendengar, membaca dan merenungkan tanda-tanda kekuasaan-Nya, termasuk atas segala anugerah-Nya kita tak mensyukurinya, layaklah kita disebut-Nya: “kal an’am, bal hum adhol”.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.