Sebuah Memori tentang Guru yang Penuh Cinta

"Tak tergantikan"
Sumber :
  • vstory

VIVA – Dalam lirik lagu karya Sartono, disebutkan bahwa guru adalah Patriot Pahlawan Bangsa, katanya. Ia adalah sosok yang patut dihormati layaknya orangtua kita. Mungkin, bagi sebagian orang menjadi guru merupakan sebuah profesi yang mulia, sehingga banyak yang berlomba-lomba untuk menduduki posisinya. 

Gandeng Sejumlah Kampus di Indonesia, Maxnovel Tumbuhkan Minat Baca Melalui Karya Fiksi

Padahal sebenarnya, menjadi guru bukanlah perihal asal bisa setelah mempunyai gelar saja, melainkan tentang sebuah prinsip yang keberadaannya harus dibarengi dengan kesiapan mental dan jiwa.

Sejak kecil saya tidak pernah bercita-cita ingin menjadi guru. Dalam benak saya, semua hal yang menyangkut seorang guru adalah sesuatu yang sangat membelenggu. Entah karena pasion  saya memang bukan dalam hal pendidikan, atau karena kurangnya tempaan lingkungan yang dapat membuka jalan pikiran. Yang  jelas, pemikiran tersebut mempengaruhi gerak langkah saya termasuk dalam pemilihan studi lanjutan.

Mengenal Nostradamus, Sosok yang Ramal Kemunculan Hitler, Bom Hiroshima Hingga Bencana 2024

Namun, terjadi sesuatu yang berbeda setelah saya bertemu dengan sosok guru istimewa di sebuah kota, Dr. Mohammad Nasih namanya. Dalam catatan saya, 2014 merupakan angka tahun awal kami berjumpa. Di sebuah lembaga nirlaba dengan pendidikan intensif khusus para kaula muda, kini terukir dalam lembar sejarah yang sangat istimewa dalam buku harian saya.

Abah Nasih (AbaaNa), begitu kami memanggilnya, merupakan sosok guru yang bukan sekadar pengajar, melainkan seorang pendidik muslim yang intelektual nan profesional. Ia tak hanya mengajari para muridnya perihal kajian, namun juga tentang keteladanan dalam menempuh jalan kehidupan.

Sastrawan dan Sosiolog Ignas Kleden Meninggal Dunia

Tak hanya bertujuan mengisi daya intelektual, melainkan juga memberi contoh tentang berbagai hal; kekuatan moral, integritas kepemimpinan, idealisme yang penuh prinsip kemerdekaan, kecerdasan berpolitik sesuai kaidah Islam, hingga pada wawasan perjodohan. Semua beliau ajarkan, dengan nuansa perkaderan membentuk sebuah peradaban.

Dalam prinsipnya, salah satu hal yang seringkali Abah Nasih sampaikan adalah; bahwa menjadi seorang pendidik atau pengkader harus memenuhi setidaknya dua hal: tidak meminta bayaran, dan dapat menjadi petunjuk (QS. Yaasiin: 21). Itulah mengapa, Abah selalu memberi keteladanan kepada kami perihal kemandirian. Dari segi intelektual, maupun finansial.

Setelah beberapa tahun bersama, hingga kini tak ada alasan bagi saya untuk selalu bersyukur telah mengenalnya, bahkan menjadi bagian yang ‘merepotkan’ dalam hidupnya. Terlebih, sejak saya dan teman-teman diberi peran untuk turut serta merintis sebuah program luar biasa, yakni lembaga sekolah bernuansa alam untuk mendidik dan mengkader para remaja.

Ada banyak hal yang saya dapatkan dari sana. Dengan seringkali bercengkerama, kami menjadi semakin paham tentang cita-cita mulia AbaaNa. Kami pun jadi mengerti, tentang kekuatan apa yang telah merasukinya; yang dapat membuatnya begitu tangguh dalam mengeksplor diri  memperjuangkan impiannya. Kekuatan tersebut, tidak lain bernama cinta.

Ya, dalam perjalanan, Abah seringkali mengungkapkan dan menjelaskan bahwa semua hal dapat Abah lakukan adalah berkat cinta. Termasuk senantiasa sabar dalam mendidik kami guna menjadikan kami sebagai SDM unggul yang dapat berkontribusi mencerdaskan umat dan bangsa, adalah karena cinta.

Bahkan, Abah memanggil kami dengan sebutan istimewa; Guru Mulia, yang seringkali Abah ungkapkan rasa cinta kepada kami secara terbuka. Sungguh, merupakan sebuah penghormatan yang tiada tara yang membuat kami terperangkap penuh haru dan suka cita. Katanya, sejatinya Guru harus diperlakukan dengan istimewa.

Cara Abah memperlakukan kami pun memang sangat istimewa. Bagaimana mungkin, ada seorang Kiai yang rela menjadi sopir bagi para muridnya bolak-balik keluar kota, kalau bukan AbaaNa? Bahkan seringkali kami asyik merajut mimpi di belakang, dan membiarkan Abah tetap fokus memandang jalanan. Contoh lain, bahkan sekadar botol minum kami pun Abah perhatikan, hingga ia membelikan sendiri untuk kami gunakan.

Di samping itu, Abah merupakan sosok yang sangat perhatian dan tak pernah menunjukkan kegalauan.  Dalam menjalankan program misalnya, tak jarang kami dihadapkan pada kebutuhan harian yang ternyata membutuhkan dana yang tidak sedikit.

Kami sebagai anak-anaknya, merasa enggan dan pekewuh­ harus laporan kepadanya dengan data kekurangan. Namun sebaliknya, Abah selalu menunjukkan senyum ketegaran dan beberapa saat kemudian menghibur kami dengan bukti lembaran Pahlawan.

Pernah suatu ketika, dalam perjalanan menuju Sekolah Alam, Abah menghentikan laju kendaraan yang sedang kami tumpangi di pinggir jalan. Abah masuk ke ruang ATM, dan setelah kembali ia menunjukkan bukti lembar struk berisi info saldo dan menyuruh saya memfoto untuk ditunjukkan kepada teman-teman.

Sembari berkata, “Coba kamu baca jumlah saldo tersebut. Paham kan, kalau kita istiqamah melakukan suatu kebaikan, maka Tuhan akan senantiasa menolong dengan jalan yang bahkan tak terduga.” Itu salah satu hal yang kemudian saya pahami sebagai hiburan cerdas ala AbaaNa.

Sebenarnya bukan tentang itu saja. Namun, saya menuliskan contoh tersebut adalah untuk menguatkan pandangan bahwa selama ini Abah tak pernah main-main dalam membuat sebuah karya.

Tak peduli seberapa lelahnya, tak peduli berapa banyak biaya yang harus dikeluarkannya, tak peduli apa komentar miring orang-orang terhadapnya, ia tetap istiqamah di jalannya. Tak hanya dengan kata, namun juga dengan keteladanan yang nyata. bahkan saat ada berbagai kritik yang menjatuhkannya, ia hadapi dengan senyuman khasnya.

Selain itu, meski Abah mengajak kami untuk melaksanakan rangkaian programnya, ia tak pernah membelenggu kami dengan sebuah ikatan baku sebagaimana kebanyakan orang diluar sana.

Ia tetap memberi kami kebebasan untuk terus mengeksplor diri sesuai yang kami harapkan. Jika pun diantara kami ada yang sedang mempunyai hajat baik misalnya, Abah tetap merestui dan berkenan mengarahkan. Hingga saya secara pribadi seringkali tak habis fikir bahwa di dunia ini masih ada manusia mulia seperti AbaaNa.

Dan pada akhirnya dari perjalanan selama kurang lebih 6 tahun bersama, kini saya faham bahwa menjadi seorang guru bukanlah pilihan; melainkan sebuah keharusan. Agar kita tak hilang dari peredaran dan senantiasa terjangkau peradaban, maka dengan terus belajar dan mau mengajar adalah sebuah jalan keniscayaan.

Abah sering berkata, di antaranya: “Kalau kalian semangat, maka saya tambah semangat. Kalau kalian tidak semangat, maka lebih baik digantikan dengan yang lain saja”.  Disadari atau tidak, kata-kata yang diucapkan secara berulang tersebut justru menjadi suplayer spirit kami untuk terus melangkah dan berusaha istiqamah.

Abah, ingin saya sampaikan, di usia Abah yang bertambah angka ini, mudah-mudahan Abah belum berpikir jauh untuk mengganti-kan kami dengan yang lain. Izinkan kami untuk terus berusaha menjadi kelompok yang tak tergantikan.

Abah, senyummu adalah energi bagi kami, nasihatmu adalah semangat kami. Semoga Allah senantiasa memberkahi impian Abah dan memudahkan jalan untuk mewujudkannya. Semoga konsep Madinah al-fadilah segera terwujud nyata. Mohon maaf jika kami masih sering membuat kecewa, dan belum bisa menjadi yang terbaik sebagaimana yang Abah cita-citakan. Terimakasih, Abah. (Novi Ariezha, Pengagum Fatwa Cinta AbaaNa)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya
Disclaimer: Artikel ini adalah kiriman dari pengguna VIVA.co.id yang diposting di kanal VStory yang berbasis user generate content (UGC). Semua isi tulisan dan konten di dalamnya sepenuhnya menjadi tanggung jawab penulis atau pengguna.