Sumber :
- VIVAnews/Muhamad Solihin
VIVAnews -
Ketua Umum Partai Keadilan Persatuan Indonesia (PKPI), Sutiyoso, menemui Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, untuk berkonsultasi mengenai nasib partai yang dipimpinnya.
Mengenakan baju berwarna cokelat dan celana panjang hitam, Sutiyoso mengaku akan berkonsultasi, apakah perbedaan tafsir antara Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) bisa digugat sebagai Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN).
"Dalam waktu dekat ini, kami berharap sudah ada keputusan Mahkamah Agung berupa perbedaan tafsir yang lebih tinggi soal lolosnya PKPI," ujar Kuasa Hukum Sutiyoso, Bambang Suroso.
Menurut Bambang, penolakan yang dilakukan oleh KPU adalah bentuk pembangkangan. "Itu pembangkangan atas keputusan lembaga negara, hanya Mahkamah Agung yang bisa menyelesaikan itu,' ungkap dia.
Seperti diketahui, Bawaslu telah memutuskan bahwa PKPI berhak menjadi partai politik peserta pemilu 2014. Karenanya, sesuai amanat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu, KPU wajib melaksanakan keputusan Bawaslu, yakni menetapkan PKPI sebagai partai politik peserta pemilu 2014.
Namun, KPU menolak melaksanakan keputusan Bawaslu tersebut. Nasib digantung, PKPI berencana mengadukan lembaga penyelenggara pemilu itu ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) atas dasar dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan komisioner.
Sutiyoso bahkan akan mengadu ke Komisi Ombudsman dan menguji materi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2012 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi.
Dia merasa partainya dikorbankan atas perbedaan penafsiran terhadap Undang-Undang dari Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu.
"Kami jadi korban dua lembaga raksasa, KPU dan Bawaslu. Akibat mereka tidak sama menafsirkan undang-undang, kami jadi korban, baik korban moral maupun material," kata Sutiyoso, kepada wartawan, di kantor pusat PKPI, Jakarta, Selasa, 12 Februari 2013. (art)
Halaman Selanjutnya
Menurut Bambang, penolakan yang dilakukan oleh KPU adalah bentuk pembangkangan. "Itu pembangkangan atas keputusan lembaga negara, hanya Mahkamah Agung yang bisa menyelesaikan itu,' ungkap dia.