Refly Harun Harap Tulisan Megawati Ilhami Hakim MK Ambil Keputusan Sengketa Pilpres

Ketua umum PDIP Megawati Soekarnoputri
Sumber :
  • Dokumentasi PDIP

Jakarta – Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun mengatakan semoga tulisan opini Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, mengilhami hakim Mahkamah Konstitusi (MK) agar berani membuat putusan yang menentukan arah demokrasi di Indonesia.

PPP Bakal Gelar Rapimnas Tentukan Arah Politik, Berani Gak jadi Oposisi Prabowo?

Menurutnya, 8 hakim MK saat ini bukan membutuhkan bukti, melainkan keberanian untuk memulai babak baru. Bahwa siapa pun yang berlaku curang pada Pilpres, maka akan mendapatkan hukuman yang dari kacamata demokrasi, wajib dijatuhkan, seperti mendiskualifikasi pasangan calon nomor 02 Prabowo-Gibran.

Diskualifikasi ini menjadi bagian dari petitum permohonan paslon nomor 01 Anies-Muhaimin dan paslon nomor 03 Ganjar-Mahfud. 

Hakim Tunda Sidang Kasus Korupsi Kementan Gegara SYL Diare

“Mudah-mudahan, apa yang disampaikan Megawati memberikan penerangan bagi kita semua utamanya kepada hakim MK, bahwa inilah saatnya kita harus berani menunjukkan bahwa kita tidak takut ketika harus membela kebenaran walaupun kebenaran itu berusaha dihalangi dengan senjata,” ujarnya dikutip dari akun Youtube Refly Harun, Selasa, 9 April 2024.

Adapun, Megawati menulis opini berjudul “Kenegarawanan Hakim Mahkamah Konstitusi” di salah satu media cetak pada Senin, 8 April 2024.

Ditanya Gabung Kabinet Prabowo, Anies Bungkam karena Takut Dibilang Geer

Putri sulung Proklamator Soekarno itu, menyinggung soal sikap kenegarawan yang harus dimiliki hakim MK. Disebutkan, sumpah presiden dan hakim MK menjadi bagian dari supremasi hukum.

Ketua umum PDIP Megawati Soekarnoputri

Photo :
  • Dokumentasi PDIP

Namun, bagi hakim MK, sumpah dan tanggung jawabnya lebih mendalam dari sumpah presiden. Karena itu, persyaratan menjadi hakim MK juga lebih berat, yakni tidak hanya menjalankan seluruh peraturan perundang-undangan dengan selurus-lurusnya sesuai Undang-Undang Dasar (UUD), tetapi juga ditambahkan syarat lainnya, yakni memiliki sikap kenegarawanan.

Dengan sikap kenegarawanan, hakim MK bertanggung jawab bagi terciptanya keadilan substantif dan menempatkan kepentingan bangsa dan negara sebagai hal yang paling utama.

“Mudah-mudahan tulisan Megawati memberikan ilham bagi hakim MK untuk memutus. Sebenarnya yang dibutuhkan bukan lagi bukti tetapi keberanian untuk menentukan arah demokrasi Indonesia,” kata dia.

Lebih lanjut, dia berharap semakin banyak tokoh masyarakat yang menyampaikan amicus curiae,  sebagai sahabat pengadilan untuk memberikan dorongan dukungan keberanian kepada hakim MK agar memutus perkara sebaik-baiknya, sebenar-benarnya, serta sesuai  apa yang berkembang di masyarakat dan di ruang pengadilan. Ditegaskan, terlalu mudah untuk menunjukkan bagaimana cawe-cawe Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk memenangkan  paslon nomor 02.

“Tapi masalahnya adalah apakah  hakim MK  punya keberanian untuk mendiskualifikasi paslon nomor 02 atau setidak-tidaknya mendiskualifikasi Gibran Rakabuming Raka," katanya.

Secara terpisah, sosiolog dan sastrawan Okky Madasari mengatakan, proses di MK memang sesuatu yang harus dilakukan oleh Paslon 01 dan Paslon 03, karena ada proses yang tidak benar, melanggar undang-undang (UU) dan melanggar etika dalam Pilpres 2024.

“Soal nanti hasil MK mengecewakan kita lagi, itu hal lain. Setidaknya, dua kandidat, Anies-Muhaimin, Ganjar-Mahfud tidak serta merta menjadi oportunis, tidak mematahkan perjuangan sendiri, tidak serta merta mengkhianati kepercayaan rakyat, mereka terus menggiring proses di MK, merawat amanat rakyat,” ujarnya. 

Jika nanti keputusan MK mengecewakan, menurut Okky, masih ada mekanisme lain untuk memberi teguran dan hukuman kepada Presiden Jokowi berupa tekanan publik, karena terlalu banyak kesalahan yang tidak bisa dibiarkan begitu saja.

Juru Bicara Tim Nasional Pemenangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Amin) Refly Harun saat diwawancarai oleh wartawan di Padang, Sumatra Barat, Selasa, 28 November 2023.

Photo :
  • ANTARA/Muhammad Zulfikar

Ia menegaskan, sejauh ini belum ada presiden di Indonesia yang mempertanggungjawabkan perbuatannya, termasuk Soeharto sekali pun.

“Kalau nanti Jokowi bisa survive, bisa menganggap apa yang dilakukan biasa-biasa saja, sepanjang sejarah kita akan melihat bangsa ini menerima segala bentuk pelanggaran etik dan ketidakberesan dalam penyelenggaraan pemilu,” tuturnya.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya