Djarot Dilarang Masuk Musala

Wakil Gubernur DKI Jakarta, Djarot Saiful Hidayat
Sumber :
  • VIVA.co.id/Yunisa Herawati

VIVA.co.id – Calon Wakil Gubernur DKI Jakarta nomor urut dua, Djarot Saiful Hidayat mengunjungi warga Kelurahan Semper Timur, Kecamatan Cilincing Jakarta Utara, Sabtu, 19 November 2016.

Sinyal Anies Maju Pilkada DKI 2024, PKS: Kalau Memang Cocok, Why Not?

Dalam kunjungannya, Djarot langsung dibredel keluhan warga perihal buruknya saluran air di pemukiman sekitar. Sebab, di pemukiman yang terletak di RT 06 RW 006, Kelurahan Semper Timur itu kerap dilanda banjir bila turun hujan.

"Ini mau dikeruk enggak? Dibersihin sampah-sampahnya supaya tidak banjir," kata Djarot.

Ogah Usung Anies di Pilgub Jakarta, Gerindra: Kita Punya Jagoan Lebih Muda dan Fresh

"Mau pak, tapi kami jangan digusur," sahut salah satu warga.

Kemudian, Djarot berkeliling permukiman warga dan dengan setia meladeni setiap permintaan para warga untuk foto dan bersalaman.

Gerindra Siapkan Kader Internal yang Potensial Menang di Pilkada Jakarta

Politikus PDI Perjuangan itu pun sempat menghampiri sebuah musala yang berada di sekitar permukiman tersebut. Djarot masuk ke dalam mushala ditemani Ketua RT 6. Namun, Djarot langsung dilarang petugas panitia pengawas pemilu yang mengawasi kegiatan kampanye Djarot di Kelurahan Semper Timur.

Petugas mengira pasangan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok itu akan melakukan kampanye di rumah ibadah.

"Panwaslu gini ya, saya tahu enggak boleh kampanye di sini (musala). Masak kita mau salat enggak boleh," kata Djarot kepada petugas Panwaslu.

Dia mengungkapkan dirinya masuk ke musala lantaran ingin melihat kondisi bangunan yang dikeluhkan warga sering banjir dan perlu dibenahi.

"Ini musala perlu ditinggiin," ujarnya menambahkan.

Saking geram kepada petugas Panwaslu, Djarot menyebut dirinya tahu aturan berkampanye. Ia juga menyebut Pasal 187 ayat 2 tentang Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-Undang.

"Yang enggak boleh itu kan ada embel-embel nomor dua. Ada enggak saya sebutkan visi misi?" katanya dengan nada kecewa. (ase)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya