Riset: Plastik Air Mineral Masuk 10 Besar Penyumbang Timbulan Sampah di TPA 5 Kota Besar RI

Sorot sampah plastik
Sumber :
  • ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi

Jakarta – Air minum kemasan bermerek telah menjadi bagian nyaris tak terpisahkan dari kehidupan orang perkotaan di Indonesia. Namun kabar buruknya adalah konsumsi masif masyarakat atas aneka produk tersebut, utamanya kemasan gelas dan botol, berujung timbulan sampah plastik yang tak diinginkan di banyak kota.

Jokowi Beri Tugas Baru ke Luhut Urus Sumber Daya Air Nasional

Riset Net Zero Waste Management Consortium, dipublikasikan pada 22 November 2023, mengungkap sampah plastik air mineral masuk dalam daftar 10 besar penyumbang timbulan sampah di Jakarta, Surabaya, Medan, Makassar, Bali dan Samarinda.

Dalam laporan bertajuk 'Potret Sampah 6 Kota Besar', konsorsium peduli sampah berbasis Jakarta itu menyebut sampah plastik sejumlah brand air mineral ditemukan dalam volume yang besar di banyak tempat, baik di bak/tong sampah, Tempat Pembuangan Sementara (TPS), truk sampah, Tempat Pembuangan Akhir (TPA), badan-badan air, tanah kosong, tepi jalan, pesisir, laut, dan banyak lagi.

Nyamannya Naik Gunung Terbersih di Indonesia

Pencemaran sampah plastik.

Photo :
  • vstory

Pada daftar sepuluh besar brand yang sampahnya paling banyak ditemukan, laporan menyebut porsi terbesar (59.300 buah) adalah serpihan plastik berbagai merek yang sudah tidak bisa diidenfikasi. Peringkat setelahnya adalah sampah kantong kresek (43.957 buah) dan di urutan ketiga sampah bungkus Indomie (37.548).

Pemprov Bali Bantah Komersialisasi Ritual Melukat Bagi Delegasi WWF

"Sampah kemasan produk konsumen ukuran kecil memang selalu jadi masalah terbesar di setiap TPA di enam kota besar tersebut," kata lead researcher Net Zero, Ahmad Syafrudin dikutip dari keterangannya, Minggu, 14 Januari 2024.

"Meski secara tonase terlihat kalah dari sampah organik rumah tangga, faktanya sampah anorganik seperti kemasan plastik produk konsumen jauh lebih makan tempat dan volumenya selalu besar,” tambahnya.

Menurut Ahmad, temuan riset mengindikasikan program pengurangan sampah oleh pemilik brand belum efektif. Dalam skema Extended Producer Responsibility atau EPR, Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 75 Tahun 2019 mengatur perluasan tanggung jawab produsen atas seluruh daur hidup produknya, terutama terkait pengambilan kembali (take back), daur ulang dan pembuangan akhir sampah produk. 

Selain itu, Pemerintah mengeluarkan kebijakan Up Sizing. Di mana produsen didorong untuk meninggalkan kemasan ukuran kecil dan beralih ke kemasan dengan ukuran yang lebih optimum untuk mengurangi potensi timbulan sampah.

Ilustrasi sampah plastik

Photo :
  • ANTARA FOTO/Irwansyah Putra

Sampah botol plastik produk minuman sebenarnya bernilai ekonomis sehingga tak seharusnya tercecer di pembuangan sampah atau lingkungan terbuka. Masalahnya, kata Ahmad, bank sampah, yang digadang-gadang menjadi tulang punggung dalam skema Circular Economy (CE) pengelolaan sampah, belum berjalan efektif di semua kota. 

"Kami mendapati bank sampai di banyak kota belum efektif menyerap sampah dengan residual value tinggi sekalipun, karena sebagian besar masih bekerja ala kadarnya. Demikian halnya pemulung dan pelapak hanya menyerap sampah dengan residual value tinggi saja, sementara sampah dengan residual rendah dibuang ke TPS/TPA/pinggir jalan/badan-badan air bahkan dibakar (open burning)," katanya.

Ahmad juga menyoroti ketidakjelasan terkait implementasi ERP dan CR menjadikan kalangan produsen leluasa mencitrakan dirinya sebagai korporasi yang ramah lingkungan, meski faktanya jauh dari itu. 

"Pemerintah perlu meningkatkan panduan dan bimbingan teknis pelaksanaan EPR dan CE agar program ini lebih efektif dan bahkan mampu mengatasi bias pada klaim sepihak oleh yang memperoleh amanat (produsen) dengan modus pencitraan perusahaan semata," katanya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya