- AP Photo
VIVAnews - Keengganan pemimpin Libya lengser membuat konflik di negeri kaya minyak itu bermetamorfosa menjadi perang saudara. Tentara loyalis rezim terlibat baku tembak dengan pemberontak memperebutkan kekuasaan di kota-kota utama Libya, terutama ibu kota Tripoli.
Pemimpin pemberontak Libya menyerukan Khadafi secepatnya mundur. Menurut dia, itu lebih baik daripada dipaksa lengser. "Jika ia meninggalkan Libya secepatnya dalam waktu 72 jam, dan menghentikan serangan, kami, warga Libya tidak akan mengejarnya atas kasus kiriminal berupa penindasan, kelaparan penganiayaan, dan pembantaian," kata Ketua Opisisi Dewan Nasional, Mustafa Abdel Jalil, kepada Al Jazeera, Selasa 8 Maret 2011.
Ditambahkannya, batas waktu yang diberikan pihak pemberontak tidak akan diperpanjang. "Kami akan menunggu dan melihat apa tanggapan rezim."
Selasa lalu, stasiun televisi Libya telah membantah laporan bahwa pemimpin yang berkuasa 41 tahun itu mencoba membuat kesepakatan dengan pihak pemberontak terkait pengunduran dirinya. Seorang pejabat dari Kementerian Luar Negeri Libya menggambarkan laporan sebagai "omong kosong".
Namun, juru bicara oposisi Dewan Nasional di kubu pemberontak timur Benghazi menegaskan, bahwa benar Khadafi telah mengirimkan wakilnya Minggu malam lalu.
Khadafi dikabarkan bersedia mundur asal ia tak dikriminalisasikan, dan mendapat jaminan bagi dia dan keluarganya. Dia juga dilaporkan menginginkan jaminan dari PBB untuk menyimpan aset dan pundi-pundi uangnya.
Namun, jika benar itu yang diinginkan Khadafi, Amerika Serikat menolak mentah-mentah apapun bentuk amnesti untuknya. "Pergi dari Libya tak akan membuat Khadafi dan keluarganya lepas dari tanggung jawab atas apa yang terjadi," kata PJ Crowley, juru bicara Gedung Putih.
Saat ini tindakan baru sebatas mengucurkan bantuan kemanusiaan senilai US$15 juta untuk membantu dan mengungsikan warga yang ingin menyelamatkan diri dari Libya. Selain itu, AS telah mengerahkan dua kapal perang amfibi dan 1.200 pasukan Marinir di dekat perairan Libya. Mereka bersiaga bila diperlukan sewaktu-waktu untuk melakukan operasi kemanusiaan dan penyelamatan warga sipil.
Namun, lebih jauh lagi, AS dan sekutu-sekutunya mulai membahas rencana militer untuk menanggapi konflik di Libya. Dalam rencana itu, AS ingin segera membantu pengiriman senjata bagi kubu anti rezim Muammar Khadafi, sedangkan sejumlah pemimpin Eropa mewacanakan zona larangan terbang di Libya. (umi)