Menkumham: Pamitnya SP, Koran Tempo dan Indopos Kado Pahit HPN

Menkumham Yasonna Laoly
Sumber :
  • ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat

VIVA – Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna H Laoly menyebut berhenti beroperasinya surat kabar Harian Umum Suara Pembaruan (SP) menyusul Koran Tempo dan Indopos yang lebih dulu pamit 2021 menjadi kado pahit menjelang peringatan Hari Pers Nasional (HPN) tahun ini.

Pilkada 2024 Berbeda dan Lebih Kompleks dibanding Pilkada Serentak Sebelumnya, Menurut Bawaslu

Yasonna menilai, tiga media cetak itu berhenti beroperasi karena perkembangan teknologi dan hantaman pandemi COVID-19.

"Satu dekade ini banyak media massa di Indonesia yang sudah tidak lagi beroperasi. Bukan karena dibredel, adanya perkembangan teknologi dan adanya terpaan pandemi COVID-19. Setelah 30 tahun lebih beroperasi, sekitar seminggu yang lalu surat kabar Suara Pembaruan resmi menyatakan salam perpisahan. Koran Tempo dan Indopos juga telah menyampaikan perpisahan terlebih dahulu. Berakhirnya masa terbit tiga media cetak itu merupakan kado pahit menjelang Hari Pers Nasional tahun 2021," kata Yasonna saat jadi pembicara utama dalam Konvensi Nasional Media Massa "Pers Nasional Bangkit dari Krisis Pandemi COVID-19 dan Tekanan Disrupsi Digital" yang digelar Dewan Pers memperingati HPN 2021, Senin, 8 Februari 2021.

KPK Periksa Anggota DPR Fraksi PDIP Ihsan Yunus soal Dugaan Korupsi APD di Kemenkes

Diketahui pamitnya Suara Pembaruan, Koran Tempo dan Indopos itu menambah panjang daftar media cetak yang lebih dulu memutuskan berhenti terbit seperti Suara Karya, Sinar Harapan, Sinar Pagi, Merdeka Djayakarta, Angkatan Bersenjata Berita Yudha Topskor dan beberapa media terbitan Kompas Group seperti Tabloid Bola dan Majalah Hai. Dari banyaknya media cetak yang tutup tersebut, sebagian telah berimigrasi ke digital.

"Namun sebagian lainnya ada yang benar-benar tutup dan hilang," kata Yasonna.

Singapore PM Lee Hsien Loong to Resign After Two Decades on Duty

Yasonna menuturkan, kebangkitan media cetak bermula dari daratan Eropa dan Amerika Serikat. Namun, dari daratan itu pula, media cetak secara masal mengumumkan penutupan.

"Fenomena ini merembet ke wilayah lain, termasuk di Indonesia," kata Yasonna.

Secara global, penutupan media cetak mulai marak satu dekade terakhir. Ada pola yang berbeda antara penutupan saat ini dengan era sebelumnya. Pada era sebelumnya kata dia, media cetak tutup karena tekanan rezim pemerintah yang represif. Sementara saat ini media tutup karena tekanan persaingan media khususnya jaringan digital dan setahun terakhir akibat pandemi COVID-19.

"Bagi sebagian, bisnis media dinilai tidak lagi menguntungkan," ujarnya.

Yasonna menjelaskan media cetak di sejumlah negara yang tutup sepanjang 2020 akibat persaingan dengan dunia digital dan terpaan pandemi COVID-19 sejak April 2020.

Di Australia, 60 surat kabar regional di Australia milik raja media Rupert Murdoch mengumumkan tutup pada April 2020. Dua bulan kemudian atau Juni 2020, kantor berita Australia Associated Press juga tutup setelah 85 tahun beroperasi pada Juni 2020. Tak hanya itu di Amerika Serikat, perusahaan surat kabar besar, Gannet Coporation pemilik USA Today dan beberapa media lokal lainnya meminta karyawan mengambil cuti tanpa tanggungan dan memotong gaji para staf.

"Pandemi COVID-19 berdampak sangat signifikan tidak saja terhadap kesehatan masyarakat tetapi juga kesejahteraan sosial dan ekonomi. Krisis ekonomi menghadirkan tekanan signifikan bagi media," imbuhnya. 

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya