Hakim Tolak Praperadilan Tersangka Mantan Dirut Perum Jasa Tirta II

Sidang putusan praperadilan mantan Direktur Utama Perum Jasa Tirta II.
Sumber :
  • VIVAnews/ Syaefullah

VIVA – Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menggelar sidang putusan praperadilan mantan Direktur Utama Perum Jasa Tirta II, Djoko Saputro, atas penetapan dirinya sebagai tersangka Komisi Pemberantasan Korupsi, terkait kasus dugaan korupsi pengadaan pekerja jasa konsultasi pada 2017.

Kuasa Hukum Sebut Harvey Moeis Tidak Akan Ajukan Praperadilan

Ahmad Jaini selaku hakim tunggal menolak seluruh permohonan yang telah diajukan pemohon soal penetapan dirinya sebagai tersangka.

"Menolak eksepsi pemohon seluruhnya. Dalam perkara, satu, menolak permohonan praperadilan pemohon seluruhnya, dua, membebani pemohon untuk membayar biaya perkara ini sebesar nihil," ujar Hakim Ahmad Jaini di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa, 22 Oktober 2019.

Panji Gumilang Gugat Status Tersangka TPPU, Ini Kata Polri

Dalam kasus ini, Djoko Saputro dan Andririni Yaktiningsasi selaku swasta ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan pekerjaan jasa konsultasi di Perum Jasa Tirta II tahun 2017.

Djoko Saputro usai diangkat menjadi Direktur Utama Perum Jasa Tirta II pada 2016, diduga menginstruksikan agar melakukan revisi anggaran di perusahaan BUMN itu. Revisi anggaran kemudian dilakukan, dengan mengalokasikan tambahan anggaran pada pekerjaan pengembangan sumber daya manusia (SDM) dan strategi korporat yang pada awalnya senilai Rp2,8 miliar menjadi Rp9,55 miliar.

Kasus Film Porno Siskaeee Belum Juga Disidang, Ini Kata Polisi

Pada relokasi anggaran untuk Perencanaan Strategis Korporat dan Proses Bisnis senilai Rp3,82 miliar, sedangkan perencanaan komprehensif pengembangan SDM Perum Jasa Tirta II sebagai Antisipasi Pengembangan Usaha Perusahaan Rp5,73 miliar. KPK menduga perubahan tersebut dilakukan tanpa adanya usulan bank dan unit lain serta tidak sesuai aturan yang berlaku.

Setelah revisi anggaran, Djoko pun memerintahkan Andririni Yaktiningsasi menjadi pelaksana pada kegiatan tersebut. Dalam dua kegiatan itu, Andririni diduga menggunakan bendera perusahaan PT Bandung Management Economic Center dan PT 2001 Pangripta.

Realisasi penerimaan pembayaran untuk kedua pelaksanaan proyek sampai dengan 31 Desember 2017 itu sebesar Rp5.564.413.800. Rinciannya, Pekerjaan Komprehensif Pengembangan SDM PJT II sebagai Antisipasi Pengembangan Usaha Perusahaan sebesar Rp3.360.258.000 dan Perencanaan Strategis Korporat dan Proses Bisnis sebesar Rp2.204.155.8410.

KPK menduga pelaksanaan lelang dilakukan menggunakan rekayasa dan formalitas lantaran adanya penanggalan dokumen administrasi lelang secara back date atau penanggalan mundur. Tak hanya itu, KPK juga menduga nama-nama para ahli yang tercantum dalam kontrak hanya dipinjam dan dimasukkan ke dalam dokumen penawaran PT BMEC dan PT 2001 Pangripta, sebagai formalitas untuk memenuhi administrasi lelang.

Akibat kasus ini, kerugian negara mencapai sekitar Rp3,6 miliar yang perhitungannya berasal dari keuntungan yang diterima Andririni dari kedua pekerjaan tersebut, atau setidaknya lebih dari 66 persen dari pembayaran yang telah diterima. (ren)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya