Wadah Pegawai KPK Dukung Novel Ajukan Praperadilan

Ketua tim penyidik KPK Novel Baswedan.
Sumber :
  • VIVAnews/Aji YK Putra
VIVA.co.id
- Langkah Novel Baswedan yang mengajukan permohonan praperadilan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, mendapat dukungan dari rekan-rekannya di Lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang tergabung dalam Wadah Pegawai (WP).


Novel melalui tim kuasa hukumnya mengajukan praperadilan, terkait upaya penangkapan dan penahanan yang dilakukan oleh penyidk Bareskrim.


"Kami, Wadah Pegawai KPK (WP-KPK), mendukung rekan kami, Novel Baswedan, untuk mengajukan praperadilan atas proses penangkapan dan penahanan oleh Kepolisian," kata Ketua WP-KPK, Faisal, dalam keterangan tertulisnya, Selasa 5 Mei 2015.
Kuasa Hukum Novel Minta Polri Buat Permintaan Maaf di Baliho


Kuasa Hukum Novel: Surat Penangkapan Polri Kedaluwarsa
Penyidik Bareskrim menangkap serta menahan terkait perkara dugaan penganiayaan yang dilakukan oleh Novel pada saat dia masih menjabat sebagai mantan Kasat Reskrim Polres Bengkulu pada tahun 2004 silam.

Praperadilan, Senjata Penyidik KPK Hindari Penjara Polri

WP-KPK melalui Faisal, berharap agar Novel tetap memegang teguh komitmennya dalam pemberantasan korupsi. Meskipun dalam perjalanannya, banyak risiko yang menghadang.


"Tetap teguh memperjuangkan upaya pemberantasan korupsi, apapun risikonya," ujar Faisal.


Sebelumnya penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi, Novel Baswedan, mendaftarkan permohonan praperadilan terhadap Polri di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, tadi siang. Beberapa hal yang menjadi dasar pengajuan gugatan praperadilan itu adalah:


Pertama, penangkapan dan penahanan Novel didasarkan atas sangkaan Pasal 351 ayat (1) dan (3) terhadap korban bernama Mulya Johani alias Aan.


"Tetapi, yang dijadikan dasar penangkapan justru surat perintah penyidikan lain yang memuat pasal berbeda, yaitu Pasal 351 ayat (2) dan Pasal 442 juncto Pasal 52 KUHP," ujar kuasa hukum Novel, Asfinawati.


Alasan kedua adalah penggunaan Surat Perintah Kabareskrim Nomor Sprin/1432/Um/IV/2015/Bareskrim tertanggal 20 April 2015 sebagai dasar penerbitan surat perintah penangkapan dan penahanan Novel. Hal ini dianggap tidak lazim karena dasar penangkapan dan penahanan adalah surat perintah penyidikan.


Menurut dia, hal itu menunjukkan bahwa Kepala Bareskrim Komjen Budi Waseso telah melakukan intervensi terhadap independensi penyidik terkait kebijakan penyidikan, yaitu penangkapan dan penahanan.

"Kabareskrim itu bukan bagian dari penyidik yang ditunjuk untuk melakukan penyidikan," ujar Asfinawati.

Kemudian, mereka melihat ada serangkaian pernyataan kebohongan dari Polri kepada publik yang menutup-nutupi fakta sebenarnya terkait penangkapan dan penahanan Novel. Hal ini bertentangan dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas dalam setiap proses penyidikan.

Asfinawati juga mempermasalahkan adanya perbedaan antara perintah Presiden maupun pernyataan Kapolri dan aksi penyidik tentang tidak adanya penahanan. Hal itu memperlihatkan tidak ada koordinasi antara Kapolri dan Kabareskrim, Kabareskrim melawan perintah Kapolri dan Presiden, atau Direktur Tindak Pidana Umum Reskrim Polri lebih mendengarkan perintah Kabareskrim dibandingkan Kapolri dan Presiden.

Alasan terakhir, kuasa hukum melihat proses penangkapan penyidik atas kliennya tidak sesuai dengan prosedur. Surat perintah penangkapan dianggap telah kedaluwarsa dan penahanan dilakukan tanpa memenuhi syarat subyektif penahanan dan tidak sesuai dengan prosedur. Penangkapan dan penahanan Novel dilakukan dengan disertai berbagai pelanggaran ketentuan hukum.

"Kami sudah ada bukti-bukti. Kami juga akan lengkapi dengan bukti dan mendatangkan saksi ahli dalam sidang praperadilan tersebut," ujar Asfinawati.
Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya