Relevansi The Freudian dengan Perilaku Konsumen di Era Digital

Fear Of Missing Out
Sumber :
  • vstory

VIVA – Perilaku konsumen, studi tentang bagaimana individu membuat keputusan untuk menghabiskan sumber daya yang tersedia pada barang-barang terkait konsumsi, telah mengalami evolusi signifikan di era saat ini. Model perilaku konsumen tradisional, yang terutama berfokus pada pengambilan keputusan rasional berdasarkan maksimalisasi utilitas, telah diubah oleh sejumlah faktor, termasuk kemajuan teknologi, pergeseran nilai-nilai sosial, dan munculnya pola konsumsi baru. Kita akan menyelami dinamika perilaku konsumen dalam lanskap kontemporer, mengeksplorasi konsep membeli, memiliki, dan menjadi, serta korelasinya dengan kebenaran dan fenomena zaman kita.

SPKLU Sudah Banyak, Naik Wuling BinguoEV Bisa dari Jakarta ke Mandalika

Membeli, fase awal perilaku konsumen, mencakup proses memilih dan membeli produk atau layanan. Di era digital saat ini, perjalanan membeli telah diubah oleh adopsi luas platform e-commerce, aplikasi belanja mobile, dan influencer media sosial. Hanya dengan beberapa klik atau sentuhan, konsumen dapat menjelajahi berbagai pilihan, membandingkan harga, membaca ulasan, dan melakukan pembelian dari kenyamanan rumah atau saat bepergian. Kemudahan dan aksesibilitas yang ditawarkan oleh belanja online telah merevolusi cara orang membeli, berkontribusi pada meningkatnya pembelian impuls, layanan langganan, dan rekomendasi yang dipersonalisasi oleh algoritma.

Namun, bersamaan dengan kemudahan belanja online, kekhawatiran tentang privasi data, pelanggaran keamanan, dan penyebaran barang palsu telah muncul sebagai pertimbangan penting bagi konsumen. Kebenaran dari masalah ini adalah bahwa meskipun teknologi digital telah menyederhanakan proses pembelian, mereka juga memperkenalkan tantangan dan risiko baru yang harus diatasi konsumen dalam dunia yang terkoneksi saat ini. Dari pencurian identitas hingga taktik pemasaran yang menyesatkan, konsumen semakin waspada untuk melindungi informasi pribadi mereka dan membuat keputusan yang terinformasi tentang merek yang mereka pilih untuk didukung.

Ini Momen Eko dan Akri Jenguk Parto Patrio di Rumah Sakit

Memiliki, fase kedua dari perilaku konsumen, berkaitan dengan kepemilikan dan kepemilikan produk atau layanan yang diperoleh melalui proses pembelian. Di era kelimpahan material dan konsumsi mencolok, individu sering mengaitkan kepemilikan mereka dengan status, identitas, dan validasi sosial. Dari barang mewah hingga gadget terbaru, keinginan untuk memperoleh dan memamerkan barang yang diinginkan telah memicu budaya konsumerisme yang meresap dalam masyarakat secara luas.

Namun, di tengah kejaran kepemilikan, gerakan kontra yang menganjurkan minimalisme, keberlanjutan, dan konsumsi sadar telah mendapatkan momentum dalam beberapa tahun terakhir. Fenomena penyederhanaan, yang dipopulerkan oleh Marie Kondo dan gerakan gaya hidup minimalis, menegaskan pergeseran menuju memprioritaskan pengalaman daripada kepemilikan material dan merangkul pendekatan konsumsi yang lebih sadar. Saat orang mengevaluasi kembali prioritas dan nilai-nilai mereka, mereka semakin mencari produk dan merek yang sejalan dengan keyakinan etis, lingkungan, dan sosial mereka.

Gadis ABG Tewas Dicekoki Narkoba di Hotel Jaksel, Polisi Temukan Senpi dan Alat Bantu Seks

Kebenaran yang mendasari aspek memiliki perilaku konsumen terletak pada kesadaran bahwa kepemilikan saja tidak selalu mengarah pada kebahagiaan atau pemenuhan yang berkelanjutan. Penelitian telah menunjukkan bahwa kejaran kekayaan material dan kepemilikan sering menghasilkan pengembalian yang semakin berkurang terhadap kebahagiaan, karena individu menyesuaikan diri dengan akuisisi baru mereka dan mencari bahkan lebih banyak dalam siklus konsumsi yang tak berujung. Selain itu, implikasi lingkungan dan sosial dari konsumerisme yang tidak terkendali, seperti penipisan sumber daya, polusi, dan ketidaksetaraan sosial, menyoroti perlunya praktik konsumsi yang lebih berkelanjutan dan bertanggung jawab.

Menjadi atau bentuk identitas personal dalam kehidupan sosial, fase terakhir dari perilaku konsumen, melampaui sekadar kepemilikan produk dan mencakup makna simbolis, identitas sosial, dan fungsi ekspresi diri yang terkait dengan konsumsi. Di era branding personal dan presentasi diri digital, individu merancang gaya hidup, selera, dan preferensi mereka melalui produk yang mereka beli dan merek yang mereka dukung. Dari gaya hidup yang diidamkan di media sosial hingga afiliasi subkultural yang diekspresikan melalui minat niche, konsumsi berfungsi sebagai alat untuk mendefinisikan diri dan merasa tergabung dalam masyarakat yang semakin terfragmentasi dan beragam.

Namun, pencarian identitas diri dan kepemilikan sosial melalui konsumsi tidaklah tanpa kekurangan. Fenomena "tribalisme merek," di mana individu membentuk ikatan emosional yang kuat dengan merek atau produk tertentu, dapat mengarah pada polarisasi, elitisme, dan perilaku eksklusif dalam komunitas konsumen. Selain itu, kejaran tanpa henti akan citra diri yang diidealkan yang dipertahankan oleh iklan dan media dapat memicu perasaan ketidakcukupan, perbandingan, dan ketidakamanan di antara konsumen, memperkuat siklus konsumsi yang didorong oleh validasi eksternal daripada kepuasan intrinsik.

Sebagai kesimpulan, perilaku konsumen di era saat ini ditandai oleh interaksi membeli, memiliki, dan menjadi, saat individu menavigasi kompleksitas pasar modern dan berusaha memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka. Dari kenyamanan belanja online hingga pengejaran pengalaman yang bermakna, dari daya tarik kepemilikan material hingga pencarian ekspresi diri dan identitas, perilaku konsumen mencerminkan berbagai motivasi, nilai, dan aspirasi.

The Freudian dan Fenomena Perilaku Konsumen di Era Digital.

Dalam era digital saat ini, perilaku konsumen telah mengalami transformasi yang signifikan, yang dipengaruhi oleh kemajuan teknologi dan perubahan dalam pola interaksi manusia. Konsep Freud tentang id, ego, dan superego dapat memberikan wawasan yang berguna tentang bagaimana dinamika ini beroperasi dalam konteks konsumsi di era digital.

1. Id: Id, menurut Freud, adalah bagian dari kepribadian yang beroperasi di bawah kesadaran dan didorong oleh naluri-naluri dasar serta keinginan untuk memperoleh kepuasan segera. Dalam era digital, id dapat tercermin dalam perilaku konsumen yang impulsif, di mana individu tergoda untuk membeli produk atau layanan dengan cepat tanpa mempertimbangkan konsekuensi jangka panjangnya. Misalnya, pembelian impulsif melalui aplikasi belanja online atau platform media sosial dapat menjadi contoh bagaimana id mempengaruhi perilaku konsumen dalam mencari pemenuhan kebutuhan dan keinginan dengan segera. Dalam bentuk sederhana, Id adalah pemenuhan kepuasan yang cukup kuat tanpa berpikir panjang dalam pengambilan keputusan. Dalam fenomena di era digital, hal ini sangat mungkin sering dilakukan oleh khalayak secara personal karena ada keinginan untuk “memberi makan” bagian bawah kesadaran. Pun hal ini di dukung oleh kemajuan teknologi yang serba mudah dan taktis. Fenomena daring dalam hal berniaga mampu mengubah perilaku konsumen menjadi lebih gampang untuk membeli produk dalam proses live streaming di platform digital. Hanya dengan menonton penjual memasarkan produk tanpa mengetahui kualitas dan kegunaannya secara utuh, khalayak bisa langsung membeli dengan mudahnya.

2. Ego: Ego bertindak sebagai mediator antara id dan realitas eksternal, mencoba untuk menyeimbangkan kebutuhan-kebutuhan naluriah dengan keterbatasan ekonomi dan pertimbangan lainnya. Dalam era digital, ego dapat tercermin dalam perilaku konsumen yang lebih terencana dan rasional. Misalnya, individu mungkin menggunakan berbagai alat dan fitur digital untuk membandingkan harga, membaca ulasan, dan mempertimbangkan berbagai pilihan sebelum melakukan pembelian. Ego juga dapat memainkan peran dalam menahan diri dari pembelian impulsif dengan mengevaluasi konsekuensi jangka panjang dari tindakan tersebut.

3. Superego: Superego mewakili internalisasi aturan-aturan sosial dan moral, yang memengaruhi pilihan dan perilaku individu. Dalam konteks konsumsi di era digital, superego dapat mempengaruhi preferensi dan nilai-nilai yang dibawa individu ke dalam pengalaman belanja online. Misalnya, individu yang memiliki nilai-nilai lingkungan yang tinggi mungkin cenderung memilih untuk berbelanja dari merek atau platform yang memiliki kebijakan yang ramah lingkungan, sedangkan individu yang sangat peduli dengan etika produksi mungkin memilih untuk menghindari merek yang terlibat dalam praktik kerja yang meragukan. 

Dengan demikian, konsep-konsep Freud tentang id, ego, dan superego dapat membantu kita memahami bagaimana dinamika psikologis yang mendasari perilaku konsumen beroperasi dalam era digital. Dalam konteks ini, id dapat mendorong konsumsi impulsif dan pengambilan keputusan yang didorong oleh kebutuhan segera, sementara ego berusaha untuk menyeimbangkan keinginan tersebut dengan keterbatasan ekonomi dan pertimbangan rasional. Superego, di sisi lain, memainkan peran dalam membentuk preferensi dan nilai-nilai individu yang memengaruhi pilihan konsumsi mereka di lingkungan digital.

Konsep lain yang relevan adalah konsep pertahanan diri, yang mencakup berbagai mekanisme yang digunakan individu untuk mengatasi konflik internal dan tekanan psikologis. Misalnya, konsumsi berlebihan atau pembelian impulsif dapat menjadi bentuk mekanisme pertahanan, seperti proyeksi atau pembelokan, di mana individu mencoba untuk mengatasi kecemasan atau ketidaknyamanan psikologis dengan cara yang mungkin tidak sehat atau tidak produktif. Dalam hal ini, perilaku konsumen dapat menjadi cerminan dari konflik-konflik internal yang mendasari kebutuhan emosional atau psikologis yang tidak terpenuhi.

Selain itu, konsep Freud tentang tahap perkembangan psikoseksual juga dapat memberikan wawasan tentang pengaruh pengalaman masa kecil terhadap perilaku konsumen di kemudian hari. Misalnya, pengalaman traumatis atau kurangnya pemenuhan dalam tahap-tahap awal perkembangan dapat memengaruhi pola perilaku konsumen seseorang, seperti kecenderungan untuk mencari pemenuhan dalam barang-barang materi atau gaya hidup yang konsumtif sebagai pengganti kebutuhan psikologis yang tidak terpenuhi.

Dengan demikian, meskipun Freud tidak secara langsung memusatkan perhatiannya pada konsumsi, konsep-konsep psikoanalisisnya dapat memberikan wawasan yang berguna tentang motivasi dan dinamika yang mendasari perilaku konsumen. Dalam hal ini, karya Freud dapat membantu kita memahami lebih baik mengapa orang memilih untuk membeli atau mengkonsumsi barang-barang tertentu, serta bagaimana konsumsi tersebut dapat berfungsi sebagai cara untuk memenuhi kebutuhan psikologis, emosional, dan sosial.

FOMO dalam Kacamata The Freudian

Dalam konteks FOMO, id mungkin mendorong individu untuk merespons impulsif terhadap setiap kesempatan yang muncul, terutama jika terlihat menarik atau populer di media sosial. Ini dapat tercermin dalam pembelian impulsif atau partisipasi berlebihan dalam kegiatan sosial demi mengurangi kecemasan akan ketinggalan.

Ego, sebagai mediator antara id dan realitas eksternal, bertindak untuk menyeimbangkan dorongan-dorongan impulsif dari id dengan keterbatasan ekonomi, realitas sosial, dan pertimbangan lainnya. Namun, dalam kasus FOMO, ego mungkin terjebak dalam upaya untuk memenuhi keinginan impulsif dari id dan memperoleh validasi sosial, bahkan jika itu melibatkan pengorbanan jangka panjang atau bertentangan dengan nilai-nilai personal. Ego dapat mengalami kesulitan dalam menahan dorongan untuk berpartisipasi dalam konsumsi yang dipicu oleh FOMO, terutama jika dorongan tersebut terkait dengan keinginan untuk memperoleh pengakuan dan persetujuan dari orang lain.

Superego, sebagai representasi internal dari aturan-aturan moral dan nilai-nilai sosial, mungkin mengakibatkan konflik internal bagi individu yang mengalami FOMO. Pada satu sisi, superego dapat menegur individu atas perilaku konsumtif atau penggunaan media sosial yang berlebihan sebagai tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai moral atau ideal diri. Namun, pada sisi lain, superego juga dapat mempertimbangkan tekanan sosial untuk terlibat dalam konsumsi yang ditunjukkan oleh orang lain sebagai standar untuk diterima dalam komunitas atau lingkungan sosial tertentu.

Dengan demikian, ketika kita menerapkan konsep Freud tentang id, ego, dan superego terhadap fenomena perilaku konsumen FOMO di era digital, kita dapat melihat bagaimana interaksi kompleks antara bagian-bagian kepribadian ini memengaruhi respons individu terhadap tekanan sosial dan pengaruh eksternal dalam upaya untuk mengatasi kecemasan akan ketinggalan atau rasa tidak aman. Dalam hal ini, pemahaman tentang konsep-konsep Freud dapat membantu kita menggali lebih dalam mekanisme psikologis yang mendasari perilaku konsumen dan bagaimana mereka dipengaruhi oleh dinamika sosial dan teknologi di era digital.

Karya Sigmund Freud, khususnya teorinya tentang Id, Ego, dan Superego, memiliki beberapa implikasi penting bagi pemahaman kita tentang perilaku konsumen. Berikut beberapa contohnya:

Motivasi: Freud mengemukakan bahwa konsumen didorong oleh berbagai faktor, termasuk kebutuhan dan keinginan bawah sadar (Id), kebutuhan untuk keseimbangan dan realisme (Ego), dan nilai-nilai moral dan sosial (Superego). Pemahaman tentang faktor-faktor ini dapat membantu pemasar untuk mengembangkan pesan dan strategi yang lebih efektif untuk menjangkau target konsumen mereka.

Pengambilan Keputusan: Freud berpendapat bahwa keputusan konsumen tidak selalu rasional dan dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor emosional dan bawah sadar. Pemasar dapat memanfaatkan pengetahuan ini untuk menciptakan pengalaman berbelanja yang lebih menarik dan mendorong pembelian impulsif.

Pencitraan Merek: Merek dapat diposisikan dan dikomunikasikan dengan cara yang menarik bagi berbagai aspek kepribadian konsumen. Misalnya, merek yang ingin menonjolkan kemewahan dan prestise dapat menarik bagi Superego konsumen, sedangkan merek yang ingin menonjolkan kesenangan dan pemberontakan dapat menarik bagi Id konsumen.

Psikologi Konsumen: Freud memberikan dasar bagi pengembangan teori-teori psikologi konsumen modern, yang membantu kita untuk memahami bagaimana faktor-faktor psikologis seperti persepsi, kepribadian, dan nilai-nilai mempengaruhi perilaku konsumen. 

Beberapa contoh aplikasi karya Freud dalam pemasaran:

Iklan: Iklan dapat dirancang untuk menarik bagi berbagai aspek kepribadian konsumen. Misalnya, iklan untuk mobil sport mungkin menekankan sensasi dan kegembiraan (Id), sedangkan iklan untuk mobil keluarga mungkin menekankan keamanan dan keandalan (Ego).

Pengemasan: Desain dan kemasan produk dapat digunakan untuk menarik perhatian konsumen dan memicu respons emosional. Misalnya, kemasan yang berwarna cerah dan menarik mungkin menarik bagi Id konsumen, sedangkan kemasan yang sederhana dan elegan mungkin menarik bagi Superego konsumen.

Penjualan: Penjual dapat menggunakan teknik penjualan yang dirancang untuk membangun rapport dengan konsumen dan memahami kebutuhan dan keinginan mereka. Misalnya, penjual yang mendengarkan dengan cermat dan mengajukan pertanyaan terbuka dapat membantu konsumen untuk merasa dipahami dan dihargai.

Penting untuk dicatat bahwa karya Freud telah dikritik karena terlalu berfokus pada faktor-faktor bawah sadar dan mengabaikan faktor-faktor rasional dalam pengambilan keputusan konsumen. Namun, teorinya tetap menjadi alat yang berharga untuk memahami motivasi dan perilaku konsumen. Pemahaman yang komprehensif tentang berbagai teori psikologi konsumen dapat membantu pemasar untuk mengembangkan strategi pemasaran yang lebih efektif dan menjangkau target konsumen mereka dengan lebih baik.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.