Perang Dagang AS-China dan Peluang Investasi

Pergerakan IHSG (Foto ilustrasi)
Sumber :
  • VIVAnews/M Ali Wafa

VIVA – Bank Dunia berulang kali memperingatkan dampak perang dagang Amerika Serikat dan China terhadap perlambatan ekonomi global. Lalu, bagaimana dampaknya terhadap perekonomian Indonesia?

RI Coba Manfaatkan RCEP Tarik Investasi ke Pasar Modal

Analisis PT Manulife Aset Manajemen Indonesia, menyebut, jika ekonomi dunia melemah, permintaan komoditas secara global akan berkurang. Indonesia sebagai negara pengekspor komoditas tentu akan terkena dampaknya, dan pada akhirnya perekonomian Indonesia juga ikut melemah. 

"Data aktivitas domestik, -penjualan mobil, semen, properti dan sektor manufaktur- terlihat mengalami perlambatan, walaupun memang penyebab perlambatan tersebut bukan disebabkan faktor eksternal saja, namun ada juga peranan faktor internal," kata Senior Portofolio Manager Equity PT Manulife Aset Manajemen Indonesia, Samuel Kesuma, dalam analisis itu seperti dikutip VIVAnews, Senin 14 Oktober 2019. 

Strategi RI Hadapi Perang Dagang di Tengah Pandemi COVID-19

Menurut dia, langkah pemerintah terus melakukan berbagai upaya pembangunan hard and soft infrastructure sudah tepat. Tujuannya adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan pertumbuhan ekonomi guna meningkatkan daya tarik serta daya saing Indonesia di antara negara kawasan, lewat meningkatnya investasi dan mengurangi ketergantungan akan ekspor komoditas mentah.

Konflik dan negosiasi dagang Amerika Serikat-China yang sudah berlangsung hampir dua tahun, menurut dia, belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Meskipun episode baru eskalasi konflik dagang antara Amerika Serikat dan China terus terjadi, Manulife melihat perubahan dalam dinamika bilateral telah terjadi. 

Airlangga Dorong Indonesia Produksi Vaksin Mandiri

"Dapat dikatakan saat ini pemerintah China berada dalam posisi tawar yang lebih unggul untuk memutuskan arah dan persyaratan perdagangan," tuturnya. 

Samuel menambahkan, kondisi AS saat ini sangat berbeda jika dibandingkan dengan ketika pertama kali pertikaian dagang muncul pada 2018. Saat itu, AS terlihat lebih mendominasi dengan ekonomi yang lebih kuat dan pasar keuangan yang lebih solid. 

Saat ini, dia melanjutkan, perekonomian AS mulai melambat, pasar keuangan melemah, tekanan terhadap Presiden AS Donald Trump juga meningkat mendekati Pemilu 2020 dan ruang penambahan tarif juga lebih terbatas.

Selama ini, Samuel melanjutkan, Presiden Trump terus menyatakan keunggulan dan kekuatan posisi dalam negosiasi konflik dagang, faktanya beberapa sektor ekonomi di AS mengalami tekanan. Di antaranya, ekspor yang turun ke China maupun ke negara lain, kontraksi pada sektor manufaktur, hingga melambatnya penyerapan tenaga kerja. 

"Indikator-indikator di atas cukup vital memengaruhi PDB AS di semester pertama 2020 yang merupakan periode krusial kampanye pemilu," tuturnya. 

Jajak pendapat terakhir mengindikasikan penurunan kepuasan masyarakat terhadap pemerintah terutama di bidang ekonomi, bidang yang selama ini dianggap sebagai keunggulan Presiden Trump. 

Dia mengatakan, data terkini menunjukkan 58 persen masyarakat AS memandang eskalasi konflik dagang dengan China merupakan kebijakan yang buruk bagi AS. Kondisi ini dapat ‘menekan’ pemerintah untuk lebih melunak dalam negosiasi dengan China dan membuka kemungkinan adanya persetujuan sementara.

Rapat FOMC bulan September lalu menghasilkan dua kubu pendapat mengenai arah kebijakan suku bunga. Sebagian pejabat The Fed memandang pemangkasan suku bunga masih perlu dilanjutkan, dan sebagian lagi justru berpendapat untuk tidak lagi memotong suku bunga. 

Terhadap situasi itu, Manulife Investment Management memperkirakan masih ada pemangkasan suku bunga Fed 50 basis poin dalam enam bulan ke depan, dan kemungkinan peluncuran stimulus lebih lanjut. Kebijakan moneter akan digunakan untuk mengimbangi efek negatif resesi manufaktur global, risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi dari kebijakan moneter ketat 2018 dan ‘guncangan’ yang ditimbulkan oleh konflik dagang. 

"Kami memperkirakan bahwa sebagian besar bank sentral global akan mempertahankan suku bunga rendah dan menghindari kenaikan suku bunga setidaknya selama dua tahun ke depan, sebagai usaha untuk mendorong inflasi menuju atau bahkan lebih tinggi dari target yang ditentukan," kata dia. 

Penurunan Suku Bunga
Terkait pengaruhnya terhadap Indonesia, sepanjang 2019, Bank Indonesia sudah menurunkan suku bunga sebanyak tiga kali, total 0,75 persen. Ke depannya, menurut dia, kebijakan moneter masih akan tetap akomodatif. 

"Kebijakan moneter akomodatif ini dapat menjadi ‘bantalan’ bagi ekonomi Indonesia di tengah perlambatan ekonomi global," ujarnya. 

Ruang pemangkasan suku bunga lebih lanjut terlihat dari suku bunga riil Indonesia yang masih kompetitif jika dibandingkan dengan negara kawasan Asia yang memiliki defisit neraca berjalan, seperti India dan Filipina. 

Inflasi, defisit pada neraca berjalan dan prospek pertumbuhan ekonomi akan menjadi faktor pertimbangan penting dalam pemangkasan suku bunga lebih lanjut.

Sementara itu, terkait pasar saham Indonesia yang cenderung bergerak sideways, dia menyebut, pergerakan itu sejalan dengan tren pertumbuhan ekonomi yang relatif lemah. Hal itu tercermin pada kinerja pertumbuhan emiten yang lebih rendah dibandingkan ekspektasi. 

"Ke depannya, kami akan terus memperhatikan momentum kinerja finansial emiten guna memantau tren fundamental dari masing-masing emiten maupun ekonomi secara keseluruhan," ujarnya.

Selain itu, Manulife akan terus memperhatikan arah kebijakan pemerintah, terutama setelah pembentukan kabinet baru, untuk mendapat gambaran yang lebih jelas mengenai prospek di masing-masing industri atau sektor. Sebagai bagian dari ekonomi dunia, kinerja bursa saham domestik tentunya juga akan banyak dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi maupun kestabilan politik global.

Untuk itu, guna menangkap peluang yang ada, berbagai strategi investasi bisa diterapkan dalam pengelolaan portofolio. Bagi Manulife, proses investasi akan tetap fokus untuk mengidentifikasi peluang investasi melalui proyeksi makro ekonomi dan analisis fundamental di masing-masing emiten. 

Risk off sentiment yang menyebabkan terjadinya arus jual oleh investor asing di pasar saham Indonesia selama beberapa bulan terakhir menawarkan peluang investasi di beberapa sektor yang menurut Manulife memiliki prospek fundamental yang cukup baik. 

"Situasi makro saat ini, tren penurunan suku bunga dan inflasi yang terkendali, mendukung pilihan kami akan emiten dengan fundamental solid pada beberapa sektor yang sensitif terhadap perubahan suku bunga," ujar dia.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya