Untung dan Rugi Aksi G30S PKI bagi Umat Islam

Source : Republika
Source : Republika
Sumber :
  • republika

Dalam catatan Ricklefs, data kependudukan antara tahun 1960 – 1971 menunjukkan jumlah jemaat dari lima denominasi Protestan yang menjadi subjek kajian Willis tumbuh secara fenomenal dari 96.872 menjadi 311.778, sebuah peningkatan lebih dari 220 persen. Pada tahun 1965-1967, tingkat pertumbuhan tahunannya adalah 27,6 pertumbuhan, sementara pada tahun 1968-1971 jumlahnya menjadi 13,7 persen.

Deraian Air Mata Soekarno Di Atas Pusara Ahmad Yani | KataMedia.co

Di samping adanya kerugian itu, memang pada sisi lain. Selanjutnya mulai tahun 1967 ada "angin baru" bagi umat Islam (dan juga umat beragama lainnya) di Jawa dan umumnya di Indonesia. Mulai tahun itu, di sekolah-sekolah negeri seperti dicatat Rickles, disediakan waktu dua atau tiga jam pelajaran wajib untuk pendidikan agama. Yang di maksud di sini tentu saja adalah bentuk-bentuk ortodoks dari agama yang diakui pemerintah.

Sebagai konsekuensi dari pengajaran agama ini, keyakinan atau kepercayaan seperti aliran kebatinan mulai kehilangan pengaruh bagi kaum muda. Bagi kalangan Islam santri, pendidikan madrasah yang dahulunya dijalankan secara pribadi kini mulai dimasukkan ke sistem  pendidikan luas. Pada tahun 1975 pemerintah mulai mengeluarkan peraturan yang menyatakan bahwa 70 persen dari kurikulum madrasah harus merupakan mata pelajaran "sekuler" standar seperti sekolah negeri dan hanya 30 persen sisanya boleh digunakan untuk pendidikan keagamaan.

Uniknya, dari catatan Ricklefs tersebut, di tengah-tengah revolusi pendidikan ini pesantren yang dikelola oleh kalangan Islam tradisionalis kehilangan peran sentral yang pernah mereka miliki atas pendidikan masyarakat pedesaan. Pada 1977, di Jawa Tengah dan Jawa Timur, 335.870 siswa dilaporkan menimba ilmu di pesantren tradisionalis. Di sekolah umum, terdapat 5.691,827 siswa—16 kali lebih banyak. Selain itu, jumlah siswa yang belajar di madrasah modern juga lebih banyak, yakni mencapai 1.394,990 orang.

                      **
Alhasil, pada masa kemudian jaringan Islam modernis mempunyai jaringan yang jauh lebih luas. Ini karena gaya pendidikannya dianggap tidak bertentangan dengan revolusi pendidikan yang digagas rezim pengganti zaman Sukarno, yakni rezim Orde Baru.

Imbas lainnya, tak aneh bila sosok seperti DR Nurcholish Madjid pada tahun 1990-an sempat mengatakan bahwa semenjak tahun 1980-an umat Islam Indonesia (termasuk Jawa) mengalami booming intelektual Islam. Hal ini diakui juga oleh cendekiawan yang juga pendeta Protestan, Victor Tanja.

Fenomena Islam itulah yang kini ada. Simbol Islam baru yang muncul dari campuran gaya moderen dominan. Misalnya, gaya perempuan berjilbab meninggalkan kerudung ala zaman dahulu (fenomena kerudung muncul semenjak awal 1980-an). Gaya keuangan modern dengan bank syariah hingga filantropi keuangan zakat, infak, sedekah, dan wakaf pun kemudian ikut muncul pula menggantikan cara pengelolaan keuangan ala "nazir" pada masa lalu.

Uniknya lagi, tanpa sadar, pada masa kini gaya baru ini diadposi pula oleh mereka yang selama ini kerap disebut Islam tradisionalis. Bahkan, hari-hari ini jarak itu—seperti juga antara sebutan pembedaan santri dan abangan—di Jawa kian melebur. Imbas pertarungan santri dan komunis pada 1965 ternyata telah mengubah lanskap Indonesia masa kini. Bahkan, bisa dibenarkan bila MC Ricklefs menyebut Jawa yang kian menjadi santri!

--------

*. Penulis: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika