Militer Bajak Software, Pemerintah Didenda Rp595 Miliar

Ilustrasi bahaya Internet
Sumber :
  • columan.com
VIVAnews -
Ratusan Pengguna Motor Royal Enfield Padati Tangerang
Pemerintah Amerika Serikat akhirnya setuju membayar ganti rugi sebesar US$50 juta (atau setara Rp595 miliar) kepada perusahaan penyedia peranti lunak, Apptricity.

Ternyata Begini Dukungan Anggun untuk Pendidikan di Level Keluarga

Hal itu lakukan setelah militer negeri Paman Sam diketahui membajak peranti lunak besutan Apptricity untuk berbagai perangkat militernya.
Lebih 2 Ribu Mahasiswa yang Bela Palestina di Seluruh AS Ditangkap Polisi


Peranti lunak Apptricity memang bermanfaat di bidang militer untuk melacak pergerakan pasukan. Produk ini bahkan telah digunakan selama masa gempa Haiti pada tahun 2010 silam.


Diberitakan
BBC,
Senin 2 Desember 2013, pembajakan software itu terkuak setelah angkatan darat AS secara resmi menyebutkan ribuan perangkat militer menjalankan peranti lunak besutan Apptricity.


Padahal, Apptricity mengaku telah menjalin kesepakatan dengan angkatan darat AS untuk lisensi produknya hanya untuk 500 pengguna saja. Namun faktanya, menurut hitungan Apptricity, terdapat 9.000 pengguna yang mengakses programnya itu.


Sontak perusahan itu langsung melayangkan gugatan ke pengadilan pada tahun 2012 silam. Perusahaan mengklaim telah menelan kerugian sebesar US$224 juta, setara Rp2,6 triliun, karena pembajakan itu.


Namun, Departemen Kehakiman AS memutuskan ganti rugi yang harus dibayarkan yakni US$50 juta saja. Meski terbilang sangat sedikit, ganti rugi itu akan dimanfaatkan perusahaan untuk memperluas pasar.


"Apptricity kini sangat bersemangat menggunakan resolusi penyelesaian itu sebagai upaya mengoptimalkan peluang pasar yang belum dimanfaatkan," kata Randy Lieberman, Direktur Keuangan Apptricity.


Praktik ilegal itu jelas-jelas bertolak belakang dengan kampanye pemerintah sejak tahun 2010 yang berjanji serius akan memberantas pembajakan di tanah AS.


"Pembajakan merupakan pencurian. Itu tegas dan jelas," kata Wakil Presiden AS Joe Biden ketika itu. (umi)

Halaman Selanjutnya
Halaman Selanjutnya