Konsumsi Rokok Murah Naik, Begini Dampaknya ke Penerimaan Negara

Rak rokok di minimarket (foto ilustrasi)
Sumber :
  • VIVAnews/Arrijal Rachman

Jakarta – Kementerian Keuangan (Kemenkeu) dalam laporan APBN Kita edisi Mei 2023 lalu  menyatakan bahwa penerimaan cukai hasil tembakau (CHT) pada akhir April 2023 senilai Rp 72,35 triliun. Realisasi penerimaan cukai rokok tersebut menurun 5,16 persen secara tahunan atau year on year (yoy) dibandingkan realisasi di periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 76,29 triliun. 

Khawatir Timbul Badai PHK, Ribuan Buruh Rokok Tolak Kenaikan Cukai SKT 2025

Rendahnya penerimaan negara disebut antara lain disebabkan kenaikan konsumsi rokok murah dari golongan 2 dan 3 yang membayar tarif cukai lebih rendah.

Menurut Kepala Laboratorium Ekonomi Departemen Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada Kun Haribowo perilaku konsumsi masyarakat yang rentan terpengaruh dengan kebijakan kenaikan tarif CHT. Pergeseran konsumsi rokok dari golongan 1 ke rokok golongan 2 dan 3 yang lebih murah sangat memungkinkan terjadi jika melihat gap harga yang cukup jauh antar golongan. 

Kenaikan Cukai Picu Turunnya Produksi Rokok dan Penerimaan Negara

“Konsumen tentu akan memilih rokok yang harganya sesuai dengan kondisi ekonominya. Dengan harga yang separuh antara golongan 1 dan 2, ada potensi pergeseran konsumsi ke golongan yang lebih murah,” ungkapnya seperti dikutip Selasa, 13 Juni 2023.

Tembakau kering yang dilinting untuk menjadi rokok di pabrik.

Photo :
  • VIVA/ Yeni Lestari.
Aturan Tembakau RPP Kesehatan Dikritik, Aprindo: Rawan Pungli

Produksi rokok golongan 1 saat ini, lanjut dia, sangat elastis terhadap kenaikan cukai. Penurunan produksi golongan 1 tidak dapat dikompensasi oleh kenaikan produksi golongan 2 dan 3 sehingga penerimaan CHT secara keseluruhan menjadi kontraksi. Kun memprediksi outlook penerimaan CHT Semester 1 tahun 2023 pertama kali dalam 5 tahun terakhir akan mengalami penurunan hingga 6 persen-14 persen (yoy). 

“Perlu perbaikan dalam struktur tarif cukai HT untuk menghindari shifting dari segi demand maupun supply (produsen) termasuk pengaturan tarif cukai di dalam struktur tersebut,” kata Kun.

Fenomena perpindahan konsumsi ke rokok murah ini tidak hanya menjadi ancaman bagi penerimaan negara dari CHT, namun juga  tidak sejalan dengan tujuan kesehatan, utamanya untuk menurunkan prevalensi perokok anak. Dalam RPJMN 2020 - 2024, prevalensi perokok anak ditargetkan untuk turun menjadi 8.7 persen. Dengan semakin banyaknya rokok murah, target ini terancam tidak tercapai.

Sementara itu, Director of Danny Darussalam Tax Center (DDTC) Fiscal Research & Advisory B. Bawono Kristiaji menjelaskan diversifikasi golongan rokok berdasarkan produksinya membuka celah perpindahan konsumsi rokok yang lebih besar karena perbedaan harga yang cukup jauh.  Konsumen akan selalu mencari celah untuk mengonsumsi rokok dengan substitusi yang ditawarkan, misalnya beralih ke rokok yang lebih murah. Kebutuhan menaikkan tarif cukai untuk tujuan prevalensi semakin kompleks dengan diversifikasi harga berdasarkan produksi golongan rokok.

“Perlu sama-sama paham bahwa cukai merupakan instrumen untuk pengendalian konsumsi produk tertentu. Kalau cukai sifatnya diversifikasi tarif, ini akan berpengaruh pada struktur di pasar. Dengan jarak tarif yang makin besar maka akan semakin banyak tantangannya, baik dari sisi pengendalian konsumsi rokok maupun penerimaan negara,” kata Bawono.

Bawono menambahkan penurunan penerimaan negara tidak selamanya menunjukkan efektivitas pengendalian konsumsi rokok. Sebab, selain penurunan produksi, ada kebiasaan konsumen yang berubah mengonsumsi alternatif rokok murah sebagai respon dari kebijakan. 

“Kebijakan yang akan diterapkan harus selalu dilandasi dengan kehati-hatian, karena cukai sifatnya spesifik dan berpengaruh pada pasar,” ucap Bawono.

Analis Kebijakan Ahli Madya Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Sarno memaparkan bahwa saat ini memang terjadi dinamika pada produksi rokok di mana produksi rokok harga rendah (SKM golongan 2 dan SKT golongan 3) meningkat pesat dalam 4 tahun terakhir.  SKM golongan 2 dan SKT golongan 3 naik 31 persen dan 122 persen selama periode 2019-2022. Kenaikan ini dapat disebabkan oleh semakin lebarnya gap tarif dan HJE golongan 2 dan 3 dengan golongan 1 yang otomatis berpengaruh pada penurunan penerimaan negara.

“Pasti berimpact (kepada penerimaan negara), meskipun kita berharap tren penurunan ini tidak terus berlanjut dan penerimaan CHT tercapai. Namun kita waspadai dan kita check terus.” ucap Sarno.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya