Nyaris Sejuta Orang Teken Petisi Online Tolak Omnibus Law Cipta Kerja

Ilustrasi aksi Hari Buruh di Sejumlah Daerah Indonesia
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Didik Suhartono

VIVA – Jumlah pendukung petisi penolakan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja yang baru disahkan makin bertambah. Petisi di laman Change.org itu sudah ditandatangi lebih dari 928.154—nyaris sejuta orang—hingga Selasa sore, 6 Oktober 2020.

KLHK: 3,37 Juta Hektare Lahan Sawit Terindikasi Ada dalam Kawasan Hutan

Petisi online ini digagas para pemuka agama di Indonesia, di antaranya Busyro Muqodas, Merry Kolimon, Ulil Absar Abdalla, Engkus Ruswana, Roy Murtadho, dan Penrad Sagian.

"Omnibus Law adalah ancaman untuk kita semua. Ancaman untuk demokrasi Indonesia. Kami bersuara dengan petisi ini untuk mengajak teman-teman menyuarakan keadilan," mengutip deskripsi petisi.

Ganjar Cerita Dicurhati Buruh soal UU Cipta Kerja: Tolong Pak Segera Review

Baca: UU Cipta Kerja: Jatah Libur Buruh Cuma 1 Hari dalam Sepekan

Petisi itu menyoroti pengesahan Omnibus Law yang tergesa-gesa oleh Pemerintah bersama DPR, kemarin. Padahal, rencana awal akan dilaksanakan pada Kamis mendatang. 

Anies Hati-hati, tapi Tom Lembong Lebih Tegas Kalau Menang Pasti Revisi UU Ciptaker

Sebagai RUU yang dibentuk dengan metode Omnibus Law, UU Cipta Kerja memuat banyak klaster dan subklaster isu pembahasan, yang di dalamnya ada lebih dari 8 UU dan lebih seribu pasal di seluruh UU itu yang diubah.

"RUU Cipta Kerja mengancam banyak sektor, mulai dari kebebasan sipil, keadilan sosial, ekonomi, budaya dan keberlanjutan lingkungan hidup," tulis petisi tersebut.  

Para penggagas petisi membeberkan sejumlah pasal yang merugikan banyak pihak, di antaranya ancaman kebebasan beragama dan berkeyakinan, khususnya wacana pengawasan aliran kepercayaan oleh kepolisian. 

Ketentuan ini dipandang akan melanggengkan stigma, penyingkiran, diskriminasi dan pelanggaran HAM yang terjadi berpuluh-puluh tahun kepada kelompok minoritas agama atau keyakinan dan menimbulkan kecurigaan antar sesama warga negara.

Selain itu, mereka juga menyoroti pemangkasan hak-hak buruh atau pekerja. Nantinya para pekerja atau buruh akan diupah semurah mungkin dengan penghitungan upah per jam dan pelegalan pembayaran upah di bawah standar minimum di sebagian sektor ketenagakerjaan. 

"Selain itu status dan kepastian kerja tidak jelas lewat outsourcing dan kontrak kerja tanpa batasan waktu," tulis petisi tersebut. 

UU Cipta Kerja menurut para penggagas petisi berpotensi menimbulkan konflik agraria maupun lingkungan hidup. Selama lima tahun terakhir ada 1.298 kasus kriminalisasi terhadap rakyat akibat mempertahankan hak atas tanah dan wilayah hidupnya. 

Misalnya, perubahan atas UU P3H (Pasal 82, 83 dan 84, yang ada di dalam pasal 38 UU Cipta Kerja) soal ancaman pidana kepada orang-perorangan yang dituduh melakukan penebangan pohon, memanfaatkan hasil hutan bukan kayu, membawa alat-alat yang lazim digunakan untuk menebang, memotong dan membelah pohon tanpa perizinan dari pejabat yang berwenang di kawasan hutan. 

Omnibus Law Cipta Kerja juga dinilai mengancam ruang penghidupan kelompok nelayan, tani, dan masyarakat adat atas nama kepentingan pembangunan dan ekonomi. Menurut mereka, aturan ini akan memberikan kemudahan bagi korporasi dan pemerintah untuk merampas tanah dan sumber daya alam yang dikuasai masyarakat, baik kelompok miskin kota, masyarakat adat, petani, dan nelayan. 

"Akibatnya, kelompok nelayan, tani, dan masyarakat adat berpotensi tak memiliki ruang penghidupan yang bebas dan berdaulat untuk menopang kehidupannya," tulis petisi tersebut. 

Kekuasaan birokratis yang terpusat berlawanan dengan semangat desentralisasi/otonomi daerah pasca 1998. Mereka menilai, UU Cipta Kerja akan menarik kewenangan pemerintah provinsi dalam mengelola mineral dan batubara, termasuk kewenangan penerbitan peraturan daerah dan penerbitan izin.

Oleh karena itu, para penggagas petisi meminta Pemerintah dan DPR membatalkan Omnibus Law Cipta Kerja. Menurut mereka, kehadiran agama dan kepercayaan bagi dunia adalah berdiri bagi kemaslahatan seluruh umat manusia dan alam lingkungan.

"Karena itu kami meminta DPR RI untuk membatalkan Omnibus Law dan kembali membuka ruang partisipasi publik yang demokratis," begitu isi permintaan para pemuka agama dalam petisi tersebut. (ase)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya