Sumber :
- Courtesy of Gensler
VIVAnews - Dua kota terbesar di China, Beijing dan Shanghai mengeluarkan kebijakan baru untuk membatasi penjualan rumah. Hal tersebut, sebagai upaya untuk mengantisipasi terjadinya gelembung (bubble) pasar properti negara tersebut yang saat ini sedang bangkit.
Pemerintah kota Beijing mengatakan bahwa seseorang yang belum menikah hanya diizinkan untuk membeli hanya satu rumah. Kota ini juga meningkatkan batas minimum uang muka bagi pembeli rumah kedua dan dikenakan pajak keuntungan (capital gain) sebesar 20 persen pada pemilik yang menjual propertinya.
Di Shanghai, pejabat kota tersebut juga mengumumkan penerapan pajak capital gain dan mengambil tindakan lainnya yang bertujuan untuk menstabilkan harga perumahan.
Pengumuman tersebut dirilis Minggu kemarin, setelah Dewan Keamanan Negara (DPR) China menyatakan, pemerintah akan mengambil tindakan tegas untuk memastikan bahwa harga properti tidak terus melambung.
Baca Juga :
Ini 3 Fitur Favorit Pengguna Galaxy AI
Bahkan, banyak analis percaya bubble real estate yang serius bisa merusak ekonomi dan memperburuk ketegangan sosial antara golongan kaya dan miskin.
Baca Juga :
SIM Mati Hari Ini Tidak Perlu Bikin Baru
Menurut survei pemerintah, harga properti China meningkat tajam pada tahun lalu, dengan harga perumahan di kota-kota besar berada di atas rata-rata 3,1 persen pada Februari lalu.
Selian itu, di banyak kota, biaya untuk membeli rumah baru juga diketahui meningkat dua kali lipat selama lima tahun terakhir.
Michael Pettis, yang mengajar jurusan keuangan di Peking University, mengatakan China sedang menghadapi tantangan bahwa banyak negara berkembang lainnya sedang berjuang menjual propertinya, dibanjiri terlalu banyak peredaran uang tunai dan pemberian kredit.
"Meningkatkan suku bunga akan menjadi hal terbesar yang bisa mereka (China) lakukan. Tapi mereka juga perlu untuk menghentikan pertumbuhan kredit dan laju moneter," kata dia seperti dikutip dari laman Nytimes, Senin 1 April 2013. (eh)
Baca Juga :
Halaman Selanjutnya
Michael Pettis, yang mengajar jurusan keuangan di Peking University, mengatakan China sedang menghadapi tantangan bahwa banyak negara berkembang lainnya sedang berjuang menjual propertinya, dibanjiri terlalu banyak peredaran uang tunai dan pemberian kredit.
