123 Anak Korban Kekerasan Seksual di Sekolah, Pelaku Guru atau Kepsek

Ilustrasi kekerasan seksual.
Sumber :
  • U-Report

VIVA – Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terus memantau berbagai kasus kekerasan seksual di dunia pendidikan sepanjang  2019. Dari pantauan, lembaga ini menunjukkan fakta bahwa sekolah sebagai ruang publik ternyata menjadi tempat yang tidak aman dan nyaman bagi anak didik. 

Cek Fakta: Anies Sebut Lebih dari 15 Juta Orang Jadi Korban Kekerasan Seksual

"Sepanjang 2019, KPAI mencatat kekerasan seksual di pendidikan berjumlah 21 kasus dengan jumlah korban mencapai 123 anak," kata Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti di Jakarta, Minggu 29 Desember 2019.

Retno menjelaskan dari 123 anak yang menjadi korban terdiri dari 71  anak perempuan dan 52 anak laki-laki. Dari data tersebut artinya, anak laki-laki maupun anak perempuan semuanya rentan menjadi korban kekerasan seksual di sekolah. 

Kronologi Ayah di Sidoarjo Cabuli Anak Kandung Berusia 3,5 Tahun

"Data menunjukkan bahwa satu pelaku bisa memperdaya banyak korban, karena dari 21 pelaku, korbannya mencapai 123 anak," kata dia.

Dalam kasus ini menurutnya pelaku ada 21 orang yang terdiri dari 20 laki-laki dan 1 perempuan. Adapun pelaku mayoritas adalah guru (90%) dan  kepala sekolah (10%). 

Miris! Anak TK di Pekanbaru Diduga Jadi Korban Kekerasan Seksual Temannya

"Oknum pelaku yang merupakan guru terdiri dari guru olahraga  (29%) , guru Agama (14%) guru Kesenian (5%), guru Komputer (5%), guru IPS (5%) , guru BK (5%), guru Bahasa Inggris (5%) dan guru kelas (23%)," ungkapnya.

Hasil pengawasan KPAI menunjukkan bahwa dari 21 kasus kekerasan seksual di sekolah tersebut, 13 kasus (62%) terjadi dijenjang SD, 5 kasus (24%) terjadi dijenjang SMP/sederajat dan 3 kasus (14%) di jenjang SMA. 

"Tingginya kasus kekerasan seksual di jenjang SD karena usia anak-anak SD adalah masa di mana anak mudah dimingi-imingi, takut diancam oleh gurunya, takut nilainya jelek dan tidak naik kelas, serta anak belum paham aktivitas seksual sehingga kerap kali anak-anak tersebut tidak menyadari kalau dirinya mengalami pelecehan seksual. Di sinilah pentingnya dilakukan pendidikan seks sejak dini," paparnya.

Rekomendasi KPAI

Oleh karena itu KPAI mengeluarkan tujuh rekomendasi terhadap hal itu. 

Pertama membantu anak melindungi dirinya sendiri. Berikan pemahaman dan ajarkan anak untuk menolak segala perbuatan yang tidak senonoh dengan segera meninggalkan tempat di mana sentuhan terjadi. Ingatkan anak untuk tidak gampang mempercayai orang asing.

"Korban dan keluarga korban kekerasan seksual umumnya memang tidak berani melapor kepada yang berwajib karena merasa malu, menganggap sebagai aib yang harus ditutupi, oleh karena itu perlu edukasi dan penting dibangun sistem pengaduan di sekolah  yang membuat korban dan keluarganya berani melapor. Hal ini sekaligus mencegah ada korban lainnya," kata Retno.

Kedua, berikan anak pendidikan kesehatan reproduksi dengan pendekatan yang sesuai dengan usia, peka budaya dan komprehensif yang mencakup program yang memuat informasi ilmiah akurat, realistis, dan tidak bersifat menghakimi.  Sehingga remaja dapat mengeksplorasi nilai-nilai dan sikap diri, serta melatih kemampuan pengambilan keputusan, komunikasi dan ketrampilan penekanan risiko di semua aspek seksualitasnya. 

Ketiga, aturan sekolah harus memiliki batas-batas yang tegas dari perilaku yg tidak diterima, misalnya anak harus diedukasi bahwa ada bagian d itubuhnya yang tidak boleh dilihat (apalagi disentuh) oleh siapa pun kecuali dirinya sendiri. Bagian itu adalah organ intim yang akan ditutupi saat seorang anak menggunakan pakaian renang. Oleh karena itu, anak bisa membedakan, mana sentuhan sayang dan mana sentuhan nakal. Tekankan bahwa kalau ada yang berani menyentuh, harus dilaporkan. 

Keempat, maksimalkan peran sekolah. Sekolah harus memiliki fungsi kontrol sosial, yakni sekolah memiliki assessment (penilaian) terhadap perilaku anak. Sekolah juga harus menggagas aktivitas-aktivitas internal sekolah yang bersifat positif, memfasilitasi aktivitas orang tua siswa dan siswa minimal setahun sekali.  

Kelima, untuk sekolah sekolah dan Dinas dinas Pendidikan setempat diperlukan sosialisasi dan percepatan Sekolah Ramah Anak (SRA) di berbagai daerah sebagai upaya menurunkan angka kekerasan di pendidikan. Sekolah harus membangun sistem pengaduan yang melindungi korban dan saksi, termasuk menganggarkan teknologi CCTV di ruang kelas dan ruang-ruang lain yang berpotensi digunakan oknum guru untuk melakukan kekerasan seksual terhadap anak didiknya. 

"Selain itu, pendidikan kesehatan reproduksi dan pendidikan seks sesuai usia anak wajib menjadi perhatian dan dibutuhkan peran aktif pihak sekolah dan dinas pendidikan setempat, termasuk pemerintah pusat dalam hal ini Kemendikbud dan Kementerian Agama," ujarnya.

Keenam, untuk Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dari hasil pengawasan KPAI ternyata banyak guru, kepala sekolah dan kepala Dinas Pendidikan di berbagai daerah ternyata belum menerima sosialisasi Permendikbud N0. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan di Satuan Pendidikan, termasuk kekerasan seksual.  Banyak sekolah kebingungan menangani kekerasan di sekolah, padahal Permendikbud tersebut sudah mengaturnya dengan sangat baik.  

Ketujuh, KPAI mendorong pemerintah dan pemerintah daerah  untuk memenuhi hak-hak anak korban kekerasan seksual. Anak sebagai korban tindak kejahatan seksual perlu mendapatkan rehabilitasi secara maksimal dan tuntas. 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya