Waspada Pancaroba di Maret-April Berpotensi Puting Beliung, Simak Pertandanya!

Ilustrasi Puting Beliung
Sumber :
  • Daru Waskita/ VIVA.co.id

Jakarta - Dengan kondisi cuaca yang saat ini sudah memasuki masa pancaroba, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) pun mengingatkan masyarakat untuk meningkatkan kewaspadaan, pada periode Maret hingga April 2024.

KCIC Minta Maaf Kecepatan Whoosh Dikurangi karena Hujan Deras

Kepala BMKG Dwikorita Karnawati mengatakan, selama periode pancaroba ini, masyarakat perlu meningkatkan kewaspadaan dan antisipasi dini terhadap potensi cuaca ekstrem yang akan terjadi.

"Misalnya seperti hujan lebat dalam durasi singkat yang dapat disertai kilat atau petir dan angin kencang, angin puting beliung, dan fenomena hujan es," kata Dwikorita dalam keterangannya, Minggu, 25 Februari 2024.

Bangunan Sekolah di Kolaka Roboh Ditimpa Tanah Longsor, 2 Ruang Kelas Porak-Poranda

Ilustrasi - Warga menyaksikan gelombang tinggi saat cuaca buruk di Kupang, NTT.

Photo :
  • ANTARA/Kornelis Kaha.

Analisis dinamika atmosfer BMKG menunjukkan, saat ini puncak musim hujan telah terlewati di berbagai Wilayah Indonesia, khususnya bagian Selatan Indonesia. Sehingga, periode peralihan musim di wilayah tersebut terindikasi bakal terjadi pada bulan Maret hingga April.

Hujan Sedang hingga Lebat Diperkirakan Guyur Sejumlah Daerah pada Hari Ini

Salah satu ciri masa peralihan musim misalnya yakni adanya pola hujan, yang biasa terjadi pada sore hingga menjelang malam hari. Kejadian itu biasanya didahului dengan udara hangat dan terik pada pagi hingga siang hari. Penyebabnya karena radiasi matahari yang diterima pada pagi hingga siang hari cukup besar, dan memicu proses konveksi (pengangkatan massa udara) dari permukaan bumi ke atmosfer sehingga memicu terbentuknya awan.

Karakteristik hujan pada periode ini cenderung tidak merata, dengan intensitas sedang hingga lebat dalam durasi singkat. Apabila kondisi atmosfer menjadi labil atau tidak stabil, maka potensi pembentukan awan konvektif seperti awan Cumulonimbus (CB) akan meningkatkan terjadinya sejumlah fenomena alam.

"Awan CB inilah yang erat kaitannya dengan potensi kilat atau petir, angin kencang, puting beliung, bahkan hujan es. Bentuknya seperti bunga kol, warnanya ke abu-abuan dengan tepian yang jelas," ujarnya.

Ilustrasi cuaca ekstrem.

Photo :
  • ANTARA FOTO/Zabur Karuru

Curah hujan yang lebat menjadi salah satu pemicu bencana hidrometeorologi, seperti misalnya banjir bandang dan tanah longsor. Karenanya, Dwikorita pun mengingatkan kepada masyarakat yang tinggal di daerah perbukitan rawan longsor, untuk waspada akan potensi tersebut. "Kami juga mengimbau masyarakat di sana untuk waspada dan berhati-hati," kata Dwikorita.

Dia juga mengimbau kepada masyarakat untuk senantiasa menjaga kesehatan, dalam menghadapi kondisi cuaca yang cepat berubah setiap harinya akibat fenomena pancaroba tersebut.

"Cuaca panas dan hujan dapat terjadi silih berganti dengan cepat sehingga dapat memicu gangguan daya tahan tubuh. Selain itu, masyarakat diharapkan dapat menyesuaikan aktivitas di luar ruangan termasuk dengan menggunakan perangkat pelindung diri dari terik matahari/hujan seperti payung, topi, atau jas hujan," ujarnya.

Cuaca ekstrem di Jateng yang terjadi awal tahun 2023.

Photo :
  • tvOne/ Teguh Joko Sutrisno

Fenomena atmosfer memicu cuaca ekstrem

Deputi Bidang Meteorologi BMKG, Guswanto mengatakan, monitoring BMKG menemukan sejumlah fenomena atmosfer yang cukup signifikan, dan dapat memicu peningkatan curah hujan disertai kilat atau angin kencang di wilayah Indonesia. Di antaranya yakni aktivitas monsun Asia, yang menurutnya masih dominan terjadi.

Kemudian yang kedua, aktivitas Madden Jullian Oscillation (MJO) pada kuadran 3 (Samudra Hindia Bagian Timur), diprediksi akan memasuki wilayah Pesisir Barat Indonesia pada beberapa pekan ke depan.

Ketiga, adanya aktivitas gelombang atmosfer di sekitar Indonesia bagian Selatan, Tengah, dan Timur. Keempat, terbentuknya pola belokan dan pertemuan angin yang memanjang di Indonesia Bagian Tengah dan Selatan.

"Seluruh fenomena atmosfer tersebut berkontribusi terhadap terjadinya fenomena cuaca ekstrem di berbagai wilayah di Indonesia," ujarnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya