Kominfo Beberkan Ancaman Bonus Demografi 2030

ilustrasi Angklung dimainkan anak-anak.
Sumber :
  • VIVA.co.id/Ikhwan Yanuar

VIVA – Indonesia bakal menghadapi bonus demografi pada 2030. Namun, ada masalah yang menjadi perhatian Kementerian Komunikasi dan Informatika dalam menghadapi bonus demografi tersebut. Masalah yang dimaksud yakni stunting.

Kemenag Bekali Pelatihan Guru dan Pengawasan RA untuk Cegah Stunting Melalui PAUD HI

Stunting adalah masalah gizi kronis yang disebabkan oleh kurangnya asupan gizi dalam waktu lama, umumnya karena asupan makan yang tidak sesuai kebutuhan gizi. Stunting terjadi mulai dari dalam kandungan dan baru terlihat saat anak berusia dua tahun. 

Data pemerintah menunjukkan, jumlah anak stunting di Indonesia tertinggi di Asia Tenggara. Kominfo merilis, anak stunting tidak hanya dialami oleh keluarga yang miskin dan kurang mampu, tetapi juga dialami oleh keluarga yang tidak miskin yang berada di atas 40 persen tingkat kesejahteraan sosial dan ekonomi. 

Jokowi: Indonesia Succeeded in Reducing Stunting Rate

Untuk menanggulangi angka stunting tersebut, pemerintah memasukkan penurunan stunting menjadi target Program Kerja Menengah Nasional Pemerintah 2015-2019. 

“Masyarakat belum banyak yang mengenal apa itu stunting. Pertumbuhan anak yang terhambat sering dianggap sebagai faktor keturunan saja sehingga diabaikan," ujar Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kominfo, R Niken Widiastuti dalam keterangannya, Rabu 8 Agustus 2018.

Jokowi Bersyukur Angka Stunting Turun dari 37 Persen Menjadi 21 Persen

Niken mengimbau, orangtua perlu memantau proses tumbuh kembang anak terutama di masa 1.000 hari pertama kehidupan. Hidup bersih dan sehat menurutnya menjadi salah satu kunci untuk memastikan pertumbuhan anak yang terhindar dari stunting.

Menurutnya wajar jika pemerintah perhatian betul pada masalah stunting. Sebab jika dibiarkan, masalah ini mengancam bonus demografi.

“Stunting dapat menjadi ancaman bagi generasi Indonesia di masa depan jika tidak segera dicegah. Indonesia akan melewatkan masa bonus demografi hingga tahun 2030 dengan tidak optimal karena tidak dapat menciptakan generasi emas Indonesia,” kata Niken.

Masyarakat diimbau untuk mengenali tanda-tanda anak mengalami stunting yaitu antara lain, anak bertubuh lebih pendek untuk anak seusianya, proporsi tubuh cenderung normal tetapi anak tampak lebih muda/kecil untuk usianya, pubertas terlambat dan performa buruk pada tes perhatian dan memori belajar.

Salah satu wilayah di Indonesia dengan angka stunting tertinggi adalah Kabupaten Ogan Komering Ilir. Angka stunting di kabupaten ini menurut Riskesdas tahun 2013, mencapai 40,5 persen atau hampir setengah balita di OKI mengalami stunting. Bahkan, angka ini di atas angka stunting nasional 37 persen.

Semakin muda usia perkawinan, semakin besar risiko melahirkan bayi stunting. Kasus stunting yang terjadi di keluarga miskin sebesar 48,4 persen dan pada keluarga kaya sebesar 29 persen.

Minim edukasi

Permasalahanya, jelas Niken, para ibu sering kali memiliki pengetahuan yang minim dalam pengasuhan anak sejak dalam kandungan. 

Faktanya saat ini 60 persen dari anak usia 0-6 bulan tidak mendapatkan ASI eksklusif. Sebanyak 2-3 anak usia 0-24 bulan tidak menerima Makanan Pengganti ASI. 

Data lain menyebutkan 2-3 ibu hamil belum mengonsumsi suplemen zat besi yang memadai. Sebanyak 1 dari 3 anak usia 3-6 tahun tidak terdaftar di Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Menurunnya tingkat kehadiran anak di Posyandu, dari 79 persen di 2007 menjadi 64 persen di 2013, ini menunjukkan kurang maksimal.

“Jika stunting tidak segera ditanggulangi maka bonus demografi ini akan menjadi sia-sia. Indonesia hanya akan memiliki banyak generasi muda yang tidak produktif. Hal ini dikarenakan stunting akan menghasilkan generasi yang serba kekurangan," ujar Niken.

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya