Polemik JHT Dinilai karena Pemahaman Perencanaan Keuangan Masih Rendah

Ilustrasi perencanaan keuangan
Sumber :

VIVA – Aturan baru Program Jaminan Hari Tua (JHT) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan menjadi polemik di masyarakat. Sebab, masa waktu pencairannya diperpanjang hingga usia 56 tahun.

Top News: 5 Negara dengan Militer Terkuat, Pangdam XIII/Merdeka Rotasi 3 Pati dan 5 Pamen

Perubahan skema pencairan JHT yang disusun Pemerintah itu ditetapkan melalui Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker) No 2/2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua.

Merespons hal itu, perencana keuangan Safir Senduk mengatakan, dari sisi financial planning, kebijakan itu sudah tepat. Sebab, memberikan manfaat cukup besar bagi pekerja yang memasuki hari tua.

Pagelaran Paritrana Award BPJS Ketenagakerjaan Masuki Tahap Wawancara Nasional

Menurutnya, program jaring pengaman sosial ini bisa menjadi penguat fondasi masyarakat yang tidak lagi memiliki penghasilan ketika memasuki usia pensiun.

"Namanya saja JHT, Jaminan Hari Tua dan memberikan jaminan bahwa hari tua kita aman. Kalau sebelum hari tua sudah bisa kita ambil namanya JHM (Jaminan Hari Muda)," kata dia dikutip dari keterangannya, dikutip Selasa, 15 Februari 2022.

Direktur Keuangan BPJS Ketenagakerjaan Serahkan Santunan Kematian Sebesar Rp391 juta

Terkait polemik yang muncul, dia berpendapat, hal itu lebih disebabkan oleh terbatasnya pemahaman masyarakat mengenai konsep JHT. Serta minimnya kesadaran akan pentingnya perencanaan keuangan di masa mendatang.

Safir menambahkan, program ini berbeda dibandingkan dengan tabungan konvensional yang bisa dicairkan sewaktu-waktu sesuai dengan kebutuhan nasabah. 

"Ingat, JHT ini bukan rekening bank yang bisa kita akses sewaktu-waktu," ujarnya.

Safir pun menyadari penolakan dari kalangan pekerja berdasar pada hilangnya penghargaan yang diterima ketika mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) di tengah usia produktif. Terlebih mayoritas pekerja tidak memiliki simpanan jangka pendek yang bisa diakses dalam situasi mendesak.

Hal tersebut lanjut dia, sebenarnya sudah dijawab pemerintah dengan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). Program itu bisa memberikan perlindungan bagi kalangan pekerja saat dikenai PHK dan berfungsi sebagai jaring pengaman sosial.

"JKP bisa memberikan klaim kepada pekerja. Seharusnya dengan adanya program ini tidak ada lagi permasalahan," kata dia.

Simulasi JHT

Seperti diketahui, JHT adalah program wajib bagi peserta penerima upah dengan iuran per bulan sebesar 5,7 persen dari upah yang diterima. Dari jumlah tersebut, pekerja membayar iuran sebesar 2 persen, sedangkan 3,7 persen dibayarkan oleh pemberi kerja atau perusahaan.

BPJS Ketenagakerjaan.

Photo :

Ketika memasuki hari tua, manfaat yang diterima oleh pekerja dari JHT berupa uang tunai bersumber dari iuran yang telah dibayarkan selama menjadi peserta. Ditambah dengan hasil pengembangan dana tersebut.

Dengan menggunakan asumsi upah per bulan sebesar Rp5 juta per bulan, maka iuran yang dibayarkan untuk program JHT sebesar Rp285.000 per bulan atau Rp3,42 juta per tahun.

Dia menjabarkan, apabila pekerja menjadi peserta JHT pada usia 25 tahun dan dinyatakan pensiun ketika usia 56 tahun. Artinya pekerja tersebut membayar iuran selama 31 tahun dengan total dana yang dibayarkan mencapai Rp106,02 juta.

Sebagai informasi, instrumen investasi yang dijadikan penempatan dana kelolaan JHT di antaranya adalah Surat Berharga Negara (SBN) dan deposito perbankan, dengan tingkat imbal hasil rata-rata di kisaran 5-7 persen.

Dengan mempertimbangkan adanya perubahan saldo awal tiap tahun serta imbal hasil yang diterima setelah iuran tersebut diinvestasikan ke berbagai instrumen oleh BPJS Ketenagakerjaan, maka manfaat yang diperoleh pekerja saat hari tua berdasarkan penghitungan kalkulator JHT mencapai Rp248,55 juta.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya