Misteri Pria Berserban di Kartun Tempo yang Bikin FPI Marah

Kartun Majalah Tempo.
Sumber :
  • Dokumentasi Tempo

VIVA – Kembali, intimidasi dan tindakan kekerasan mencederai kebebasan pers Indonesia. Kali ini, korbannya adalah Pemimpin Redaksi Majalah Tempo Arif Zulkifli. Pria berkaca mata ini dipaksa untuk minta maaf oleh massa dari organisasi masyarakat Front Pembela Islam, atas penayangan sebuah kartun di majalahnya.

Daftar Kontroversi Ahok Sejak Jabat Gubernur DKI, dari Kalijodo hingga Surat Al Maidah

Arif dipaksa mengaku bersalah dan meminta maaf di atas mobil komando FPI, saat ormas itu menggelar unjuk rasa di depan kantor Tempo pada Jumat lalu, 16 Maret 2018. Bahkan, seorang anggota FPI sempat merampas kacamata yang dipakai Arif.

Di bawah intimidasi massa itu, akhirnya Arif mengatakan, dirinya meminta maaf. "Jadi gini, kerja Jurnalistik itu, menyimpan dhoif-nya. Kalau satu majalah Tempo menimbulkan ketersinggungan, saya meminta maaf," ujarnya.

Jenderal Fachrul Razi Blak-blakan Dipecat sebagai Menag Gara-gara Tolak Pembubaran FPI

Sebenarnya, intimidasi tak hanya terjadi saat Arif keluar dari kantor Tempo untuk menemui massa FPI.

Dalam editorial dengan judul besar 'Demo FPI dan Sikap Kami' yang diterbitkan Tempo di situs Tempo.co, Senin 19 Maret 2018. Tempo dengan gamblang menceritakan berbagai tindakan berlebihan massa dan perwakilan FPI, saat Tempo memberikan kesempatan untuk berdialog, mengenai kartun yang membuat ormas itu merasa tersinggung.

Eks Jubir FPI Munarman Ucap Ikrar Setia NKRI di Lapas Salemba

Dalam editorial itu, Tempo menyatakan, unjuk rasa yang dilakukan massa FPI di kantor Tempo pada Jumat 16 Maret 2018, sudah berlebihan dan dilakukan dengan intimidatif. Menurut Tempo, seharusnya polisi memproses hukum pendemo yang bertindak berlebihan itu.

Saat demo berlangsung, Tempo sudah memberikan ruang kepada FPI untuk berdialog tentang kartun Tempo yang dianggap telah menyinggung imam besar FPI Habib Rizieq Syihab. Padahal, pada kartu itu, tidak ada gambar dan teks yang langsung merujuk pada diri seseorang, apalagi Rizieq dan FPI.

Sayangnya, utusan FPI malah menggunakan kesempatan berdialog untuk mengintimidasi. Di depan aparat, mereka menghardik, menggebrak meja, dan sempat melemparkan gelas ke arah perwakilan redaksi Tempo.

Tempo juga sudah berjanji memuat keberatan FPI sebagai hak jawab. Sayangnya, ruang hak jawab yang diberikan Tempo tidak meredakan kemarahan massa FPI. Hingga akhirnya, mereka memaksa Pemimpin Redaksi Tempo untuk meminta maaf kepada seluruh Umat Islam.

Permintaan ini jelas tak masuk akal. Bagaimana bisa FPI mengklaim semua umat Islam punya pandangan, sikap, dan perilaku yang sama dengan mereka.

Di tengah kepungan massa FPI, Tempo akhirnya meminta maaf atas dampak pemuatan kartun, bila hal itu menyinggung perasaan kelompok tertentu. Tapi Tempo tidak meminta maaf, apalagi mengaku bersalah, karena memuat kartun itu. Ihwal penilaian "salah-benar" atas kartun tersebut, Tempo menyerahkan sepenuhnya kepada Dewan Pers.

Baca: Kartun Tidak Salah, Tempo Tak Minta Maaf ke FPI

Suasana mediasi antara pengurus FPI dan tim Tempo

Apa yang dilakukan FPI terhadap Tempo memicu reaksi berbagai pihak, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers dengan tegas mengeluarkan pernyataan bahwa apa yang dilakukan Tempo adalah sebuah karya jurnalistik yang dilindungi Undang-undang dan konstitusi. Khususnya, Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Pasal 28 F UUD 1946.

Seharusnya, masih mengutip pernyataan itu, jika salah satu pihak atau kelompok ada yang keberatan atau dirugikan dengan sebuah karya jurnalistik, mekanismenya adalah menempuh jalur sengketa jurnalistik, dengan memberikan hak jawab atau hak koreksi sebagaimana dalam Pasal 4 UU Pers atau mengadukan media atau karya jurnalistik tersebut kepada Dewan Pers.

Sebab, Dewan Pers yang berhak menilai dan memiliki kewenangan menilai, apakah sebuah karya jurnalistik tersebut telah melanggar kode etik jurnalistik atau tidak.

LBH Pers berpendapat, demonstrasi adalah hak asasi manusia yang dijamin oleh konstitusi juga undang-undang. Namun, dengan niat akan "menduduki", memaksa untuk mengakui kesalahan, intervensi ruang redaksi dan berbagai bentuk intimidasi lainnya adalah hal yang tidak dibenarkan oleh hukum.

Jika itu terjadi, aparat penegak hukum sudah sepatutnya bertindak, demi melindungi Pers dan kemerdekaan pers, sama saja melindungi wujud kedaulatan rakyat.

Baca: FPI Sebut Kartun Tempo Melecehkan Ulama dan Cucu Rasullulah

Massa FPI di Kantor Tempo.

Sementara itu, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) melalui koordinatornya, Yati Andriyani menyayangkan tindakan FPI  terhadap Tempo. Tindakan tersebut terkesan main hakim sendiri dan cenderung mengarah pada tindakan persekusi.

Kritik atau pun protes yang FPI sampaikan seharusnya dilakukan dengan cara-cara yang menghormati hukum dan mengedepankan dialog yang saling menghargai. Jika tidak maka kebebasan pers akan terancam karena tindakan-tindakan persekusi seperti ini.

Menurut KontraS, siapa pun yang merasa dirugikan atau dicemarkan oleh pemberitaan media dapat dibenarkan menyampaikan protesnya sepanjang itu dilakukan dengan cara-cara yang sesuai mekanisme hukum bukan dengan cara-cara yang intimidatif dan mengarah pada perkusi.

Cara tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan hak jawab atau hak koreksi melalui dewan pers Pasal 15 ayat [2] huruf d UU Pers. Dan pihak yang berwenang untuk menentukan penilaian adanya pelanggaran kode etik jurnalistik adalah Dewan Pers, sehingga tidak boleh ada cara pemaksaan dengan cara-cara di luar hukum kepada Tempo, karena hal ini akan mengancam kebebasan pers dan menjadikan massa sebagai hakim jalanan.

Dalam kasus ini kami juga mendesak Kepolisian sebagai penegak hukum untuk memberikan jaminan keamanan kepada Tempo, bertindak profesional dan independen terhadap tindakan-tindakan main hakim sendiri dan intimidatif terhadap siapa pun, termasuk pengunaan kekuatan massa yang tidak menghormati hukum dalam menyampaikan pendapat atau kritik.
 
Dewan Pers harus memastikan jaminan kebebasan pers terlindungi dengan memberikan penilaian yang objektif dalam kasus ini dan menyerukan semua pihak untuk menghormati dan mematuhi mekanisme yang tersedia, untuk memastikan ke depan tidak ada lagi upaya-upaya penggunaan kekuatan massa yang intimidatif dan mengarah pada persekusi.

Baca: Ini Lho Kartun Tempo yang Bikin FPI Tersinggung

Gedung Tempo di  Jalan Palmerah Nomor 8, Jakarta Selatan.

Hingga saat ini, sosok pria yang ada dalam kartun itu memang masih penuh misteri. Tetapi, jika dilihat lagi gambar pada kartun yang ditayangkan Majalah Tempo edisi 26 Februari 2018, Kemarahan FPI kepada Tempo tak berdasar. Sebab, pada kartu dengan jelas tidak ada tulisan nama imam besar FPI, Habib Rizieq. Dan, juga tak ada gambar wajah yang bersangkutan di kartun itu.

Yang ada hanya gambar seorang pria berserban dan baju panjang sedang duduk bersama seorang wanita. Bahkan, wajah pria di kartun itu tak terlihat sama sekali. Karena tergambar dalam kartun, pria itu duduk dalam posisi membelakangi layar depan kartun.

Hal itu juga telah diakui Pemred Tempo Arif Zulkifli, sebelum dirinya dipaksa meminta maaf. "Kami  tidak menampilkan muka, atau tulisan apapun sama sekali. Itu hanya gambar saja," ujar Arif.

Namun, FPI bersikukuh bahwa gambar pria pada kartun itu telah menyinggung mereka, menyinggung ulama mereka dan menyinggung guru mereka.

"Kami jelas tersinggung, itu menyinggung ulama kami, menyinggung guru kami dan menuntut majalah Tempo untuk minta maaf secara tertulis," kata Panglima FPI, Ustaz Maman Suryadi, Kamis, 15 Maret 2018.

Saat berdemo terkait kartun itu di kantor Tempo, melalui oratornya FPI masih tetap menyatakan bahwa kartun itu telah melecehkan ulama dan melecehkan cucu Nabi Muhammad SAW.

"Hari ini, siang ini tuntutan kita adalah mereka minta maaf atas karikatur yang melecehkan ulama, melecehkan cucu rasulullah," kata orator FPI.

Baca: Sempat Tegang, FPI dan Tempo Akhirnya Berdamai

Adegan Rangga dan Cinta di Film AADC 2.

Sementara itu, berdasarkan pengamatan VIVA, apa yang tergambar dalam kartun Tempo ini, lebih mirip salah satu adegan penting dalam film Ada Apa Dengan Cinta 2, ketimbang apa yang dituduhkan FPI.

Yakni adegan pada scene ketika Rangga yang diperankan Nicholas Saputra dan Cinta yang diperankan, Dian Sastro Wardoyo, bertemu kembali setelah sekian lama berpisah.

Memang, dalam film ini Rangga tidak memakai jubah seperti pria di dalam kartun. Hanya saja, penampilan wanita di kartun dengan penampilan Cinta ketika bertemu Rangga, ada kemiripan. Seperti baju merah tanpa lengan dan scarf yang dikenakan Cinta dan cara Cinta duduk di kursi.

Kemiripan lainnya, ialah kalimat yang diucapkan Cinta kepada Rangga dan kalimat yang diucapkan wanita di kartun kepada pria berjubah.

Wanita pada kartun mengucapkan kalimat 'yang kamu lakukan itu JAHAT'. Sementara itu, Cinta mengatakan pada Rangga, 'Apa yang kamu lakukan ke saya itu, jahat'.

Baca: Antara FPI, Kartun Tempo dan Adegan Rangga Cinta di AADC 2

Poster imbauan demo FPI ke Kantor Tempo.

Sementara itu, menurut aktivitas Ansor Nahdlatul Ulama dan juga politikus Partai Solidaritas Indonesia, Guntur Romli, seharusnya FPI tidak usah tersinggung dengan pria berserban di kartun Tempo.

Karena, memang bisa saja pria berserban itu bukan gambar imam mereka. Sebab, menurut Guntur,  di Indonesia tak hanya Habib Rizieq saja yang memakai serban. Gambar pria di bungkus mie instan juga berserban.

Dan, produsen mie instan itu tidak tersinggung dan mendemo kantor Tempo.

“FPI boleh merasa pria bergamis & bersorban di Kartun Tempo adalah Imam Besarnya, tp Sarimi juga bisa merasa dgn kartun modelnya, tp mengapa Sarimi tidak mau ikut2 mengaku? Krn Sarimi cerdas, tp merasa diasosiasikan dgn Kartun Tempo,” tulis Guntur Romli di akun Twitternya.

Lihat video cuplikan AADC 2 berikut ini:

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya