WHO: Pandemi COVID-19 di Afrika Bisa Berlangsung Beberapa Tahun

Virus corona COVID-19.
Sumber :
  • Pixabay

VIVA – Benua Afrika terancam mengalami pandemi COVID-19 yang berlangsung lama dan juga memakan banyak korban jiwa. Hal ini disampaikan oleh WHO dalam studi terbarunya.

Taiwan Siap Berbagi Pengalaman Pelayanan Medis dengan Indonesia

Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO mengatakan pandemi COVID-19 dapat bertahan di Afrika selama beberapa tahun dan dapat membunuh sekitar 190 ribu orang dalam waktu 12 bulan ke depan.

Pada bulan lalu, WHO memperingatkan bahwa di benua tersebut virus corona dapat menginfeksi sebanyak 10 juta orang dalam kurun waktu enam bulan, meskipun para ahli mengatakan dampak dari pandemi bergantung dari aksi yang dilakukan pemerintah.

Kuota Haji Kabupaten Tangerang Bertambah, 20 Persen Lansia

Sebuah studi yang dikeluarkan WHO pada pekan ini memprediksi sebanyak 29 juta hingga 44 juta orang dapat terinfeksi virus pada tahun pertama pandemi jika tindakan pencegahan gagal. 

Hal ini tentu akan menjadi beban bagi kapasitas medis di Afrika, di mana rata-rata hanya ada sembilan ranjang perawatan intensif tiap satu juta orang.

Geger Vaksin COVID-19 AstraZeneca, Ketua KIPI Sebut Tidak ada Kejadian TTS di Indonesia

Baca Juga: Sebar Ayat Palsu Tentang Corona, Seorang Wanita Ditangkap di Tunisia

Dilansir laman Guardian, Direktur WHO untuk Afrika, Dr. Matshidiso Moeti mengatakan, "Meskipun di Afrika COVID-19 tidak menyebar secara eksponensial seperti di tempat lain di dunia, COVID-19 kemungkinan akan terus 'menyala' di titik-titik penularan." 

"COVID-19 bisa saja menjadi perlengkapan sehari-hari dalam kehidupan kami untuk beberapa tahun ke depan, kecuali jika pemerintah mengambil langkah-langkah proaktif. Kita perlu menguji, melacak, mengisolasi dan merawat," tambah Moeti.

Penelitian tersebut melakukan pengamatan di 47 negara di benua Afrika yang memiliki total populasi mencapai 1 triliun orang.

Saat ini lebih dari 51 ribu orang di Afrika terinfeksi virus dan 2.012 orang meninggal dunia. Angka tersebut naik tajam pada pekan lalu.

"Secara keseluruhan, kami melihat di komunitas masyarakat di beberapa negara, kami memperkirakan wabah ini akan mencapai puncaknya pada empat hingga enam minggu jika tidak melakukan tindakan apapun," ujar Moeti.

Sebagian besar negara telah memberlakukan lockdown atau karantina wilayah dengan berbagai tingkat keparahan yang nampaknya memperlambat penyebaran virus.

"Kita harus mengakui bahwa pemerintah Afrika melakukan banyak hal. Proyeksinya adalah kita berada dalam situasi perang saat ini, namun karena tindakan yang diambil oleh pemerintah dan masyarakat, tingkat penularan saat ini lebih rendah dari tempat lain," kata Stephen Karingi, direktur komisi ekonomi PBB untuk Afrika.

Namun tidak jelas seberapa efektif tindakan tersebut di beberapa tempat dan juga terdapat kekhawatiran mengenai pengujian yang dilakukan di benua tersebut.

Selain itu, terdapat juga kekhawatiran mengenai angka resmi yang dikeluarkan pemerintah negara-negara Afrika, tidak menunjukkan jumlah korban yang sebenarnya.

Pemerintah Somalia merevisi data resmi mengenai jumlah korban di negaranya, hal ini menbuktikan bahwa kematian ratusan orang akibat virus corona banyak yang tidak tercatat.

Sementara itu, Tanzania diduga merahasiakan keparahan wabah untuk melindungi sang presiden, John Magufuli. Saat ini Tanzania mengumumkan 480 kasus dan 18 kematian. Magufuli juga mengatakan alat uji virus corona yang diimpornya rusak setelah menyatakan hasil positif terhadap pepaya dan kambing.

Pengujian di negara-negara Afrika mengalami kesulitan dalam mendapatkan alat tes. Beberapa negara seperti Nigeria tidak melakukan tes yang cukup baik karena mereka tidak dapat menghasilkan beberapa pereaksi kimia yang dibutuhkan.

Angka peningkatan kasus di Ghana yang melonjak 42,5 persen juga disebut sebagai akibat dari kurangnya kapasitas dan pasokan alat pengujian.

Laporan: Dion Yudhantama
 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya