Logo BBC

Pengalaman Ngeri Perempuan Afghanistan Melahirkan di Rezim Taliban

BBC Indonesia
BBC Indonesia
Sumber :
  • bbc

Namun meski tanpa gaji, dia berharap bisa terus bekerja selama dua bulan lagi.

"Saya memutuskan melakukan ini demi pasien kami dan demi warga kami ... tetapi tanpa dana, itu tidak hanya mengkhawatirkan bagi kami, tetapi juga untuk pasien kami. Mereka sangat miskin," katanya.

"Warga Afghanistan mendengar banyak tentang korban perang.

"Namun hanya sedikit yang berbicara tentang berapa banyak perempuan dan bayi yang meninggal karena kematian yang dapat dicegah terkait dengan persalinan," kata Heather Barr, direktur asosiasi divisi hak-hak perempuan di Human Rights Watch.

Membeli sendiri persediaan untuk melahirkan

Ketika Heather Barr berkunjung ke Kabul pada bulan Mei, ia mengatakan satu rumah sakit mencoba untuk mengamankan gaji staf dengan mengurangi segala sesuatu yang lain.

Banyak perempuan yang hendak bersalin terpaksa membeli sendiri persediaan untuk melahirkan.

"Seorang perempuan menghabiskan sekitar U$26 (sekitar Rp371 ribu) untuk barang-barang seperti sarung tangan, cairan sterilisasi, dan tabung untuk kateter.

"Ia menghabiskan sisa uangnya dan sangat stres karena jika ia membutuhkan operasi caesar, ia harus membeli pisau bedahnya sendiri," kata Barr.

Tapi sekarang, kelangkaan obat-obatan dan persediaan medis berarti mereka hanya dapat dibeli dari fasilitas perawatan kesehatan swasta, yang merupakan pilihan yang tidak terjangkau bagi banyak orang Afghanistan.

"Saya melihat perempuan hamil lainnya menunggu seharian penuh untuk mendapatkan obat apa pun di klinik lokal kami dan pulang dengan tangan hampa," kata Zarmina.

"Saya lebih suka melahirkan di rumah daripada di rumah sakit karena tidak ada obat dan fasilitas. Saya khawatir dengan kesehatan bayi saya dan kesehatan saya sendiri."

Sekitar 54,5% penduduk Afghanistan hidup di bawah garis kemiskinan nasional, menurut Bank Dunia. Sebagian besar berada di daerah terpencil.

"Kami berurusan dengan komunitas dengan kebutuhan ekstrem dan sumber daya yang sangat tidak memadai. Kami menghadapi bencana darurat kesehatan," kata Dr Lodi, yang merawat pasien di desa-desa miskin dan terpencil di provinsi Herat.