"Kedua hal itu berkontribusi paling besar di sini, beda dengan emisi di AS (Amerika Serikat) yang paling banyak dari industri dan energi," jelas Amanda ditemui di @america, Pacific Place, Jakarta. Dua jenis penyebab emisi itu diperkirakan menjadi faktor dominan hingga 2020.
Dia merinci, kontribusi alih hutan terhadap emisi gas rumah kaca yaitu 48 persen, kemudian diikuti energi (20 persen), pembakaran gambut (13 persen), sampah (11 persen), agrikultur (5 persen), dan industrial (3 persen).
DNPI, menurut Amanda, telah menetapkan rencana aksi pengurangan emisi gas rumah kaca secara bertahap hingga 2020. Menurut prediksi institusinya, emisi di Indonesia akan meningkat menjadi 2,95 Giga ton CO2e pada 2020 mendatang.
DNPI berupaya mengurangi 0,767 Giga ton CO2e atau 26 persen dari estimasi total emisi 2020. Selanjutnya, akan mengurangi emisi 0,422 Giga ton CO2e atau 15 persen total emisi.
"Rencana penurunan emisi ini menyangkut lintas kementerian. Dan, saat ini sudah kami lihat ada penurunan emisi," tambah dia.
Ia mengakui koordinasi antar lembaga pemerintah untuk perubahan iklim perlu digenjot lagi.
"Tapi, saat ini sudah lumayan. Anda bisa lihat 5 tahun lalu kan belum begitu gencar pembicaraan soal perubahan iklim," katanya.
Amanda menambahkan, semua pihak bisa turut berkontribusi mencegah dampak buruk perubahan iklim. Ia mencontohkan, di Jakarta banyak tumbuh komunitas yang bisa melakukan berbagai hal. Misalnya, penghijauan di daerah masing-masing.
"Kan tidak semua orang berperan dalam kebijakan saja. Upaya lain bisa kirim tweet ke Presiden," katanya. Menurut dia, pemerintah Indonesia sangat peduli untuk menindaklanjuti berbagai hal yang menyangkut perubahan iklim.