- VIVA/Muhamad Solihin
VIVA – Kepala Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Dwikorita Karnawati, mengatakan 90 persen tsunami disebabkan gempa tektonik bawah laut, sedangkan 10 persennya karena erupsi gunung api, longsor bawah laut dan jatuhnya meteor yang dinilai faktor langka.
Diakui Dwikorita, BMKG belum memiliki alat yang canggih untuk mendeteksi faktor langka itu. Tapi, satu hal yang ditegaskannya, teknologi selalu kalah dengan alam.
"Faktor langka yang saya sebutkan tadi kita belum ada alatnya, ini masih usulan terkait sensor bawah laut. Baru Amerika dan Jepang, yang sudah melakukan Amerika, itu baru uji coba," kata Dwikorita usai rapat koordinasi di Kementerian bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan di Jakarta Pusat, Selasa 22 Januari 2019.
"Teknologi itu selalu kalah dengan alam, tapi kultur masyarakat itu yang perlu dikuatkan. Seperti di Aceh yang telah dilakukan masyarakat," katanya.
Dwikorita menjelaskan, banyak hal yang perlu dipersiapkan masyarakat jika sewaktu-waktu terjadi goncangan dan tsunami.
"Bagaimana menyiapkan masyarakat jika sewaktu-waktu terjadi goncangan dan tsunami. Budaya tidak mepet tinggal di pinggir pantai juga perlu," paparnya.
Hal yang menjadi sorotan Dwikorita, pengelolaan tata ruang menjadi poin penting untuk menambah kesiapsiagaan dalam menghadapi bencana. Teknologi tidak akan bisa 100 persen melindungi manusia.
"Tata ruang juga perlu diatur, teknologi tidak bisa 100 persen melindungi kita. Usulan sensor bawah laut tahun ini semoga bisa direalisasikan dan perlu satu tahun untuk uji coba," kata mantan Rektor Universitas Gadjah Mada itu. (ren)